Friday, July 16, 2010

Paradigma Masyarakat Madani

Paradigma Masyarakat Madani Sebuah Acuan Reformasi



Oleh Dr. Ahmad Hatta

Sekretaris Umum LP2S1 Al Haramain dan Dosen STEI Jakarta





Pernyataan Presiden Soeharto bahwa reformasi yang dituntut oleh banyak pihak bisa dilakukan, bahkan sudah bisa dimulai sekarang, tentunya sangat melegakan semua pihak yang menuntut reformasi itu. Namun ''gayung bersambut'' ini akan hanya sia-sia, apabila kita tidak mempunyai acuan yang pasti tentang reformasi yang kita inginkan. Maka sebagai sikap responsif-positif yang harus diambil secepatnya untuk saat ini adalah pengkajian paradigma-paradigma baru yang mungkin menjadi acuan dalam reformasi ini.



Banyak pakar ilmu-ilmu sosial menjadikan konsep civil society sebagai paradigma masyarakat ideal pada masa depan. Namun karena konsep ini masih diperdebatkan di antara beberapa aliran dan masih bersifat diskursus teoritis, maka konsep ini sangat utopis dan tidak practicable. Karena itu beberapa cendikiawan muslim, seperti Prof Dr Naquib Al Attas -- yang beberapa waktu lalu mengadakan diskusi bertema ''Masyarakat Madani or Civil Society -- berusaha untuk mempresentasikan bahwa paradigma masyarakat madani lebih relevan untuk masyarakat ideal pada masa depan daripada konsep civil society. Terminologi ''masyarakat madani'' memang dipopulerkan oleh Al Attas. Istilah ini merupakan terjemahan dari kosakata bahasa Arab, mujtama' madani, yang secara etimologis mempunyai dua arti: Pertrama, ''masyarakat kota,'' karena madani adalah derivat dari kata bahasa Arab, madinah yang berarti kota. Kedua, masyarakat yang berperadaban, karena madani adalah juga merupakan derivat dari kata Arab tamaddun atau madaniyah yang berarti peradaban -- dalam bahasa Inggris, ini dikenal sebagai civility atau civilization. Maka dari makna ini, masyarakat madani bisa berarti sama dengan civil society, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.



Namun secara terminologis -- dan yang penulis maksudkan di sini -- masyarakat madani adalah komunitas muslim pertama di kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW dan diikuti oleh keempat Khulafahur Rasyidin. Masyarakat ini identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural sangat berintikan kepada civility (keadaban). Dan masyarakat ini juga sangat relevan untuk menjadi paradigma masyarakat modern, karena sebagaimana yang diakui sosiolog agama Robert N Bellah, masyarakat muslim klasik yang dipimpin Rasulullah SAW ini adalah masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya. Masyarakat ini telah membuat lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dan kapasitas politik, sehingga masih tetap dan sangat aktual untuk menjadi acuan dalam shift paradigm (Robert N Bellah, Beyond Belief, 1976).



Konstitusi Madinah



Secara sosio-politik, sebagai sebuah negara atau state, masyarakat madani sudah sangat maju dibandingkan dengan negara-negara pada masanya atau yang pernah ada dalam sejarah sebelumnya. State atau bentuk negara sudah ada dalam sejarah manusia sejak awal. Pada zaman Yunani Kuno ia disebut polis, pada zaman Romawi ia disebut civitas atau status rei, publicae. Lalu istilah status dalam bahasa Latin berubah menjadi stato dalam bahasa Itali, l'etat dalam bahasa Prancis, dan state dalam bahasa Inggris.



Masyarakat madani telah mempunyai sebuah konstitusi yang disebut Mitsaqul Madinah (Piagam Madinah) yang dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah kemanusiaan (Hamidullah, First Written Constitutions in the World, Lahore, 1958). Piagam ini tak hanya sangat maju pada masanya, tetapi juga menjadi satu-satunya dokumen penting dalam perkembangan kebebasan konstitusional dan hukum dalam dunia Islam.



Bahkan apa yang dikatakan hak yang telah diberikan kepada masyarakat modern sebagai usaha civilize oleh American Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan Amerika 1776), French Revolution (Revolusi Prancis 1789), dan The Universal Declaration of Human Rights of the UNO, sebenarnya secara substansial telah termaktub dalam Piagam Madinah. Karena itu beberapa dekade terakhir kajian terhadap piagam ini menjadi sangat signifikan untuk acuan masyarakat masa depan.



Secara umum ada dua nilai dasar yang tertuang dalam Piagam Madinah sebagai fundamental dalam mendirikan negara Madinah. Pertama, almusawah wal 'adalah, prinsip kesederajatan dan keadilan. Kedua, inklusivisme (keterbukaan). Kedua prinsip ini lalu dijabarkan dan ditanamkan dalam bentuk beberapa nilai humanis-universal lainnya, seperti: 'itidal (konsisten), tawazun (seimbang) tawasut (moderat), dan tasamuh (toleran).



Masyarakat madani yang bernilai-nilai kehidupan itu dapat dibangun hanya setelah Rasulullah SAW melakukan inner reformation and transformation pada individu yang berdimensi akidah, ibadah, dan akhlak. Karena itu iman dan moralitas menjadi landasan dasar Piagam Madinah.



Al iman billah, keyakinan kepada Allah yang transenden, as-sami' (maha mendengar), albashir (maha melihat), dan al'alim (maha mengetahui) melahirkan keinsafan diri dan menciptakan kedamaian dan ketentraman jiwa serta membuat manusia menjadi lebih manusiawi. Sedangkan moralitas adalah buah dari iman dan ibadah. Keimanan yang benar dan ibadah yang dilakukan dengan keikhlasan akan membuat kepekaan moral yang tinggi dan kesadaran sosial yang dalam.



Semua prinsip dan nilai di atas menjadi dasar semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, dan hukum, sehingga masyarakat madani adalah satu bentuk civil society ideal yang pernah ada karena telah berhasil mencapai targetnya, yaitu dapat mengakomodasi dan mengorganisasi economic interests, religious views dan ethic solidarities.



Politik



Dalam aspek politik, walaupun tiga institusi negara -- yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif -- dipegang oleh Rasulullah SAW sendiri, namun negara dapat mengakomodasi semua kepentingan masyarakat. Semua rakyat mendapat hak yang sama dalam politik. Mereka tidak dibedakan berdasarkan kelompok politik, suku, atau pun agama. Semua lapisan masyarakat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Pertanyaan yang muncul tentunya adalah: Apa rahasia keberhasilan ini?



Ada beberapa jawaban yang bisa diajukan.



Pertama, walaupun otoritas tiga institusi ini ada di tangan Rasulullah SAW, namun beliau dapat membagi dan membatasi tiga kekuasaan ini dengan jelas dan seimbang, sehingga ketiga lembaga ini menjadi lembaga yang indenpenden dan kuat -- dan ini memang tidak mungkin dilakukan kecuali oleh Rasulullah SAW sebagai manusia super dalam segala hal. Beliau dengan cermat dapat menemparkan diri, kapan sebagai legislatif, kapan sebagai eksekutif, atau kapan pula sebagai yudikatif.



Sebagai legislatif, beliau sadar betul bahwa beliau wakil rakyat yang memiliki publik accountability, maka suara yang keluar dari beliau dalam melakukan mekanisme kontrol terhadap lembaga eksekutif adalah suara rakyat secara keseluruhan, bukan suara pribadi atau golongan.



Sebagai eksekutif, beliau sadar betul bahwa tugas yang beliau pikul adalah amanat mandataris lembaga legislatif, sehingga beliau mempunyai kesiapan total untuk menerima teguran dan kontrol dari lembaga itu. Beliau siap mengubah atau mereformasi semua kebijakan yang sudah tidak relevan dengan perkembangan rakyat. Karena itu dalam Islam kita mengenal konsep nash wa mansukh, yaitu Rasulullah SAW menghapus kebijaksanaan yang lama dengan kebijaksanaan yang baru, seperti pengharaman perkawinan muth'ah yang sebelumnya beliau halalkan.



Sebagai yudikatif, beliau menegakkan hukum dengan adil untuk semua termasuk keluarganya dan bahkan untuk dirinya sendiri -- yang juga sebagai legislatif dan eksekutif.



Kedua, ideologi masyarakat madani -- dalam hal ini adalah Islam -- telah mempunyai dasar interprestasi yang jelas dan baku, yaitu Alquran dan Hadis, sehingga tidak ada monopoli interprestasi terhadap ideologi; dan ideologi tidak difungsikan sebagai alat legitimasi status quo kekuasaan. Siapa pun dia, selama mempunyai intellectual authority dan berdasar Alquran dan Sunnah berhak menginterprestasikan ideologi ini.



Ketiga, undang-undang dasar masyarakat madani adalah Alquran dan Hadis itu sendiri -- yang sudah mempunyai metodologi interprestasi yang solid, sehingga interprestasinya tidak bisa digunakan untuk kepentingan penguasa.



Keempat, para menteri atau pembantu dipilih setelah ada rationale struktur dan personal; dan diseleksi berdasarkan meritokrasi (pemilihan berdasarkan prestasi dan kemampuan), bukan berdasarkan nepotisme atau karena political interest. Sehingga walaupun sebagai pembantu, mereka tidak hanya bekerja setelah adanya petunjuk dari pucuk pimpinan -- dalam hal ini Rasulullah SAW -- tetapi bahkan dapat memberikan masukan-masukan dan ide-ide baru.



Kelima, secara umum politik masyarakat madani adalah politik inklusif (terbuka) -- yang merupakan konsekuensi dari perikemanusiaan yang memandangan manusia secara positif dan optimis dalam arti bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (QS 7:172 dan 30:70). Pandangan ini melihat bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk benar dan baik. Karena itu setiap orang mempunyai potensi untuk menyatakan pendapat dan untuk didengar.



Keterbukaan adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan dilakukan mana yang baik dan positif. Inilah salah satu sikap Rasulullah SAW dalam memimpin negara Madinah. Tidak jarang beliau mengubah keputusannya karena kritikan atau masukan dari sahabatnya. Betapa pun keras dan tajam kritikan itu, beliau dapat menerimanya dengan hati terbuka, tidak pernah menganggapnya sebagai makar, rival, atau pun kontra establishment.



Ekonomi



Dalam ekonomi, masyarakat madani mengembangkan ajaran egalitarianisme yang tak hanya meyakini economic is business atau economic is growth, tetapi juga economic is social justice. Artinya masyarakat ini bukanlah sesuatu yang mendewakan pertumbuhan ekonomi dan melalaikan pemerataan. Dalam masyarakat ini ada pemerataan saham-saham ekonomi kepada seluruh rakyat. Seluruh lapisan masyarakat mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk berusaha dan berbisnis (QS 17:26 dan 59:7). Ini adalah ekonomi yang berorientasi dan membuat equilibrium pada pertumbuhan dan pemerataan.



Maka trickle down theory dalam ekonomi kapitalis tak berlaku di sini, karena hanya akan memberikan kemapanan kepada para kapitalis (pemegang modal). Teori ini menyatakan apabila sabagian rakyat satu bangsa menjadi kaya, maka rakyat yang lain akan kecipratan kekayaannya itu. Ibarat sebuah bejana, bila diisi air sampai penuh maka akan meluber dan menetes ke bawah juga. Namun kenyataan dari ekonomi kapitalis ini hanya menciptakan monopoli, egopoli, dan kolusi, salah satu sebabnya karena tidak dibangun atas nilai-nilai moral yang kuat.



Ekonomi masyarakat madani mempunyai karakteristik sebagai berikut:



Pertama, ekonomi ilahiyah (ketuhanan), yaitu bahwa seluruh prilaku dan kegiatan ekonomi -- seperti produksi, konsumsi, distribusi, dan sebagainya -- semuanya diikatkan dengan tujuan ilahi dan dilakukan untuk mencari keridhaan-Nya. Sehingga orientasi homo economicus tidak hanya material, tetapi juga spiritual-transendental.



Kedua, ekonomi akhlak, yaitu bahwa seluruh kegiatan ekonomi selalu dilakukan dengan nilai-nilai akhlak. Ekonomi dan akhlak dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Masyarakat madani yang melakukan kegiatan ekonomi harus memperhatikan akhlak kegiatan itu. Produksi, misalnya, dilakukan dengan beberapa nilai akhlak, di antaranya (1) tidak memproduksi kecuali apa-apa yang dihalalkan Allah, (2) memperhatikan tujuan produksi dalam produksi, (3) memelihara sumberdaya alam dan beberapa nilai moral lainnya.



Ketiga, ekonomi kemanusiaan, yaitu ekonomi yang menjadikan manusia sebagai subjek kegiatan ekonomi bukan objek. Ekonomi yang berpihak kepada manusia, karena kegiatan ekonomi dilakukan agar dapat memberikan kesejahteraan kepada manusia itu sendiri. Maka kompetisi win-lose -- yaitu dalam kegiatan ekonomi ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan -- dan hukum the survival of the fittest tidak berlaku dalam masyarakat madani. Tetapi sebaliknya, kegiatan ekonomi dilakukan dengan nilai win-win (sama-sama untung).



Hukum



Terhadap hukum masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang tak berkelas (a classless society), yaitu hukum yang tidak membedakan antara the have dan the have not; pemimpin dan bawahan. Semua sama di depan hukum. Bahkan misi penegakan hukum dan keadilan adalah sangat tipikal dalam Islam yang merupakan ideologi masyarakat madani. Keadilan bukan saja untuk sesama muslim, tetapi untuk semua manusia.



Dalam masyarakat madani hukum bukan produk politik, karena itu political will tak bisa menentukan perubahan dan pencabutan undang-undang. Bahkan dalam masyarakat ini trias politica adalah simbol yang menjamin otonomi dan martabat hakim. Maka itu, segala bentuk monopoli dan mafia peradilan tidak bisa tumbuh dalam masyarakat ini.



Masyarakat madani menyadari betul bahwa stabilitas dan integritas suatu bangsa dan negara hanya dapat dibangun dengan konsistensi hukum. Masyarakat yang beradab adalah masyarakat yang menegakkan hukum dengan adil dan egaliter. Dan ini tidak akan tercapai, kecuali dengan proses demokratisasi dalam pembuatan, penegakan, dan kesadaran hukum. Demokrasi dalam pembuatan hukum artinya bukan aspirasi penguasa saja yang diutamakan tetapi juga harus mendengar aspirasi pakar, infrastruktur, dan lapisan masyarakat.



Pemimpin dan pemerintah harus menjadi uswah hasanah dalam kesadaran hukum. Ketertiban sosial selamanya tidak akan terwujud sepanjang mereka tidak konsisten dengan ketentuan hukum yang berlaku.



Acuan



Inilah paradigma masyarakat madani yang telah membuat sebuah negara yang adil, egaliter, tenteram, dan damai, tata tentrem kerta raharja. Paradigma ini bisa kita jadikan acuan reformasi yang mendesak kita lakukan pada saat ini. Reformasi yang tidak mengacu pada pembangunan sebuah masyarakat yang berperadaban adalah reformasi semu yang sifatnya sangat temporer.



Tetapi sekali lagi, masyarakat yang berperadaban seperti masyarakat madani tidak akan pernah terwujud tanpa konstruksi, iman, dan moral yang kuat. Krisis yang kita hadapi saat ini sebab utamanya, selain sebab-sebab lainnya, adalah krisis iman dan moral. Maka tanpa pertama kali melakukan inner transformation yang berbentuk transformasi akidah dan mental, lalu dilanjutkan dengan moral transformation yang termanifestasi dalam prilaku dan budi pekerti, maka usaha reformasi yang kita dengung-dengungkan hanya akan sia-sia.