Friday, July 16, 2010

Pilihan di antara Pluralitas

From: Hamzah

To: Milis is-lam

Subject: [is-lam] Pilihan di antara Pluralitas

Date: Sunday, September 20, 1998 4:14 PM



Assalaamu'alaikum wr.wb.



Saya memiliki sedikit sekali wawasan pluralitas, yang sedikit itu selalu saja membuat saya takut menjadi musyrik. Mengapa? karena saya takut tanpa sadar pluralitas telah saya posisikan sebagai dogma, yakni menjadi prinsip dasar yang saya pandang benar dengan sendirinya. Lalu ... tanpa sadar saya hakimi benar salah setiap pendapat, setiap konsep, setiap pernyataan, dengan dogma tersebut. Ketika kesemuanya itu sesuai dengan citra pluralitas maka saya katakan sebagai benar, sebaliknya apabila kesemuanya itu tidak sesuai dengan citra pluralitas maka akan saya katakan sebagai salah.



Saya memiliki sedikit sekali wawasan demokrasi, yang sedikit itu selalu saja membuat saya takut menjadi musyrik. Mengapa? Karena saya takut tanpa sadar demokrasi telah saya posisikan sebagai dogma, yakni menjadi prinsip dasar yang saya pandang benar dengan sendirinya. Lalu ... tanpa sadar saya hakimi benar salah setiap pendapat, setiap konsep, setiap pernyataan, dengan dogma tersebut. Ketika kesemuanya itu sesuai dengan citra demokrasi maka saya katakan sebagai benar, sebaliknya apabila kesemuanya itu tidak sesuai dengan citra demokrasi maka akan saya katakan sebagai salah.



Saya juga memiliki sedikit wawasan tentang rasionalisme, empirisme, netralitas etik, dan obyektivitas, yang sedikit itu selalu ...



Jadi saya akan selalu siap mengambil semangat dari perkataan seorang Hidayat Natamaatmaja, yang telah saya anggap sebagai guru saya di bidang konflik level ideologis dan paradigmatis - meskipun saya tidak sepakat pada banyak kesimpulan-kesimpulan beliau. Kata-kata itu adalah:



Saya tidak mengajukan alternatif teori

melainkan IMPERATIF baru.

Karena itu teori yang saya ajukan mempunyai

daya bunuh yang sangat mengagumkan.

Tiada teori-teori lama yang bertentangan

dengan imperatif baru ini mendapat tempat

untuk hidup berdampingan

di masa datang.



Missi seorang inovator adalah untuk membunuh,

suatu tugas yang sering dibenci orang.

Karena itu tidak heran Anda membenci saya,

karena ada sesuatu yang terbunuh di hati Anda.



Membunuh kebatilan adalah suatu tugas yang suci,

bagaimanapun pun sakralnya kebatilan itu.

Menjelang datangnya ajal itu

kebatilan akan meronta mengelak Hari Kepastian itu,

yang mungkin menyebabkan Anda tidak tega melihat,

tidak tega mengalami sakaratul maut itu

meskipun itu hanya kebatilan yang bersembunyi

di hati Anda ...

[dari Hidayat Nataatmaja, Pemikiran ke Arah Ekonomi Humanistik: Suatu Pengantar Menuju Citra Ekonomi Agamawi, Yogyakarta: PLP2M, 1984]



Saya berjanji untuk dapat selalu ikhlas menerima kesulitan yang ditimbulkan oleh eksistensi saya sebagai seorang muslim. Di satu sisi saya punya risiko untuk menjadi kafir karena mengkafirkan orang yang bukan kafir, tetapi di sisi lain saya juga dihadapkan pada risiko menjadi kafir karena tidak mengkafirkan orang yang telah jelas-jelas kafir. Semoga saya berani memilih bila pilihan ini dihadapkan kepada saya.



Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang

menyebabkanmu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tidak mempunyai

seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi

pertolongan. (QS. 11:113)



Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir

condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah,

Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu

(pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat

seorang penolongpun terhadap Kami. (QS. 17:74-75)



Wassalaamu'alaikum wr. wb.

Hamzah

---------------------------------------------------------------------

To a friend who lives in virtual world ... I hope you dare to speak out





From: syarif@centrin.net.id

To: is-lam@isnet.org

Subject: Re: [is-lam] Pilihan di antara Pluralitas

Date: Monday, September 21, 1998 8:07 AM



Assalamualaikum wr.wb,



At 04:14 PM 9/20/98 +0700, you wrote:

>Assalaamu'alaikum wr.wb.

>

>Saya memiliki sedikit sekali wawasan pluralitas, yang sedikit itu selalu saja

>membuat saya takut menjadi musyrik. Mengapa? karena saya takut tanpa sadar

>pluralitas telah saya posisikan sebagai dogma, yakni menjadi prinsip dasar

yang

>saya pandang benar dengan sendirinya. Lalu ... tanpa sadar saya hakimi benar

>salah setiap pendapat, setiap konsep, setiap pernyataan, dengan dogma

tersebut.

>Ketika kesemuanya itu sesuai dengan citra pluralitas maka saya katakan

sebagai

>benar, sebaliknya apabila kesemuanya itu tidak sesuai dengan citra pluralitas

>maka akan saya katakan sebagai salah.

>



Brangkali yang Mas perlukan adalah menambah pengetahuan/wawasan yang sedikit itu, agar dapat pemahaman yang lebih baik, dan apapun itu jangan di jadikan dogma.



>Saya memiliki sedikit sekali wawasan demokrasi, yang sedikit itu selalu saja

>membuat saya takut menjadi musyrik. Mengapa? Karena saya takut tanpa sadar

>demokrasi telah saya posisikan sebagai dogma, yakni menjadi prinsip dasar

yang

>saya pandang benar dengan sendirinya. Lalu ... tanpa sadar saya hakimi benar

>salah setiap pendapat, setiap konsep, setiap pernyataan, dengan dogma

tersebut.

>Ketika kesemuanya itu sesuai dengan citra demokrasi maka saya katakan sebagai

>benar, sebaliknya apabila kesemuanya itu tidak sesuai dengan citra demokrasi

>maka akan saya katakan sebagai salah.

>



Kita tambah terus deh ilmu kita masing masing, agar dapat lebih saling mengerti pijakan masing masing. Tetapi kalau nggak mau tambah juga nggak apa apa, kita tanggung sendiri sendirilah keyakinan kita.



>eksistensi saya sebagai seorang muslim. Di satu sisi saya punya risiko untuk

>menjadi kafir karena mengkafirkan orang yang bukan kafir, tetapi di sisi lain

>saya juga dihadapkan pada risiko menjadi kafir karena tidak mengkafirkan

orang

>yang telah jelas-jelas kafir. Semoga saya berani memilih bila pilihan ini

>dihadapkan kepada saya.



Saya sedikit kurang jelas mas,apakah kita perlu teriak teriak menuduh orang kafir sebagai orang kafir, ataukah kita hanya perlu menjaga diri kita jangan meniru jadi kafir, dan kalau bisa mengingatkan dia baik baik agar jangan jadi kafir.



Soalnya setahu saya yang berilmu sedikit ini, kita tidak akan dimintai pertanggung jawaban tentang kesalahan orang lain. jadi kalau orang lain kafir, maka orang itu sendirilha yang dimintaitanggung jawabnya. Masa sih kalau ada orang lain kadir, dan saya tidak berteriak mengkafirkan dia lalu saya jadi kafir. Saya pikir saya hanya harus berbuat mencegah diri saya untuk berbuat kekafiran. Dan bukan menuduh nuduh orang lain kafir.



Mohon penjelasannya, dan maaf pengetahuan saya mat sedikit, dan mungkin mengganggu Mas dengan pertanyaan sepele ini.



>

> >To a friend who lives in virtual world ... I hope you dare to speak out

>

>

Wassalam,

____________________________

Haniwar Syarif

mailto:syarif@centrin.net.id



From: Hamzah

To: is-lam@isnet.org

Subject: Re: [is-lam] Pilihan di antara Pluralitas

Date: Wednesday, September 23, 1998 1:39 PM

syarif@centrin.net.id wrote:



> Assalamualaikum wr.wb,

>

> ...



Wa alaikum salam wa rahmatullahi wa barakaatuhu



Betul akhi Syarif saya memang perlu belajar lebih banyak lagi. Tulisan itu hanya memperingatkan agar diri saya berhati-hati jangan sampai saya tanpa sadar telah menjadikan demokrasi, pluralitas, rasionalitas, netralitas, empirisme, obyektifas menjadi dogma, sehingga saya tempatkan sebagai sesuatu yang dengan sendirinya benar, dan menjadi penentu bagi benar dan salahnya sesuatu.



Tentang uraian pengkafiran itu maksud saya begini: Sikap hati-hati perlu dilakukan baik pada tindak "pengkafiran" maupun tindak "tidak mengkafirkan". Karena kedua-duanya sama-sama bisa berbalik kepada kita. Pada level yang lebih rendah ya kalau memang sesuatu itu batil menurut islam ya mesti harus dinyatakan batil, demikian pula bila sesuatu itu haq menurut islam ya harus dinyatakan sebagai haq. Orang tidak boleh bersembunyi di balik "pluralitas" dan "demokrasi".



> Wassalam,

>



Wa alaikum salam wa rahmatullahi wa barakaatuhuHamzah



> ____________________________

> Haniwar Syarif

> mailto:syarif@centrin.net.id

>





From: Nadirsyah Hosen

To: is-lam@isnet.org; nhosen@metz.une.edu.au

Subject: Re: [is-lam] Pilihan di antara Pluralitas

Date: Thursday, September 24, 1998 11:13 AM



Hamzah:

>Tentang uraian pengkafiran itu maksud saya begini: Sikap hati-hati perlu

>dilakukan baik pada tindak "pengkafiran" maupun tindak "tidak

>mengkafirkan". Karena kedua-duanya sama-sama bisa berbalik kepada kita.

>Pada level yang lebih rendah ya kalau memang sesuatu itu batil menurut

>islam ya mesti harus dinyatakan batil, demikian pula bila sesuatu itu

>haq menurut islam ya harus dinyatakan sebagai haq. Orang tidak boleh

>bersembunyi di balik "pluralitas" dan "demokrasi".

>



yup, akhi hamzah betul. Yang haq tetaplah haq, begitupula yg batil tetaplah batil. Masalahnya boleh jadi menurut si A sesuatu itu melanggar prinsip islam, sementara menurut si B itu tidak melanggar. Si A dan si B sama-sama merujuk pada Qur'an dan hadis. Pada titik ini yg terjadi seharusnya adalah menghargai perbedaan pendapat, bukan kafir mengkafirkan atau bid'ah membid'ahkan, terlepas apakah namanya pluralitas atau demokrasi atau apalah:-)



Ide pluralitas bukanlah berarti mencampuradukkan antara yg batil dg yang haq. Ide pluralitas juga bukan menabrak aturan Qur'an dan hadis. Dalam kalimat pluralitas sebenarnya terkandung inklusivitas, yaitu tidak merasa dirinya paling benar, dan membuka kemungkinan bahwa boleh jadi saya yang keliru dan orang lain lebih benar.



Pluralitas dalam beragama, bukan berarti mencampuradukkan antara islam, kristen, Budha dan lainnya. Yang terjadi adalah sesama penganut agama menghargai dan saling menghormati seraya saling mengajak untuk bekerjasama dalam memecahkan masalah kemasyarakatan.



Pluralitas dalam islam bukan berarti mencampuradukkan antara mazhab-mazhab, namun saling mengakui eksistensi mazhab-mazhab itu dan saling menghargai disertai semangat ukhuwah islamiyah agar tak terpecah belah.



Sebagai umat islam, saya merasa tidak ada kata final dalam memahami islam. Setiap hari saya selalu meng-islam. Setiap waktu selalu saya merenung dan berpikir akan Islam. Saya membuka peluang atau kemungkinan bahwa boleh jadi

pemahaman saya akan islam itu keliru. Karena itu paham ataupun pendekatan apapun thd Islam saya persilakan.

Yang benar pastilah benar. Saya tak takut aqidah saya ternoda dg membuka pintu lebar-lebar masuknya semua paham atau pendapat. Justru karena sampai saat ini saya yakin Islamlah agama yang paling benar sehingga saya terus "menguji" kebenaran agama saya ini. Pada titik ini tidak ada kata final dalam belajar memahami Islam, tidak ada kata akhir dalam meng-islam-kan diri saya.



Sehingga saya yakin Islam ini benar bukan karena ustadz saya mengatakan begitu; bukan karena ayat suci mengklaim demikian, namun karena saya terus menerus mengkaji Islam dalam berbagai aspeknya. Keyakinan saya bahwa islam-lah agama yg benar tidak menafikan saya dari kemungkinan bahwa ajaran agama lain pun mengandung elemen-elemen kebenaran.



Kebenaran itu bagaikan papan lingkaran tempat anak panah tertuju. Ketika panah dilepaskan, ada yang tepat tertuju pada inti papan (nilai 10). Adapula yang meleset dan hanya masuk di pinggir papan (nilai 1). Namun semuanya berada pada papan lingkaran itu; lingkaran kebenaran. Islam bagi saya bernilai 10 dan tepat pada titik inti.

Agama lain boleh jadi juga berada pada papan lingkaran itu, namun meleset dan hanya berada di pinggiran; bukan di inti kebenaran.



Apakah kemudian semua pemeluk agama akan masuk surga? Saya tak tahu. Yang jelas saya memeluk Islam bukan karena saya tergoda dg iming-iming surga. Saya meng-islam karena saya mencari keridhaan Allah, terserah Allah kalau Allah berkenan memasukkan saya ke surga-Nya atau malah saya dilemparkan ke neraka-Nya (sementara Paus malah masuk surga). Saya tak akan protes dan tak akan iri. Bagi saya, Allah itu cukup!



Kalau akhi Hamzah tidak setuju pada pendekatan pluralitas, sebagai yang menganut pendekatan ini, saya pun menghargai pendapat akhi Hamzah, seraya mengakui boleh jadi akhi Hamzah yg benar dan saya yang keliru:-)



Bukan saja tidak ada kata final dalam memeluk islam atau ber-islam.

Juga tidak ada kata final dalam berpegang pada ide pluralitas.



salam,

=nadir=



==============================================

Nadirsyah Hosen

mailto : nhosen@metz.une.edu.au

nadirsyah.hosen@isnet.org



URL : http://metz.une.edu.au/~nhosen

mobile phone : 041-227-8437

==============================================





From: Hamzah

To: is-lam@isnet.org

Subject: Re: [is-lam] Pilihan di antara Pluralitas

Date: Thursday, September 24, 1998 12:52 PM



Nadirsyah Hosen wrote:



> di delete



Assalaamu'alaikum wr.wb.



Akhi Nardisyah Hosen rahimakallah, terima kasih atas wacana yang akhi berikan tentang pluralitas dan filsafat perennialnya. Dalam "becoming" kita semua memang mencoba memberi arti pada seluruh apa yang pernah kita alami dalam kerangka iman. Pada tataran konsep/pemikiran/kajian saya bisa menerima seluruh perbedaan pendapat, saya bisa menikmati kata-kata Sorenz Kierkegard, seperti halnya saya bisa memahami Sang Nabi-nya Kahlil Gibran. Saya bisa mengerti dan bahkan saya mengambil kekuatan dari filsafat bertindaknya Karl Max (ingat bukan Marxis), yang kekuatan itu saya rasakan kembali ketika saya membaca Rumah Kaca-nya seorang sastrawan yang dihujat Prahara Budaya. Kenapa demikian! Saya tidak tahu secara pasti! Tapi yang saya rasakan di situ ada kejujuran bersikap, konsistensi untuk bersikap dan bertindak, ada ekspresi kemarahan yang tulus, dan yang jelas ada kehangatan emosi yang tanpa permintaan permakluman atas nama apa saja.



Saya memang tidak bisa menikmati Cak Nur, Cak Harun (inna lillahi wa inna ilaihi raji'un), Cak Munawir, dan Cak cak cak yang lain, termasuk Cak Budhy yang tulisannya akhi posting. Mungkin karena saya memang terlalu bodoh dalam artian menolak yang discursive (Tao?), yakni yang dengan kata-kata dan konsep telah mengukung benda-benda dalam jaringan-jaringan buatan, terpisah satu dari lainnya, serta memotong-motongnya sehingga tidak memberi kepada kita kecuali gambaran-gambaran yang terbagi-bagi, yakni gambaran yang palsu dari realitas.

Tapi yang jelas bukan karena persoalan benar dan salah, salah atau benar, benar atau benar, dan salah atau salah, tetapi karena saya tidak bisa menemukan kehangatan di dalam pemikiran mereka. That's All. Mereka terlalu dingin buat saya ... terus terang saya takut beku ... brrr :-)



> Sehingga saya yakin Islam ini benar bukan karena

> ustadz saya mengatakan begitu; bukan karena ayat suci

> mengklaim demikian, namun karena saya terus menerus

> mengkaji Islam dalam berbagai aspeknya. Keyakinan

> saya bahwa islam-lah agama yg benar tidak menafikan

> saya dari kemungkinan bahwa ajaran agama lain pun mengandung

> elemen-elemen kebenaran.

>



Saya tidak setuju sepenuhnya - tapi saya bisa mengerti - sebab hal ini tergantung pada level apa kita akan melakukan perbandingan, pada level ideologis, nilai, kepentingan, atau instrumennya.



> Kebenaran itu bagaikan papan lingkaran tempat anak panah tertuju.

> Ketika panah dilepaskan, ada yang tepat tertuju pada inti

> papan (nilai 10). Adapula yang meleset dan hanya masuk di pinggir

> papan (nilai 1). Namun semuanya berada pada papan lingkaran itu; lingkaran

> kebenaran. Islam bagi saya bernilai 10 dan tepat pada titik inti.

> Agama lain boleh jadi juga berada pada papan lingkaran itu, namun

> meleset dan hanya berada di pinggiran; bukan di inti kebenaran.

>



Wah di sini saya tidak mempunyai pijakan untuk mengatakan sesuatu. Dalam benak saya tidak pernah terpikir untuk menilai kebenaran mereka dengan nilai 10, 9, 8 ... 0 atau mungkin -1, -2 dll. Pada titik ini saya memilih berhenti memikirkan.

Pokoknya yang penting saya islam dan tugas saya dari ke waktu-waktu adalah memperjelas citra keislaman pada seluruh aspek kehidupan. Di sini menurut saya, kita akan berhadapan dengan pemikiran jahiliyah (non islam) dan sistem jahiliyah. Pemikiran jahiliyah harus dihadapi dengan dakwah dan sistem jahiliyah

harus dihadapi dengan jihad fii sabilillah, jangan dibalik-balik.



> Apakah kemudian semua pemeluk agama akan masuk surga? Saya tak tahu.

> Yang jelas saya memeluk Islam bukan karena saya tergoda dg iming-iming

> surga. Saya meng-islam karena saya mencari keridhaan Allah, terserah Allah

> kalau Allah berkenan memasukkan saya ke surga-Nya atau malah saya

> dilemparkan

> ke neraka-Nya (sementara Paus malah masuk surga). Saya tak akan protes dan

> tak akan iri. Bagi saya, Allah itu cukup!

>



Ini lagi ... saya juga tidak memiliki pijakan untuk memberi komentar. Saya memeluk islam ya sama seperti akhi karena mencari keridhaan Allah, nah karena saya mencari keridhaan Allah - sesuai dengan perintah Allah - maka saya berupaya untuk menghindarkan diri saya, keluarga saya, dan saudara seiman saya, bahkan yang bukan muslim sekali pun (dengan dakwah yang bisa membawa mereka kepada Islam) dari neraka, yang kalau menggunakan kalimat lain ya berarti berupaya untuk masuk sorga.



> Kalau akhi Hamzah tidak setuju pada pendekatan pluralitas,

> sebagai yang menganut pendekatan ini, saya pun menghargai

> pendapat akhi Hamzah, seraya mengakui boleh jadi akhi Hamzah

> yg benar dan saya yang keliru:-)



Kapan ya saya pernah bilang tidak setuju. Saya hanya bilang (editorialnya agak lain dengan yang ini) bahwa saya memiliki wawasan pluraritas yang sedikit, dan yang sedikit itu sudah membuat saya mewanti-wanti khususnya untuk diri saya sendiri dan mungkin saudara saya yang lain agar berhati-hati, karena kalau berlebihan di dalam mensikapinya bisa-bisa membuat kita menjadi musyrik, yakni tanpa sadar kita telah meletakkan pluralitas sebagai dogma (paradigma) yang dengannya kita menilai benar dan salahnya segala sesuatu.



Disini sebenarnya kejujuran diri yang sangat penting untuk menghakimi apakah saya memang berbeda pendapat karena memang ada kawasan di dalam islam untuk menampilkan citra pluralitas, atau karena kepentingan yang lain. Bukanlah hak saya untuk menghakimi hati orang lain. Konon ulama yang baik adalah yang

fatwanya dapat menutup pintu kemaksiatan tetapi dalam waktu yang sama tidak

memberatkan umat di dalam beramal.



> Bukan saja tidak ada kata final dalam memeluk islam atau ber-islam.

> Juga tidak ada kata final dalam berpegang pada ide pluralitas.



Akhi memiliki semangat yang (mungkin :-)) sama dengan saya: bagi saya tidak ada akhir, semuanya adalah permulaan. Bukankah esok adalah penciptaan yang sama sekali baru, bukan kelanjutan linier dari hari kemarin? Akhi Nadirsyah rahimakallah pasti setuju dengan saya!!! :-)



Wassalamu'alaikum wr.wb.

Hamzah

-----------------------------------------------------

See your wife, your children and all as God sees them

free, upright, perfect ...