Friday, July 16, 2010

Pluralitas dan Filsafat Perennial

Pengantar : Bincang-bincang soal Perennial ini dimulai dari posting Mas Nadirsyah Hosen yang mengutip tulisan Budi Munawar Rahman soal Perennial sebagai Agenda Etika Global. Lalu mengalirlah bincang-bincang itu seperti tertulis di bawah ini. Selamat membaca



From: Nadirsyah Hosen
Date: Thursday, September 24, 1998 11:36 AM


Assalamu 'alaikum wr wb

Tulisan Budhy di bawah ini memberi penjelasan yg cukup baik akan diskusi kita soal pluralitas.

Selamat membaca (lihat artikel "Filsafat Perennial Agenda Etika Global")

salam,

=nadir=



From: Abu Al Fatih

Subject: Re: [is-lam] Pluralitas dan Filsafat perennial

Date: Thursday, September 24, 1998 6:02 PM



Assalamu 'alaikum wr.wb.



Mas Nadirsyah Hosen yang saya hormati,

Saya sudah baca artikel Budi Munawar Rahman tentang Filsafat Perenial itu. Dan sebelumnya juga pernah membacanya dalam beberapa artikel lain atau buku yang membahas tentang filsafat perenial itu.

Sejujurnya,

hingga saat ini saya belum sampai pada pemahaman yang utuh tentang fenomena Filsafat Perenial ini. Dapatkah Mas Hosen memberikan sedikit pengantar dengan bahasa yang lebih sederhana untuk membantu saya memahami Filsafat Perenial ini ?

Sejauh ini,

pemahaman saya tentang upaya-upaya mencari titik temu / kebenaran bersama antar agama itu masih analog dengan tawaran kaum Quraisy di masa Rosulullah Saw yang menawarkan sejenis "sinkretisme" / giliran beribadah kepada Tuhan antar keyakinan (yang kemudian dijawab dengan surat Al Kafirun itu), hanya dalam kemasan bahasa yang sedikit lebih modern, ditambah ulasan-ulasan filosofis disana sini.

Salah kah pemahaman saya ... ?

Adakah perbedaan di antara fenomena Quraisy tempoe doeloe itu dengan fenomena di masa post modernis ini ... ?

Terima kasih atas penjelasannya.

Wassalam

Abu Al Fatih

N.B.

Mohon saya tidak divonis anti Perenialis ... (sebab saya betul-betul belum paham).



From: Hamzah

Date: Thursday, September 24, 1998 11:20 AM



Assalaamu'alaikum wr.wb.

Akhi Nardisyah Hosen rahimakallah, terima kasih banyak. Posting anta semakin memberi kejelasan kepada saya kenapa Allah tidak pernah menurunkan dien-Nya kepada para filosof; kenapa Islam justru luluh lantak ketika umat islam mulai disibukkan oleh kegiatan menafsirkan agama dengan alat filsafat, dan kenapa Barat tidak pernah melahirkan agama besar. Saya menjadi sangat bisa mengerti pernyataan seorang ahli estetika dari Prancis yang menyatakan "Dalam dialog peradaban Barat adalah sebuah kebetulan, mesti tentu saja neracanya tidak semuanya negatif."

Saya merasa lebih tercerahkan lagi ketika saya mengulang baca:

Filsafat adalah cinta kebijaksanaan tetapi kebijaksanaan yang sebenarnya adalah TUHAN. Oleh karena itu, cinta TUHAN adalah filsafat yang sebenarnya. (Mansour Ibn Sarjoun, nama masehinya Saint-Jean de Damas)

Katakanlah: "Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3:31)

Semoga kita tidak mengulangi lagi penyesalan Al Ghazali rahimahullah di akhir kehidupannya.

Wassalaamu'alaikum wr.wb.

Hamzah



From: Nadirsyah Hosen

Date: Friday, September 25, 1998 12:52 PM



Assalamu 'alaikum wr wb

Posisi saya sama dg akhi Abu al-Fatih, yaitu sama-sama sedang berusaha memahami filsafat perenial. Dalam proses mencoba memahami (belajar) tentu saja akan sangat baik kita mengajukan pertanyaan dan juga "gugatan". Dengan demikian kita bisa memahaminya dg lebih baik. Kalau sudah memahaminya, barulah kita sampai pada titik selanjutnya yaitu memilih antara sependapat atau tidak sependapat.

Saya menghargai sikap akhi yang tidak terburu-buru mendukung ataupun menyalah-nyalahkan para filosof perenial. Semoga Allah selalu memberikan petunjuk pada kita semua untuk menegakkan yang haq dan menjauhi yang batil.

Sejauh yang saya tahu, filsafat perenial itu percaya ada titik temu diantara keragaman agama-agama, sebuah titik temu yang tidak berarti menafikan eksistensi masing-masing agama (termasuk ritualnya). Jadi, bukan berarti kita mempercayai Isa itu anak Tuhan, ataupun umat Budha disuruh sholat lima kali seperti kita.

Sejauh yang saya tahu, titik temu itu diantaranya adalah kepercayaan bahwa sebenarnya hanya ada satu Tuhan; terlepas dari bagaimana masing-masing pemeluk agama memanggil Tuhan itu. Titik temu lainnya adalah adanya persoalan global yang dihadapi semua pemeluk agama saat ini seperti masalah merosotnya etika (sehingga disebut-sebut ttg etika global dalam tulisan Budhy Munawar Rachman), tindakan anarkis atas nama Tuhan, kerusakan lingkungan hidup, de el el

Pada titik temu ini (common platform, kalimatun sawa) umat beragama dituntut untuk saling harga-menghargai dan hormat menghormati, bahkan bekerja sama dalam tema-tema global.

Sekali lagi, lakum dinukum waliyaddin tetaplah berlaku. Filsafat perenial bukan mencampuradukkan semua agama, justru umat islam tak perlu melepas jatidiri keislamannya ketika memasuki wilayah perenial. Kenapa? karena lakum dinukum waliyaddin. Umat islam yg mengikuti pendekatan filsafat perenial tetaplah menjalankan syari'at islam.

Jadi, menurut hemat saya, jelas berbeda sekali antara pendekatan perenial dg "tawaran" kafir Quraisy masa dulu.

Celakanya, pendekatan perenial ini suka dikacaukan dg gerakan yg juga sedang mekar yaitu New Age. Yang disebut terakhir inilah yang tampaknya, sekali lagi sejauh saya memahami dari bacaan saya yg terbatas, yang berupaya menarik semua unsur kebaikan atau jalan kebaikan dari semua agama, sehingga menjadi sebuah aliran sendiri yaitu New age.

Tampaknya, perenial berbeda dg New Age.

Karena saya sendiri dalam posisi yang sama dengan akhi Abu al-Fatih, sehingga, mengutip jawaban Nabi Muhammad ketika ditanya Jibril soal kiamat, "yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya."

Maafkan jawaban saya yang malah tidak lebih menjelaskan ini. Karena saya bukanlah filosof apalagi filosof perenial.

salam,

=Nadir=



From: Abu Al Fatih

Subject: Re: [is-lam] Pluralitas dan Filsafat perennial

Date: Saturday, September 26, 1998 9:20 AM



Assalamu 'alaikum wr.wb.

Mas Hosen jazakumullah atas penjelasannya.

Dari uraian Mas Hosen itu, saya mendapat kesimpulan bahwa di antara yang ingin dicapai dengan pendekatan Perennial itu adalah :

1. Mengakui adanya titik temu antar agama, tapi tetap mengakui eksistensi masing-masing (yang mana hal ini membedakan Perennial dari pendekatan aliran New Age).
2. Diantara titik temu antar agama itu adalah :

* Pengakuan pada adanya satu Tuhan
* Masalah-masalah etika (global).

Yang kemudian menarik untuk saya komentari (bukan menanggapi Mas Hosen lho) adalah,

bahwa untuk sampai pada kedua "out put" di atas, Islam tampaknya tidak membutuhkan "medium tambahan", karena ajarannya telah mencakup pedoman untuk mensikapi pluralitas agama / keyakinan dan pluralitas sosio-politik.

Di antara doktrin Islam dalam mensikapi pluralitas agama a.l. :

1. Penghormatan atas eksistensi masing-masing keyakinan dan pola peribadatannya :

* Q.S. Al Kafirun : 1-6

1. Larangan untuk memaksakan keyakinan / agama :

* Q.S. Al Baqarah : 256

1. Ajakan untuk sampai pada Kalimatun Sawa / Common Platform :

* Q.S. Ali 'Imron : 64

Catatan :

Kalimatun Sawa / Common Platform yang ditawarkan Islam sedemikian jelas dan gamblang :

1. Kita menyembah Allah / Tuhan dan tidak mempersekutukan-Nya dengan segala sesuatu
2. Kita tidak menjadikan sebagian kita kepada sebagian yang lain sebagai Robb / Tuhan, selain (hanya kepada) Allah.

Dan di antara doktrin Islam dalam mensikapi pluralitas sosio-politik a.l. :

1. Dalam skala individual :

* Bertebaran riwayat-riwayat yang menggambarkan fragmen-fragmen peristiwa / perilaku Rosulullah Saw dalam bermu'amalah dengan orang-orang non-muslim.

1. Dalam skala komunal :

* Piagam Madinah dan penjabaran / realisasi kehidupan masyarakat madinah / civil society di masa Rosulullah Saw (lihat tulisan Dr. Ahmad Hatta di harian Republika 19 Mei 1998 / insya Allah saya posting juga)

Maksud saya dengan uraian ini adalah,

bahwa boleh jadi bagi agama-agama / sistem keyakinan selain Islam, mereka membutuhkan adanya revisi / suplemen / komplemen untuk menjawab tantangan-tantangan persoalan kemanusiaan akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam perjalanan waktu / sejarah, karena konsepsi yang orisinil pada masing-masing agama / sistem keyakinan itu tidak mencakup / tidak antisipatif terhadap berbagai problema "baru" yang datang "kemudian".

Boleh jadi bagi agama-agama / sistem keyakinan selain Islam, masalah pluralitas agama dan pluralitas sosio-politik adalah merupakan sebuah "realita baru" yang tidak dijelaskan dalam konsepsi orisinil nya, yang untuk itu diperlukan medium baru semisal Perennial Philosophy ini.

Tapi bagi Islam,

untuk "sekedar" mensikapi pluralitas agama dan sosio-politik, medium baru itu tampaknya tidaklah dibutuhkan. Bahwa Islam juga mengakui adanya prinsip "mengambil hikmah darimana saja datangnya" sebagai "harta kaum muslimin yang hilang", itu tidak berarti harus menerima hikmah itu sebagai sesuatu yang "lebih hebat" dari wahyu Allah / nash / Kitabullah dan As-Sunnah, apalagi bila untuk urusan tersebut nash sudah tuntas memberikan jawabannya.

Hanya saja,

dalam konteks sosio-historis, harus diakui bahwa periode Mulkan Jabbariyan yang kita alami saat ini, yang ditandai dengan "kekalahan" kaum muslimin dalam peta sosio-politik global dalam kurun waktu seabad lebih ini, telah melahirkan "mentalitas inferior" di dalam diri kaum muslimin, sehingga ada semacam "kegamangan psikis" untuk menyatakan totalitas konsepsi Islam dalam menjawab tantangan-tantangan masa kini dan mendatang.

Ada rasa rikuh / serba salah untuk bicara tentang Syumuliatul (kesempurnaan / kemencakupan) Islam,

bila berhujjah bahwa konsepsi Islam adalah konsep paripurna dalam menjawab seluruh tantangan, maka akan dihujat ; "mana bukti / realitas nya ?", dan bila berhujjah dengan bukti-bukti konkret dimasa lalu, maka akan dihujjat ; "utopis nih yee ...!!!"

Lalu jadilah ummat Islam sebagai objek yang senantiasa "gamang" di tengah percaturan tata dunia baru saat ini.

Tapi - insya Allah - masa "kegamangan" itu tampaknya sudah akan berakhir ...

Sisi optimis saya mengatakan bahwa ayat ke-8 Surat Ash-Shof itu akan menemukan kembali momentum pembuktiannya untuk waktu yang tidak lama lagi ...

"Yuriduuna liyuthfi'uu nuurollaahi bi afwaahi him.

Wallaahu mutimmu nuurihi walau karihal kaafiruun."

Wassalam

Abu Al Fatih



N.B.

Mas Hosen,

saya punya artikel menarik tentang pluralitas dan pluralisme agama, yang disusun oleh Dr. M. Hidayat Nur Wahid, judulnya "Islam dan Pluralisme Agama - Perspektif Pemikiran Islam Klasik". Artikel itu merupakan makalah yang disampaikan beliau pada Seminar Sehari tentang "Islam dan Pluralisme Agama" di Universitas Muhammadiyah Surakarta, tanggal 5 Juni 1997. Makalah yang di saya berupa fotocopy-an (12 halaman) dan belum saya salin ke komputer (saya berharap dapat ketemu Dr. Hidayat untuk meminta izin publikasi dan sekaligus file komputernya).

Tapi Mas Hosen tertarik nggak ... ?



From: Abu Al Fatih

Date: Saturday, September 26, 1998 9:35 AM



Assalamu 'alaikum wr.wb.

Mas Nadirsyah Hosen,

berikut saya salinkan makalah Dr.Ahmad Hatta di harian Republika tanggal 19 Mei 1998, dengan judul "Paradigma Masyarakat Madani - Sebuah Acuan Reformasi". Kalo ndak salah Mas Hosen juga sudah pernah menulis tentang Masyarakat Madinah ini di beberapa posting yang lalu. Insya Allah saling melengkapi.

Tulisan ini saya kutip sebagai salah satu referensi dalam menjelaskan konsep Islam dalam mensikapi pluralitas sosio-politik.

Catatan saya :

meski makalah ini ditulis dimasa Soeharto masih menjadi rejim penguasa di Indonesia (dua hari menjelang lengser) tapi secara keseluruhan tulisan ini tidak kehilangan relevansinya hingga saat ini (wallaahu a'lam).

Semoga bermanfaat.

Wassalam

Abu Al Fatih



From: Nadirsyah Hosen

Date: Sunday, September 27, 1998 12:55 AM



Assalamu 'alaikum wr wb

Waduuuh....saya tadinya menduga saya dan akhi Abu al-Fatih ini sama-sama masih belajar soal filsafat perenial. Ternyata, beliau bukan saja punya artikel yang menarik, tetapi juga sudah jauh melebihi saya dalam memahami filsafat perenial. Saya harus minta maaf nih....sudah berani-beraninya menganggap beliau "akar", sedangkan beliau ternyata "rotan". Semoga saya yang masih "akar" ini tidak dicambuk dg "rotan" akibat kekhilafan ini.

Saya tunggu kiriman artikelnya (baik tulisan Dr. Hidayat Nur Wahid ataupun tulisan lainnya).....baik lewat japri maupun lewat jalur umum (kalau takut melanggar kuota kirim lewat japri aja). Semoga saya bisa mengambil banyak manfaat dari dialog dan kiriman artikelnya.

Terima kasih juga sudah mengisi buku tamu di home page saya. Mengenai jumlah anak yang akhi tanyakan, saya belum ada nih. Insya Allah dua minggu lagi, isteri saya akan melahirkan bayi kami yang pertama. Mohon bantuan do'anya ya.... agar ibu dan bayi sehat wal afiat.

salam,

al-haqir wal faqir

=Nadir=



From: Hamzah

Date: Monday, September 28, 1998 4:20 PM



Assalaamu'alaikum wr.wb.

Nambahin dikit.

Pluralitas dan demokrasi dijaman modern ini memang telah menjadi "berhala" baru, karena telah ditempatkan sebagai dogma, paradigma, postulat atau aksioma. Kita tahu bahwa aksioma atau postulat adalah sesuatu yang dianggap benar dengan sendirinya; dengan demikian segala sesuatu kemudian akan dinilai berdasarkan keselarasannya dengan citra demokrasi atau pluralitas, apabila sesuatu itu tidak sesuai dengan citra demokrasi dan pluralitas maka dianggap sebagai salah atau sebagai suatu masalah. Disini berarti pluralitas dan demokrasi telah dijadikan sebagai sumber kebenaran; padahal bagi kita kebenaran itu sumbernya adalah dari Allah yang terjabar di dalam al Qur'an dan as Sunnah - inilah musyrik modern.

Mungkin banyak rekan yang agak kaget dengan kesimpulan saya ini, tetapi Daniel Bell sendiri sebagai non muslim telah menyatakan bahwa tiga penyakit utama di dalam negara kapitalis (maju?) saat ini: (1) selera borjuis, (2) bentuk pemerintahan demokrasi dan (3) etos individu. [Chapra, M. Umer (1986), Toward a Just Monetary System: A Discussion of money, Banking and Monetary Policy in the Light of Islamic Teachings, London: The Islamic Foundation.]

Di bidang ilmu pengetahuan (science) pun terdapat beberapa dogma yang dapat

menjadikan kita musyrik yakni: rasionalitas, obyektifitas, empirisme dan netralitas etik. Yang paling bermasalah dari keempat dogma itu adalah netralitas etik. Netralitas etik inilah yang telah melahirkan berbagai "ilmu pengetahuan" yang sebetulnya menciptakan ancaman kiamat bagi eksistensi manusia di dunia ini (baca Fritjof Capra, The Tao of Physic dan The Turning Point). Didasari oleh hal

ini maka lahirnya ide "Islamisasi Ilmu Pengetahuan" dengan tokoh semisal Ismail Raji' al Faruqi", titik awal dari islamisasi ilmu pengetahuan adalah membuang dogma netralitas etik dari science. Sehingga di dalam science yang telah mengalami islamisasi segala dogma - empirisme, rasionalitas, obyektifitas - harus terikat atau tetap di wilayah etika Islam. Upaya ini merupakan karya rintisan yang luar biasa berharga dan strategis bagi proyek pengambilan hikmah yang menjadi hak umat islam, sehingga beliau Ismail Raji' al Faruqi kemudian dibunuh.

Peletakan demokrasi dan pluralitas sebagai dogma atau aksioma menyebabkan agama dipandang sebagai sebuah permasalahan sosial. Oleh karena itu agama dipandang sebagai obyek yang mesti diamati untuk diletakkan secara tepat di dalam konstelasi sosio-kultural masyarakat agar tidak menyebabkan terjadinya ketegangan sosial-kultural, itulah mengapa diperlukan cara pandang semacam filsafat perennial. Pandangan yang demikian jelas tidak bisa diterima oleh islam (bahkan oleh setiap agama) karena islam menuntut pemeluknya untuk memposisikan al Qur'an dan Sunnah sebagai aksioma di mana selanjutnya segala konsep, segala tindakan dan hasil tindakan manusia harus diukur dengannya. Segala sesuatu yang tidak qur'ani dan sunni harus dianggap sebagai kejahatan yang harus dingkari dan dibasmi, itulah kemunkaran (munkar = yang diingkari); segala sesuatu yang qur'ani dan sunni adalah kebaikan yang harus diperintahkan dan dilakukan, itulah ma'ruf (= yang diketahui).

Lalu haruskah kita menolak demokrasi dan pluralitas? Jawabnya bisa tidak, bisa ya. Ya apabila keduanya ditempatkan sebagai dogma yang dengannya kemudian segala suatu dinilai benar tidaknya. Tidak bila keduanya tetap diikat oleh nilai-nilai qur'ani dan sunni; atau bila demokrasi dan pluralitas diartikan sebagai sistem yang memberi hak hidup bagi setiap elemen pluralitas untuk membangun dirinya sesuai dengan segala nilai yang diyakininya. Artinya sebagai umat islam kita juga diberi hak untuk terus mengembangkan dan memperjelas ciri khas kita sesuai dengan nilai-nilai yang dituntunkan oleh al Qur'an dan Sunnah, baik ketika nilai-nilai itu bersifat universal maupun nilai-nilai yang bersifat spesifik.

Mungkinkah itu ... ah rasanya itu hanya utopia.

Setiap orang toh boleh bermimpi:

After a time of decay comes the turning point. The powerful light that has been banished returns. There is movement, but it is not brought about by force. The movement is natural, arising spontaneously. For this reason the transformation of the old became easy. The old is discarded and the new is introduced. Both measures accord with the times; therefore no harm result. (I Ching dalam Fritjof Capra, The Turning Point)

tapi saya memilih tetap berjaga (ribath).

Wassalaamu'alaikum wr.wb.

Hamzah



From: Abu Al Fatih

Date: Monday, September 28, 1998 12:55 PM



Assalamu 'alaikum wr.wb.

Mas Hosen,

Saya turut mendo'akan agar proses kelahiran anak pertama Mas Hosen diberi kemudahan oleh Allah Swt dan ibu serta anaknya dalam keadaan sehat wal 'afiat. Amin.

Yang akan lahir ini cucu ke berapa dari KH.Ibrahim Hosen ?

Sampaikan salam dan ucapan selamat dari saya kepada beliau ya ? Semoga di usia beliau yang lebih dari 80 tahun ini, beliau tetap diberikan ni'mat kesehatan dan kemudahan di dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Amin

(Mas Hosen, tampaknya kelahiran anak pertama Mas Hosen akan beriringan dengan kelahiran anak ke-empat saya, yang diperkirakan lahir di akhir bulan Oktober 1998 ini. Kita saling men-subsidi do'a ya .. ? Semoga Allah Swt senantiasa memberikan kemudahan di dalam segala urusan yang kita hadapi. Amin).

Mas Hosen,

Tentang makalah Dr.M.Hidayat Nur Wahid itu, sementara ini saya belum sempat membuat salinan nya di komputer. Di samping cukup panjang (12 halaman), juga di sebagian isi makalahnya masih menggunakan bahasa Arab, yang bila diterjemahkan akan menambah jumlah halamannya, dan bila disalin dalam teks Arab nya, saya ndak punya software Arabic nya, dan kalau pun ada software nya, saya belum paham cara menyalinnya ke e-mail message itu (mungkin bisa di attach berupa file aslinya ya ?).

Sebagai penggantinya,

Saya coba sedikit meringkas makalah itu, yang insya Allah saya kirim dengan e-mail terpisah untuk menghindari pelampauan kuota 15 kb per e-mail (ternyata melampaui juga ya ? mohon maaf ya pengelola / admin Isnet).

Akhirul Kalam,

Saya berharap posting saya yang lalu ketika menanggapi Filsafat Perennial itu tidak dianggap ingin "mematikan" jalannya dialog. Dan insya Allah tidak ada niatan saya dengan pembahasan kemaren itu untuk menjadi "rotan" apalagi menjadi "rotan yang mencambuk".

Saya hanya ingin menjadi seorang muslim,

Yang - mengutip kata-kata Dr.Hidayat Nur Wahid - keyakinan akan kebenaran mutlak Islam yang merupakan jaminan keselamatan di dunia dan di akhirat - dan karenanya tidak mengenal "pluralisme" - di satu sisi, tidak menghalangi bahkan (berangkat dari pemahaman ideologi yang sama) justru sangat mementingkan faktor toleransi dengan agama lain, dan sangat menerima adanya realitas pluralitas agama dan ummat beragama, yang dengan itu dibangunlah peradaban dan tersebarlah nilai Rahmatan lil alamin nya.

Wallahu a'lam bish showab.

Wassalam

Abu Al Fatih



From: Abu Al Fatih

Date: Monday, September 28, 1998 12:59 PM



Assalamu 'alaikum wr.wb.

Mas Hosen,

Berikut ini ringkasan makalah Dr. M. Hidayat Nur Wahid yang saya sebutkan itu.

(Lihat artikel "Islam dan Pluralisme - Perspektif Pemikiran Islam Klasik")

Semoga bermanfaat.

Wassalam

Abu Al Fatih





From: Saptadi Nurfarid

Date: Tuesday, September 29, 1998 10:53 AM



Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Ikutan nimbrung ah .....

Harusnya Pak Nadir harus cukup jurus-jurus untuk berkelit ketika Akhi Hamzah menuduh pluralitas dianggap sebagai berhala baru atau dogma baru bagi 'pemeluknya'.

Atau sengaja Pak Nadir enggan berkelit ?

Sementara kita berbincang soal pluralitas, tuh..Partai Mega semakin menggembung, dari Tukang Becak, Anak-anak Kampung, sopir-sopir, kalangan marginal, semua gemar berteriak Mega Yes ! Umat kita yang terkotak-kotak (dengan pembelaan diakui secara kauniyah memang harus begitu ) lewat partai-partai Islam yang beragam, tak begitu popular di kalangan rakyat kecil sebagaimana Mega Yes ! Layaknya Sidang Umum saja, SCTV kemarin siaran langsung dari Saresehan PDI. Mengapa Mega pilihannya, apakah tidak terpikirkan oleh kita ? Atau kita mau lepas tangan, biarin saja, toh mereka nggak intelek kayak kita ?

Kristen-Islam-Budha-Hindu sama-sama jagongan bersama, duduk-duduk, makan-makan bersama, padahal jelas kecurigaan kita kemana arah Partai Mega melangkah, kalau menang atau hampir mayoritaslah.

Sesaat anda berbisnis, belajar ilmu, atau butuh dengan pemeluk agama lain, apakah kita berkelit ini lain persoalan dengan pluralitas ? Atau kita berlagak ini soal lain, dan lagi-lagi sunatullah ? Wah, kurang sportif dong kita ?

Pluralitas yang dimaksud adalah tentunya memberi tempat pada inklusivitas dan pemenuhan hak-hak mereka yang harus kita penuhi sebagaimana Islam menginginkannya. Menjadikan mereka teman 'kan bukan larangan, apalagi menjadikan mereka khadam. Kalau kita menjadikan teman kepercayaan dan pemimpin nomor wahid, itu baru haram.

Dalam pluralitas selalu saja System Islam yang mengambil keputusan, bukan sebaliknya, pemimpin Islam, tapi karena berada dalam lingkungan yang non-Islam, dan pemegang kendali intelktualnya bukan Islam, menjadi System Islam tersingkirkan. Contoh misalnya bisa saja Mbak Mega.

Inklusivitas itu membawa kita pada kedamaian. Sedangkan eksklusivitas membawa pada konflik. Apa pun namanya, ekslusivitas selalu membawa sentimen. Sentimen dan konflik ini yang masih jadi The Big Ghost bagi masyarakat kita kebanyakan. Sebaliknya, ekslusivitas bagi orang-orang Islam kebanyakan di Indonesia yang belum dewasa benar ini, membawa akibat pada konflik antar agama, terus rawan kerusuhan, rawan disintegrasi,.....wah nggak bakalan laku qudwah kita bagaima baik pun kita menampilkan diri.

Untuk memilih inklusif atau eksklusif masak kita harus belajar-belajar lagi. Padahal sudah banyak kejadian-kejadian yang menimpa bangsa ini, agar kita segera berpikir.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.



From: Siti Nurlina

Date: Tuesday, September 29, 1998 11:31 AM



Saya setuju dgn pak nurfarid, sekarang ini kayaknya Mega menjadi mayoritas pilihan kaum marginal, yah ini memang belum ada data pastinya, tapi buat saya yg pergi kekantor sering naik bis bisa saya katakan "Ya"..., I can see..I can feel it..seems all the people say " Mega Yes" tukang koran, tukang rokok...., supir-supir..., bahkan Mbak tukang cuci dirumah saya... wah heboh banget, mereka begitu bersemangat menyambut kongres PDI di Bali

Mereka adalah orang2 yg terlupakan...

padahal jumlah mereka sangat banyak, sangat banyak....

mungkin juga menjadi mayoritas penduduk Indonesia

belum lagi Mega adalah tokoh sangat nasionalis tanpa pandang bulu mo' suku apa saja dirangkul abis ! mau agama apa saja : Kristen, Hindu, Budha.., Islam..., semuanya!

saya rasa Amien Rais pun demikian(nasionalis), tapi sayang beliau sudah kena cap "Muhamadiyah" jadi yg non muslim masih berpikir, bahwa kalau dia yg terpilih maka kepentingan mereka tdk akan bisa teraspirasikan dgn baik..

Banyak kawan saya yg non Muslim, dari yg Cina sampai pribumi asli merasa bahwa mereka tak punya pilihan lain kecuali PDI Mega mereka merasa kepentingan mereka tdk akan tergusur dan terabaikan apabila Mega sang Tokoh tanpa pandang bulu ini menjadi pemimpin.

Well, toh saya tak perlu repot-repot menjelaskan bahwa tidak demikian bahwa Tokoh Islam yg lain akan menjadi pengayom dan pelindung yg baik... bahwa Islam mengajarkan adil dsb-nya...Wah bisa-bisa tenggorokan saya kering utk ngejelasin doank, atau malah ditinggal pergi...

(Tahu donk betapa sulitnya memberitahu kpd org2 non-muslim ttg betapa adilnya tokoh2 Islam kita)

Ok. segitu aja, semoga bisa menjadi info aktual :

Yg terlupakan, biasanya menjadi sangat penting ketika dibutuhkan.

Wassalam,



From: Nadirsyah Hosen

Date: Tuesday, September 29, 1998 11:43 AM



yup, saya memang tidak berkelit. Saya mengharap tanggapan yg lain agar semakin bertambah ilmu saya. Justru utk membuktikan bahwa keliru kalau pluralitas dianggap sebagai berhala baru, saya tidak berkelit dari komentar akhi hamzah dan akhi Abu al-Fatih.

Saya membuka ruang bahwa saya boleh jadi keliru dan mereka yang benar. So, daripada mengeluarkan jurus-jurus lebih baik saya menikmati komentar mereka seraya belajar dari mereka dan terus merenung sambil kalau sudah cukup info dan cukup punya kemampuan (dan waktu) saya akan berkomentar balik.

Bukankah yang sedang saya lakukan ini praktek inklusivitas?

Bukankah ini turunan dari pluralitas? Adakah dia terlihat sebagai "berhala"? Well, mungkin saja, mungkin juga tidak.

salam,

=nadir=



From: Abu Al Fatih

Date: Tuesday, September 29, 1998 1:55 PM



Assalamu 'alaikum wr.wb.

Untuk Mas Saptadi Nurfarid dan Mbak Siti Nurlina,

terima kasih karena saya (dan kita semua) telah diingatkan tentang fenomena saat ini, yakni tentang Mbak Mega dan para pendukungnya.

Memang fenomena yang satu ini telah cukup membuat kita "prihatin". Belum lagi bila ditambah dengan informasi (?) bahwa Matori Abdul Jalil telah menyatakan bahwa PKB sepakat mendukung Mbak Mega menjadi calon Presiden RI mendatang. Dengan tambahan informasi itu, rasanya lengkaplah sudah "keprihatinan" kita (kata anak muda / ABG sekarang, "keprihatinan" nya udah "komplit bo ..").

Lalu setelah kita "prihatin",

apa kira-kira usulan Mas Nurfarid dan Mbak Nurlina ?

Tentunya kita tidak berhenti pada "prihatin" saja kan ?

Dan saya pribadi yakin bahwa saudara-saudara kita di luar dunia virtual / internet saat ini juga tengah memikirkan dan melakukan upaya-upaya konkret dalam menghadapi "keprihatinan" ini, dan juga menghadapi "keprihatinan-keprihatinan" yang lainnya.

Lalu kita di dunia virtual ini (dan lebih spesifik lagi di lingkungan diskusi ML-Isnet ini) kira-kira ingin memberikan kontribusi apa ... ?

Beberapa waktu yang lalu,

Tepatnya hari Kamis tanggal 20 Agustus 1998 Pukul 13:04 (menurut timer di komputer saya), saya pernah mengirim posting mengomentari tulisan di harian Kompas tentang Mbak Mega dan Mas Dono Warkop di UI (tulisan itu saya posting lagi deh, mudah-mudahan masih relevan).

Saya pikir,

upaya teman-teman di UI untuk menampilkan "debat publik" antar publik figur dari berbagai orsospol saat itu cukup baik. Mungkin itu dapat dijadikan salah satu media untuk "menyaring" kader-kader calon pemimpin bangsa Indonesia masa mendatang secara "alamiah". Apalagi bila acara "debat publik" di hadapan forum akademis itu disiarkan langsung melalui media televisi (semisal acara Partai-Partai di TPI itu, tapi dengan kemasan yang lebih menarik dan disiarkan tidak terlalu larut malam, kalau perlu di waktu "prime time" yang banjir iklan itu).

Dan upaya melakukan "seleksi alamiah" ini tentunya bukan hanya melalui debat publik saja, tapi juga antara lain melalui counter image melalui berbagai media massa yang ada (tentunya dengan tetap memelihara akhlaq Islam / prinsip kebenaran dan keadilan).

Sementara ini usulan Mas Nurfarid dan Mbak Nurlina apa ... ?

Insya Allah saya juga tertarik mendiskusikan upaya-upaya mengatasi "keprihatinan" yang satu ini.

Adapun tentang diskusi Perennial Philosophy itu,

saya akui bahwa saya memang sedikit "terpancing" dengan posting Mas Nadirsyah Hosen yang mengutip tulisan Budi Munawar Rahman berjudul "Filsafat Perenial sebagai Agenda Etika Global" dalam "membingkai" diskusi seputar pluralitas itu.

Tapi percayalah,

meski saya "cukup bersemangat" dalam me-respon Filsafat Perennial itu, insya Allah saya ndak sampai melupakan realitas politik saat ini. Dan saya pikir saya masih proporsional dalam menanggapi Filsafat Perennial itu, karena memang ada yang memulai menulis tentang tema itu (dan diskusi ini setidaknya telah menambah wawasan saya tentang dunia Perennial itu). Dan kalau dianggap tema diskusi ini sudah selesai, ya juga ndak pa-pa.

Bagaimana Mas Hosen ... ?

Diskusi Perennial Philosophy nya udahan aja dicukupkan sampai di sini...? Atau masih ingin dilanjutkan ... ? (insya Allah saya OK-OK aja - to be or not to be continued - that's no problem)

Wassalam

Abu Al Fatih





From: "Nadirsyah Hosen"

Date: Tue, 29 Sep 1998 20:20:04 +1000



Akhi Abu al-fatih yang baik,

Saya sih bagaimana baiknya saja. Kalau mau diteruskan ya alhamdulillah

karena saya bakal terus bisa belajar soal perenial itu dari diskusi kita.

Kalau ndak berkenan diteruskan, ya ndak apa-apa, barangkali ada topik

diskusi lain yang lebih bermanfaat. Atau kita japrian aja diskusi

perenialnya ? Biar nggak mengganggu yang ingin diskusi soal politik:-)



salam hangat,

=nadir=



(catatan = sampai di sini, sebenarnya praktis bincang-bincang soal Perennial di ML-Isnet ini berakhir. Tema sudah bergeser ke hal-hal politis. Adapun kelanjutan diskusinya via japri antara saya (Abu Al Fatih), Mas Nadirsyah Hosen dan Mas Saptadi Nurfarid dengan tema kira-kira "bincang-bincang soal berbeda pendapat". Ada yang berminat mengikuti diskusi via japri ini ?)



Suplemen Bincang-Bincang Soal Perennial :



Date: Sun, 4 Oct 1998 16:15:58 -0500

From: Abu Al Fatih

Subject: Forward "Perennial" dari tempat lain



Assalamu 'alaikum wr.wb.

Mas Hamzah dan Mas Nadirsyah Hosen,

Saya salinkan di bawah ini tulisan dari salah seorang yang menanggapi posting Mas Hosen tentang tulisan Budi M.R. soal "Filsafat Perennial sebagai Agenda Etika Global", di Mailing List Diskusi Sara. Bukan untuk melanjutkan diskusi kita soal Perennial, tapi sekedar tambahan informasi (dengan harapan ada kemanfaatan yang bisa dipetik dari tulisan itu).

Boleh jadi,

Bagi Mas Hosen, tulisan (di bawah) ini akan memberikan nuansa yang lain dari tanggapan saya dan Mas Hamzah di ML-Isnet. Respon yang (mungkin) memiliki "penghayatan" yang lebih tinggi terhadap Perennial Phylosophy (coba lah lihat bagian yang mencoba menjelaskan "tingkatan transenden" yang membedakan "panjang pendek"nya daya jangkau berbagai way-of-life yang ada, dari ummat beragama hingga kelompok atheis).

Dan bagi Mas Hamzah, tulisan tersebut boleh jadi akan menambah keyakinan Mas Hamzah dengan tesis-nya "kenapa Allah tidak pernah menurunkan dien-Nya kepada para filosof" (ungkapan Mas Hamzah ini cukup "berkesan" bagi saya, sebagai mantan (ehm) "filosof").

Wallahu a'lam …

Wassalam

Abu Al Fatih



Date:5 Oct

From:Nadirsyah Hosen

Subject:Re: Forward "Perennial" dari tempat lain



Assalamu 'alaikum wr wb

Jazakallah atas forwardnya. Kebetulan saya ikutan milis spiritual. Dan disana saya juga sudah membaca artikel tsb. Bahkan di milis spiritual banyak yang lagi "membantah" tulisan mas pristiwa itu. Kira-kira kalau boleh saya bandingkan (mohon maaf atas kekurangajaran saya ini) akhi Hamzah itu muslim yg taat dan karena ketaatannya menolak filsafat perenial. Mas Pristiwa E merupakan katolik yg taat yang karena itu menolak filsafat perenial. Menarik bukan....ternyata katolik yg taat dan muslim yg taat sama-sama menolak filsafat perenial.

Saya yang muslim dan boleh jadi tidak setaat akhi Hamzah dan akhi Abu al-Fatih sedang mempelajari filsafat perenial ini. Saya masih belajar terus nih.....

salam hangat untuk akhi Hamzah dan akhi Abu al-Fatih sekeluarga,

=nadir=

Date:06 Oct

From:Hamzah

Subject:Re: Forward "Perennial" dari tempat lain



Assalaamu'alaikum wr.wb.

Walah-weleh akhi Nadir ini bisa saja kalau sedang merendahkan dirinya

Saya sih tidak suka dengan "taat, tidak taat, atau lebih taat", setidak suka dengan "boleh jadi saya salah atau mereka benar". Bagi saya mungkin masalahnya adalah:

"Kerendahan hati itulah yang membuat akhi Nadir menerima (empathi)

tapi kerendahan hati pula yang membuat saya menolak."

Tentang Frithjof Schuon, seingat saya beliau punya tulisan berjudul Islam Perennial, tapi saya belum sempat membacanya, waktu itu saya memang sudah mulai meninggalkan filsafat. Saya lebih menyukai pengalaman keimanannya Roger Garaudy.

Untuk akhi Abu al Fatih tolong saya selalu dikirimi tulisan yang akhi pandang baik untuk saya, demikian pula untuk akhi Nadirsyah.

Salam hangat untuk akhi Abu al Fatih dan akhi Nadir sekeluarga. Akhi Nadir gimana putranya sudah lahir belum?

Wassalaamu'alaikum wr.wb.

Hamzah