Friday, July 16, 2010

Journey to Khilafah – How long will it take … ?

Diskusi Khilafah


From: Abu Al Fatih

To:

Subject: [is-lam] Journey to Khilafah - How long will it take ?



Assalamu ‘alaikum wr.wb.



Saya tertarik dengan posting Al-Mukarrom Mas Hamzah, terutama artikel / materi tarbiyah isnet "Jalan Masih Panjang" dan "Haroki Li Iqomatuddin ".



Dengan menggunakan asumsi yang ditawarkan Mas Hamzah tentang "rute" mencapai periode Khilafah tsb., dan dengan memperhatikan hasil-hasil SWOT analisis nya terhadap peta situasi dan kondisi ummat Islam (di seluruh dunia) saat ini, kira-kira berapa lama lagikah waktunya, dari sekarang, periode Khilafah Islamiyah ‘Alamiyah (‘ala Minhajin Nubuwwah) itu tiba ? Bukankah Mas Hamzah sempat menawarkan sebuah "jalan tengah", antara kelompok yang condong terlalu idealistik dan kelompok yang condong terlalu pragmatis-realistik ? Hasil survey sementara tentang "jalan tengah" itu bagaimana tuh Mas ?



Saya punya teman (usianya saat ini 35 tahun), dia pernah menyatakan kerinduannya untuk bertemu (hidup / diberi umur panjang, kesehatan dan istiqomah pada Islam) dengan periode Khilafah itu. Waktu itu saya bilang (tentunya tanpa dasar ilmu), kalau melihat realita di depan mata saat ini, tampaknya 100 tahun lagi pun belum tentu sudah ketemu periode tsb. Tentunya dengan asumsi, Allah tidak intervensi dengan "jurus pamungkas" Nya, yakni "Kun fa yakun" itu. Lagian kata sebagian mufassir, di dalam "Kun fa yakun" pun Allah memberlakukan prinsip kausalitas / sunnatullah / hukum proses. Artinya bukan seperti main sulap, bim salabim, ujug-ujug muncul Khilafah. Ntar seperti orang Yahudi – yang kurang ajarnya nggak ketulungan - yang ketika diajak jihad oleh Nabi Musa a.s. malah menyuruh Nabi Musa a.s. pergi berjihad dengan Tuhan nya aja berdua, biar mereka menunggu di rumah (na’udzu billah, semoga kita tidak termasuk yang demikian).



Lalu berdasarkan proyeksi sementara Mas Hamzah, kira-kira berapa lama lagi tuh Mas ?



Mas Hamzah,

Setahu saya Beberapa Tokoh Islam juga menawarkan gagasan konkret tentang "rute" mencapai periode Khilafah tsb., seperti ;

* Dr.Isma’il Raji’ Faruqi - Cendekiawan Islam asal Palestina yang mukim dan syahid di Amerika (lihat bukunya Dr.Azyumardi Azra yang berjudul "Pergolakan Politik Islam – dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernis" yang diterbitkan Yayasan Wakaf Paramadina, pada bab "Dari Arabisme ke Khilafatisme : Kasus Ismail Al Faruqi" ),

* Syaikh ‘Allamah Abul A’la Al Maududi – pendiri Jami’at Islami di Pakistan (lihat dua buku terbitan Mizan yang berjudul "Sistem Politik Islam" dan "Khilafah dan Kerajaan" itu, di samping puluhan bahkan mungkin ratusan tulisan / artikel beliau yang lain),

* Asy Syahid Hasan Al Banna – pendiri jama’ah Al Ikhwanul Muslimin (lihat bukunya "Majmu’atur Rosail" atau edisi terjemahan Indonesianya "Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin", atau juga tulisan murid-murid beliau dan para mursyid ‘am Al Ikhwan berikutnya dari Ustadz Hasan Al Hudaibi hingga Syaikh Musthofa Masyhur yang tersebar dalam berbagai tulisan),

* Al Ustadz Taqyuddin An-Nabhani - pendiri jama’ah Hizbut Tahrir (lihat bukunya ; serial "Nizhomul-Islam ; Al-Iqtishod, Al-Ijtima’, Al Hukm, dst.", juga serial "Mafahimul-Islam", juga "Al-Khilafah", "Ad-Dustur", dll.),

* Dll.



Di samping itu ada juga "fenomena" lainnya, seperti ;

* Yang dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa "Khilafah" itu sudah berdiri saat ini, seperti posting nya Pak Ahmad Sudirman yang menyatakan bahwa Negara Islam Indonesia dengan sistem Khilafah sudah berdiri (saya belum tahu, tapi mungkin dengan itu Pak Sudirman ingin memberitahu supaya ummat Islam di seluruh dunia – termasuk jama’ah-jama’ah Islam baik yang lahir sesudah proklamasi NII ataupun sebelumnya – agar segera ber bai’at pada NII, karena kalau tidak nanti bisa masuk ke dalam golongan orang yang mati jahiliyah karena tidak ada ikatan bai’at nya).

* Yang menyatakan – jangankan Khilafah Islamiyah ‘Alamiyah – bahkan menegakkan pemerintahan berdasarkan Islam dalam skala lokal / nasional saja masih bertanya-tanya, memperdebatkan, bahkan menentang kemungkinan itu ? Bahkan "sekedar" Pancasila saja masih diributkan (tentunya bukan dalam konteks "strategi" yang bersifat temporer, karena kalau ini mungkin "sah-sah" saja, tapi ini dalam makna yang lebih substansial / filosofis).

* Lalu kalau kita lihat "realita" di Indonesia, ada berbagai "faksi" yang muncul, seperti faksi Amien Rais (dengan Amanah Rakyat nya), faksi Gus Dur (dengan Nahdhatul Bangsa nya), faksi Yusril Ihza Mahendra (dengan Bulan Bintang nya), dan faksi-faksi lainnya. Apakah mereka itu – meminjam istilah Hartono Marjono – hanya berbeda perahu tetapi tujuannya sama ? Atau mereka bukan sekedar beda perahu ? Atau fenomena yang ini tidak perlu terlalu diresahkan, yang penting di antara mereka (dan kita semua) "fastabiqul khairat" saja ?

* Dan ada juga faksi-faksi "eksternal" ummat Islam, seperti faksi GOLKAR, faksi Mbak Mega, faksi PRD, faksi Soeharto dan yang lainnya, di samping faksi-faksi Internasional seperti faksi IMF, faksi Fretelin, dll., yang kesemuanya dapat dipastikan bukan sedang memperjuangkan Islam sebagai dasar pemerintahan di Indonesia.

* Dll



"Koridor fenomena" ini tentunya bisa kita perluas wilayah geografiknya, mulai dari Asia Pasifik termasuk Australia, Asia Tengah termasuk Daratan Cina-Rusia-Timur Tengah dll, lalu Eropa, Amerika termasuk Kanada, Afrika, dst. (maaf kalau peta dunia saya kurang pas. Harap diluruskan saja dengan pedang / dikoreksi).



Dengan berbekal hasil "inventarisasi" kita terhadap peta si-kon dunia saat ini tsb., ditambah beberapa "proyeksi" kita tentang periode Khilafah itu, maka berapa lama lagikah waktu yang kita butuhkan untuk sampai ke sana ? Cukupkah umur kita ? Kalau tidak cukup, perlu berapa generasi lagi kah untuk sampai ke sana ? Faktor apa sajakah yang dapat meningkatkan akselerasi untuk mencapai ke sana ?



Sudahkah ada yang melakukan semacam studi ilmiah tentang hal ini ?



Mungkin teman-teman dari jama’ah Hizbut Tahrir atau simpatisannya bisa menjawab pertanyaan saya ? Sepengetahuan saya Hizbut Tahrir adalah jama’ah Islam yang – meminjam istilah Al Ries dan Hermawan Kertajaya – sudah sangat "fokus" dengan tema Khilafah ini sebagai main-stream pemikiran maupun gerakan mereka. Bahkan sedemikian "fokus" nya, sampai terkesan agak "mengabaikan" aspek-aspek lain dalam perjuangan Islam yang dipandang tidak terlalu "esensial" bagi pemecahan masalah mendasar ummat Islam (yakni segala diskursus "non-khilafah"). Mungkin saya terlalu berlebihan dalam mendeskripsikan jama’ah ini (mohon teman-teman dari HT meluruskan persepsi saya ini). Tapi maksud saya, dengan "fokus" nya aktivitas jama’ah pada isu Khilafah, tentunya pertanyaan seperti yang saya ajukan itu sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari pembahasan intern jama’ah. Mungkin malah jawaban atas pertanyaan saya sudah ada, lengkap dan terperinci ?



Itu saja pertanyaan saya,

Mohon dibukakan pintu maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati.



Wassalam



Abu Al Fatih





Date: Sat, 8 Aug 1998 02:34:43 -0400

From: Abu Al Fatih

To:

Cc: hiz@centrin.net.id

Subject: Re: [is-lam] Journey to Khilafah - How long will it take ?





Dari Hiz / Mas Igit :

>

> Assalamu 'alaikum wr.wb.

>

> mas igit :

> Konsepsi khilafah itu sendiri hemat saya masih perlu kita kaji secara

> mendalam. Saya melihat bahwa beberapa harokah Islam berasumsi, Islam hanya

> bisa tegak dengan berlandaskan kekuasaan, dengan kata lain implementasi

> islam sebagai suatu ajaran harus maujud dalam bentuk state. Dalam asumsi

> semacam ini berarti khilafah/imamah itu identik dengan nation/state.

>

> Ini melahirkan berbagai pertanyaan.

> Pertama dimana letak Islam sebagai rahmatan lil alamin?

> Kedua. Secara logika sederhana, akal kita sulit mencerna ajaran Islam yang

> kaffah itu harus diimplementasikan dengan konsep state yang muncul

> belakangan, konsep itupun hanyalah produk dari akal manusia saja, dengan

> segala keterbatasannya.

>

>

> mas igit :

> Konsepsi state itu sendiri sarat dengan muatan politik yang kental dengan

> sendirinya potensi konflik yan terkandung di dalamnya amatlah besar.

> Hemat penulis khilafah minhaj nubuwah itu hampir sama (ingat hampir

> sama!!!!) dengan sistem keuskupan ala nashoro yang menurut hemat penulis

> merupakan adaptasi kreatif dari sistem khilafah kita.

>

> Wassalam

>

> Mas Igit.



Assalamu 'alaikum wr.wb.



Untuk Hiz / Mas Igit,

Terima kasih atas respon nya.

Memang, seperti yang saya sampaikan, terdapat beragam respon di dalam tubuh ummat Islam seputar konsepsi khilafah atau konsepsi Islam di wilayah politik / state / pemerintahan ini. Demikianlah "realita"nya, saat ini.



Tapi saya belum begitu paham tentang pertanyaan Mas Igit tentang "dimana letak Islam sebagai rahmatan lil 'alamin" dikaitkan dengan pemikiran "asumsi beberapa harokah Islam bahwa Islam hanya bisa tegak dengan berlandaskan kekuasan / khilafah / imamah / nation / state". Apakah menurut Mas Igit "implementasi ajaran Islam dalam bentuk state" itu bertentangan dengan Al-Qur'an Surat Al Anbiya (21) ayat 107 tentang "Islam sebagai rahmatan lil 'alamin" ? Di manakah letak kontradiksi keduanya ? Mohon saya diberi penjelasan …



Lalu Mas Sigit juga menyatakan konsep state itu "muncul belakangan", itupun "produk akal manusia saja" dengan "segala keterbatasannya".



Maksud Mas Sigit dengan "muncul belakangan" itu apakah baru muncul sekitar Abad 20 ini saja (yaitu masa dimana beberapa gerakan Islam memproduksi pemikiran "baru" tsb.), atau ia muncul di masa kekhalifahan Islam sebelum abad 20, atau di masa pemerintahan khulafaur-rasyidin, atau "baru" muncul di masa Rasulullah Muhammad saw memimpin pemerintahan di Madinah ?



Dan apakah maksud Mas Sigit bahwa konsep state itu "produk akal manusia saja dengan segala keterbatasannya" ? Apakah menurut Mas Sigit, Allah SWT harus "menurunkan" konsep state yang terperinci sehingga baru kita meyakini bahwa itu bukan "produk akal manusia saja" ?



Bukankah untuk memahami "konsep Allah" itu, tidak hanya dengan membaca tekstual Kitabullah Al Qur'an saja, tapi juga (antara lain) dengan memperhatikan bagaimana Rosulullah SAW "mengimplementasikan" teks Kitabullah itu, baik dalam skala individu maupun komunal ?



Terakhir,

Bahwa "konsep state mengandung muatan politis" dan karenanya "amat besar potensi konflik di dalamnya", saya setuju 100%. Adapun tentang ummat nashrani menjalankan sistem keuskupannya berdasarkan "adaptasi kreatif" dari sistem Khilafah Islam, ini termasuk pernyataan yang "baru" bagi saya. Mungkin Mas Igit bisa membantu saya menjelaskannya.



Tapi yang jelas, redaksi kata-kata "Khilafah 'ala Minhajin Nubuwwah" merupakan salah satu hadits / perkataan Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqi (saya lupa rincian redaksi haditsnya dan bagaimana derajat keshohihan hadits tsb., tapi saya pernah baca hadits tsb. di buku "Ath Thoriq ila Jama'atil Muslimin" karangan Ustadz Muhammad Ali Jabir, MA, yang merupakan disertasi beliau dalam mencapai gelar master dengan predikat cum laude).



Hadits itu berisi nubuwwat / berita futuristik dari Nabi SAW yang menggambarkan periodesasi kehidupan sosio-politik ummat Islam yang secara berurutan disebutkan ; periode nubuwwah (dipimpin oleh nabi), periode khilafah 'ala minhajin nubuwwah

(pemerintahan Islam berdasarkan manhaj / metode kenabian), periode mulkan 'aadhan

(munculnya berbagai penyimpangan di dalam pemerintahan Islam), periode mulkan jabbariyan (pemerintahan, baik secara de jure apalagi secara de facto, tidak dijalankan berdasarkan Islam), dan terakhir kembali ke periode khilafah 'ala minhajin nubuwwah.



Sebagian ulama menafsirkan bahwa umat Islam sekarang hidup di "jaman terburuk" dalam seluruh periode sosio-politik tsb., yakni periode Mulkan Jabbariyan (tentunya terbuka penafsiran lain tentang makna hadits ini). Tapi (dengan menggunakan penafsiran tsb.) itu juga menunjukkan, "sebentar lagi" periode berikutnya akan tiba, yakni periode "Khilafah 'ala minhajin nubuwwah" itu. Dan itulah yang sedang saya tanyakan dalam posting kemaren. Berapa lamakah yang "sebentar lagi" itu ?



Mas Igit,

Bila uraian saya kali ini terlalu kental nuansa politiknya, tentu bukan berarti saya mengabaikan dimensi lain dalam "implementasi ajaran Islam". Dimensi "implementasi ajaran Islam" jelas luas sekali, dan tidak hanya menyangkut politik. Ini kebetulan saya sedang menanggapi postingnya Mas Hamzah kemaren tentang "Manhaj Haroki Li Iqomatid Din" itu, yang memang bertemakan politik.



Lagipula,

Bukankah kita tidak ingin mengatakan bahwa Islam tidak mengatur masalah politik ? Kalau begitu Islam nggak sempurna dong ? Itu jelas bertentangan dengan Firman Allah dalam Al Qur'an Surat Al Maidah ayat 3 (Aakmaltu Lakum Dinakum) dan Surat An Nahl ayat 89 (Tibyanan Li Kulli Syai'in).



Wallahu a'lam bish-showwab.

Wastaghfirullaha lii wa lakum



Wassalam



Abu Al Fatih.





Date: Sun, 09 Aug 1998 00:32:11 -0400

From: Pungkas Bahjuri Ali

To: is-lam@isnet.org

Cc: isayit@forfree.at

Subject: Re: [is-lam] Journey to Khilafah - How long will it take ?





Assalamualaikum,



Saya juga ingin berkomentar/bertanya sehubungan dengan topik di atas dan juga posting KTPDI oleh mas Hamzah: Manhaj haraki li Iqaamatidiin. Saya tidak akan membicarakan Pancasila dan kontroversinya, karena bagaimanapun, pada prinsipnya bagi siapa yang "pro" maupun "kontra", tetap akan memilih sistem Islam yang lengkap (Khilafah) bila memang ini memungkinkan. (menanggapi fenomena-fenomena yang digambarkan Mas Al Al fatih)



Rekan Hamzah sendiri pada diskusi sebelumnya (Negara Islam-nya Mas Ahmad Sudirman) waktu lebih mengarahkan bagaimana cara mencapainya. Di lihat dari tahap-tahap pelaksanaannya sebagaimana Mas Hamzah (posting Manhaj Haraki), kelihatannya itu adalah setting untuk kondisi ideal. Pertanyaannya, apakah memang urutannya harus seperti itu? Dan bagaimana untuk kondisi di Indonesia sekarang ini? Mungkin Mas Hamzah bisa lebih menjelaskan maslah ini, atau mungkin isnetter yang lain?



Dalam bukunya Pedoman Ideologi Islam (Yusuf Qardhawi) menyatakan 4 cara merealisasikan ideologi Islam

1. Dekrit Pemerintah

2. Kudeta Militer

3. Pendidikan dan bimbingan

4. Pengabdian Masyarakat



Beliau hanya mengilustrasikan masing-masingnya dan memberikan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing tersebut. Akan tetapi beliau memberi penekanan akan adanya aktivitas kolektif, yaitu cara apapun harus dilakukan dengan persatuan dan tolong-menolong, dan tidak bisa dilakukan per individu tanpa adanya ikatan apalagi, menghadapi musuh-musuh Islam yang begitu terorganisir (teringat nasehat Ali ra: kejahatan terorganisir).



Yang saya rasa berkenan dan cocok dengan situasi sekarang Indonesia ini mungkin seperti pendapat KH Abdul Qadir Jaelani, yaitu apa yang beliau sebut sebagai "inflitrasi". Yang beliau maksud adalah, bahwa setiap muslim harus benar-benar ahli dalam ilmu (professional) di bidangnya masing-masing, seperti kedokteran, ekonomi, teknologi, management, pertanian, montir, pedagang dan apapun profesinya. Di dalam pelaksanaannya setiap muslim hendaknya bertindak sebagaimana muslim sejati dan berusaha melaksanakan ajaran muslim dalam lingkup bidangnya tersebut. dengan demikian nilai-nilai Islam segera bertumbuhan di segala bidang dan setiap lapisan masyarakat.



Menurut saya, kondisi ini jelas sekali akan mendukung pada terwujudnya pemerintahan Islami dan seandainya sistem Islam memerlukan dukungan maka dukungan akan muncul dari segala lapisan masyarakat. Toh seandainya sistem khilafah belum terwujud, maka "infiltrasi" ini sendiri adalah satu gerakan dakwah. Bukan tidak mungkin pula "infiltrasi" ini adalah satu jalan tengah bagi yang pro maupun tidak spendapat dengan perlunya penegakan khilafah Islam (sekali lagi "inflitrasi" itu sendiri adalah gerakan dakwah).



kurang lebihnya mohon maaf.



Wassalamualaikum

Pungkas BA





Date: Sun, 09 Aug 1998 10:55:42 +0700

From: Hamzah

To: Milis is-lam

Subject: Re: [is-lam] Journey to Khilafah - How long will it take ?



Assalaamu'alaikum wr.wb.



Konsep negara dan negara sudah ada jauh sebelum zaman Rasulullah Muhammad SAW. Karya Sun Tzu tentang "Seni Perang" yang ditulis kurang lebih 2000 tahun yang lalu bisa menjadi bukti tentang adanya konsep negara dan negara dalam arti yang sebenarnya.



Tentang wajibnya mendirikan negara memang tidak ada "perintah tekstual"nya di dalam al Qur'an dan Hadist. Hal ini sering digunakan oleh beberapa cendikiawan muslim Indonesia sebagai hujjah tentang tidak perlunya negara islam. Saya menganggap argumentasi mereka sebagai "kacau balau" karena jika ditunjukkan kepada mereka "perintah tekstual" tentang potong tangan, rajam, qishash, bahkan hukum waris, dll. maka mereka juga akan menolak. Jadi yang mereka maui itu yang bagaimana.



Kalau saya berpendapat bahwa tugas umat adalah "IQAAMATUDDIEN" atau menegakkan Dienul Islam. Dien adalah sekumpulan konsep rabbaniyah tentang tuntunan hidup, tegaknya dien jelas menuntut dua medium (form/surah) yakni masyarakat dan wilayah geografis. Oleh karena itu Rasulullah melakukan keduanya: (1) Mendidik kader qiyadah rasyidah dan qo'idah Sholabah dan (2) Menegakkan al Madinah. Tentang hal ini akan menjadi lebih jelas lagi bila kita kaji arti Dien di dalam bahasa arab dan al Quran, demikian pula bila kita elaborasi arti dan pengertian Laa Ilaha illa Allah dan Muhammadur Rasulullah.



Tentang waktu, Allah jualah yang menentukan. Dengan pendekatan iman sebenarnya bagi umat islam hanya ada dua alternatif saja yakni menang dan menang:



"Sungguh, jika Kami mewafatkan kamu (sebelum kamu mencapai kemenangan) maka sesungguhnya Kami akan menyiksa mereka (di akhirat). Atau Kami memperlihatkan kepadamu (azab) yang telah Kami (Allah) ancamkan kepada mereka.Maka sesungguhnya Kami berkuasa atas mereka. Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu.Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus." [QS. Az Zukhruf 41-43]



Jadi tugas kita pada segala kondisi baik longgar ataupun sempit pada dasarnya adalah tetap berjalan di jalan yang lurus. Dan di hadapan waktu kita selalu memiliki risiko untuk merugi kecuali yang tersebut di dalam surat berikut:

"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. [Al Ashr 1-3]



Wassalaamu'alaikum wr.wb.

Hamzah





Date: Mon, 10 Aug 1998 02:29:51 -0400

From: Abu Al Fatih

To: "Pungkas Bahjuri Ali "

Cc: is-lam@isnet.org

Subject: Re: [is-lam] Journey to Khilafah - How long will it take ?





Assalamu 'alaikum wr.wb.



Untuk Mas Pungkas Bahjuri Ali :

Strategi "infiltrasi" yang Mas Pungkas sampaikan / kutip dari Al Mustaqim Billah KH Abdul Qodir Jaelani, menurut saya memang merupakan salah satu strategi yang dapat dikembangkan di negara-negara dengan karakteristik seperti Indonesia. Tentunya ini juga bukan merupakan "strategi tunggal". Di samping memerlukan strategi lainnya yang berjalan secara simultan dengan strategi ini, strategi "infiltrasi" itu sendiri menuntut adanya berbagai "konsekuensi" yang mengiringinya.



Analog dengan strategi infiltrasi ini, seorang teman saya beberapa tahun yang lalu sempat melontarkan strategi "osmosis". Dalam prinsip osmosis (yang saya ingat waktu pelajaran di SLTA dulu - mohon diluruskan kalau salah), di antara larutan yang kepekatannya lebih tinggi dengan larutan yang kepekatannya lebih rendah, akan terbentuk suatu membran / selaput yang semipermiabel. Membran ini dapat ditembus oleh larutan yang kepekatannya lebih tinggi tetapi tidak sebaliknya. Sehingga konsentrasi larutan yang kepekatannya lebih tinggi dapat mengalir ke larutan yang kepekatannya lebih rendah.



Yang diingatkan oleh teman saya dengan prinsip "osmosis" ini adalah,



Bahwa kepribadian seorang muslim itu di dalam berinteraksi dengan lingkungannya hendaknya seperti "Larutan yang kepekatannya lebih tinggi", bukan sebaliknya. Dan "kepekatan" itu tentunya bersumber dari intensitas hubungan vertikalnya dengan Allah ditambah dengan hubungan horizontalnya dengan manusia (yang beriman) dalam bentuk "iman-amal sholeh-taushiyah bil-haq wa bish-shobr".



Bagaimana teknis memelihara "kepekatan" itu, merupakan salah satu konsekuensi strategi "infiltrasi" yang saya sebutkan di atas.



Di samping masalah "kepekatan", teman saya juga mengingatkan tentang prinsip "imunitas" (mana'ah). Tanpa memiliki "imunitas" yang memadai, strategi "infiltrasi" bisa menjadi bumerang. Mirip dengan ilustrasi "kumpulan apel di dalam satu keranjang". Katanya, bila di dalam satu keranjang apel yang baik, diletakkan satu buah apel yang busuk, maka akan busuk lah semua apel sekeranjang itu. Bisa dibayangkan bila yang terjadi adalah memasukkan satu apel baik (yang "polos" dan "tidak diimunisasi") ke dalam sekeranjang apel busuk ? (Tentunya ilustrasi ini bukan dimaksudkan untuk melihat realita secara hitam putih, tapi ini sekedar "dramatisasi' , yang terkadang memang dibutuhkan untuk menguatkan maksud inti dari sebuah ilustrasi).



Bagaimana teknis membentuk "imunitas" itu, merupakan konsekuensi lain dari strategi "infiltrasi" ini



Mas Pungkas,

Mungkin itu saja tambahan saya (sebagai pendukung strategi "infiltrasi" dan pengagum Ustadz Abdul Qodir Jaelani. Bagaimana kah kondisi beliau saat ini ?).



Wassalam



Abu Al Fatih



NB.

Untuk Mas Hamzah,

Pertanyaan saya "how long will it take ?" nya kok ndak dibahas sih Mas ? Apa memang saat ini belum terlalu prioritas untuk membahas pertanyaan tersebut ? Saya sebagai wakil dari "yang terkadang condong pada realitas" boleh dong penasaran bertanya ? (jangan dimarahi ya Mas ?).





Date: Tue, 11 Aug 1998 09:22:25 +0700

From: empmail@slo.mega.net.id (empmail)

To: Milis is-lam

Cc: Pungkas Bahjuri Ali

Subject: Re: [is-lam] Journey to Khilafah - How long will it take ?



Assalaamu'alaikum wr.wb.



Tahapan kita sekarang yang jelas adalah pembangunan kekuatan:



1. Tahap Pertama: Pembangunan Kekuatan (Pelaku semua organisasi Islam)

1. Menegakkan Qiyadah Rasyidah

2. Pembinaan Qoidah Sholabah

3. Pembinaan Peran Serta Umat



Bila di crosskan dengan Yusuf Qardhawi, maka selaras dengan:

3. Pendidikan dan bimbingan

4. Pengabdian Masyarakat



Pada tahapan ini hasil dari pendidikan, pembinaan dan bimbingan yang

diharapkan adalah lahirnya personal dengan kualitas Qiyadah Rasyidah,

Qoidah Sholabah (pendukung inti) dan massa simpatisan. Unsur kekuatannya

mohon dirinci sendiri lah, dalam hal ini mohon dipertimbangkan kasus

Afghanistan, Mesir, Aljazair dan Turki - unsur kekuatan apa sebenarnya

yang hilang dari mereka.



Dengan demikian tentang Qiyadah Rasyidah, Qoidah Sholabah mestinya

karakteristiknya harus dikupas secara detail, sehingga nantinya kita

akan memiliki gambaran tentang bentuk pendidikan yang mesti dilakukan

untuk mencapai karakteristik tersebut. Secara umum mereka mestinya

cerdas baik secara IQ maupun EI (Emotional Intelegence). Kalau memakai

istilah Al Maududi maka mereka adalah personal yang memiliki

"fundamental human ethics" yang tinggi, yang dibarengi dengan "is

lamic

ethics" yang tinggi pula.



Pada saat ini sesuai renungan saya, saya yakin tahapannya adalah harus

demikian itu. Saya menganggap ini merupakan jalan tengah antara yang

idealis dengan yang pragmatis sebab yang idealis bicaranya selalu di

tataran konsep tentang khilafah itu sendiri tetapi mereka kurang memberi

perhatian pada bahasan tentang SDM (muqimuddin)nya; sementara yang

pragmatis cenderung pokoknya bertindak di bidang apapun, perduli SDM

(muqimuddin)nya belum terbentuk secara memadai.



Wallahu'alam bishshowab.



Wassalaamu'alaikum wr.wb.

Hamzah