Friday, July 16, 2010

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.

Disalin dari hp nya Mas Djoko Luknanto di HP ISNET

PENDAHULUAN

Manusia sebagai makhluk berakal dan beragama tetap memiliki
kebebasan berkehendak untuk menyatakan pikiran, ide, dan
menentukan jalan hidupnya. Dalam kaitan ini Islam menjamin
kebebasan tersebut dengan suatu pertanggungjawaban dalam
arti yang sebenarnya.

Akidah tauhid yang merupakan sokoguru kesatuan bagi ummat
Muslim yang diliputi oleh suasana persaudaraan, sejak zaman
Nabi SAW., menjadi goyah terutama menjelang berakhirnya
dekade kedua masa Khulafa'ur-Rasyldin yaitu, diakhir
pemerintahan Khalifah 'Usman ibn 'Affan. Sebab utama
goyahnya kesatuan ummat Muslim tersebut, berpangkal pada
pertikaian politik yang bercorak keagamaan diantara
kelompok-kelompok Muslim yang sedang bersaing. Peristiwa
tersebut merupakan awal masa desintegrasi yang dalam
perkembangan selanjutnya, terutama sesudah terbunuhnya
Khalifah ketiga, benar-benar mendorong lahirnya sekte-sekte
dalam Islam dengan doktrin atau ajaran masing-masing yang
berbeda-beda.

Kambuhnya semangat fanatisme golongan di satu pihak, dan
munculnya sikap kultus individu terhadap diri 'Ali ibn Abi
Talib dan Ahl al-Bait di pihak lain, tampaknya sangat
berpengaluh terhadap lahirnya doktrin teologi kaum Syi'ah
dalam penalaran sejarahnya. Kekalahan mereka di bidang
politik dan militer, selama pemerintahan Bani Umayyah dan
Bani 'Abbasiyyah, yang menyebabkan banyak di antara para
imam mereka menjadi korban politik, rupanya merupakan faktor
penting yang mendorong lahirnya ide atau mitos tentang Imam
Mahdi atau al-Mahdi al-Muntazar.

Keanekaragaman aspirasi politik dan doktrin yang dibawa oleh
berbagai sekte dalam Islam itu, berdampak negatif sebagai
akibat terjadinya akulturasi budaya dan keyakinan, sesudah
meluasnya daerah kekuasaan Islam. Rupanya al-Quran dan
Sunnah Rasul tidak lagi dijadikan sebagai rujukan oleh
sekian banyak aliran yang muncul waktu itu guna mencari
titik temu . Akan tetapi sebaliknya, justru keduanya mereka
jadikan sebagai dasar untuk menguatkan doktrin atau paham
mereka masing-masing. Sikap demikian ini mendorong mereka
kepada tindakan-tindakan yang ekstrem dan permusuhan dengan
sesama Muslim, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
golongan Syi'ah maupun Ahmadiyah dalam mewujudkan dan
menyebarkan ide serta pengaruh mereka masing-masing.

Paham Mahdi atau Mahdiisme, sebagaimana diketahui dalam
sejarah, adalah ajaran yang meyakini akan datangnya seorang
tokoh Juru Selamat atau Messiah pada ummat yang tertindas,
akibat merajalelanya kezaliman penguasa.Tokoh tersebut
dikenal sebagai al-Mahdi yang ditunggu-tunggu. Paham yang
millenaristis ini, juga pernah muncul di Indonesia sekitar
abad XIX - abad XX, khususnya di Jawa pada masa pemerintahan
kolonial Belanda. Tokoh gerakan tersebut oleh sebagian
masyarakat Jawa dikenal pula dengan nama Ratu Adil.1 Dengan
demikian, corak gerakan Mahdiisme dapat dikatakan sebagai
modus gerakan masyarakat belum maju yang tertindas serta
mengalami perubahan tata sosial yang drastis untuk melakukan
protes sosial terhadap penguasa yang lalim guna memperoleh
kejayaan mereka kembali. Lahirnya Mahdiisme juga bermula dan
protes-protes sosial sebagai akibat pergolakan politik yang
didorong oleh ambisi ingin merebut kekuasaan dari sekian
banyak kelompok Muslim yang saling bermusuhan pada permulaan
sejarahnya.

Dari serangkaian kegagalan pemberontakan bersenjata yang
dimotori oleh kaum Syi'ah selama kurang lebih dua abad
lamanya, mereka mengalami kekecewaan yang mendalam,
kekalahan serta penderitaan yang beruntun, dan selalu
menjadi korban kekerasan lawan-lawan politiknya. Disamping
itu, tidak sedikit di antara para imam mereka menjadi korban
kekerasan politik; dan ini menyebabkan kecintaan mereka
kepada imam-imam tersebut semakin mendalam. Keadaan seperti
inilah yang menyebabkan kaum Syi'ah mudah mencerna 'aqidah
ar-raj'ah dan masalah al-gaibah, dua masalah yang tampaknya
merupakan faktor dominan dalam mempercepat proses lahirnya
sikap menunggu-nunggu kehadiran kembali para imam mereka
yang telah wafat atau yang tidak mereka akui kematiannya.

Kepercayaan seperti ini tidak dikenal oleh ummat Muslim
sebelumnya. Oleh karena itu, doktrin Mahdiisme, yang semula
lahir sebagai penggerak gerakan keagamaan yang bersifat
politis, berkembang menjadi doktrin teologi yang
eskatologis. Paham Mahdiisme ini semakin luas pengaruhnya
dan bahkan akhirnya menjadi milik berbagai aliran dalam
Islam.

Paham Mahdi semula muncul di kalangan Syi'ah Kaisaniyyah,
aliran ini berkeyakinan bahwa Muhammad ibn Hanafiyah adalah
al-Mahdi al-Muntazar. Menurut keyakinan mereka, dia masih
hidup dan tinggal di bukit Radwa, dan kehadirannya kembali
senantiasa mereka tunggu Dalam hubungan ini timbul
pertanyaan, mengapa paham Mahdi ini tidak tumbuh di kalangan
kaum Khawarij? Jawaban terhadap pertanyaan ini cukup jelas:
bahwa kaum Khawarij tidak mengenal 'aqidah ar-raj'ah dan
al-gaibah, sekalipun sekte tersebut juga mengalami nasib
yang sama dengan nasib kaum Syi'ah.

Selanjutnya paham Mahdi ini pun muncul di kalangan sekte
Syi'ah al-Jarudiyyah. Para pengikut keyakinan sekte ini
selalu menunggu kehadiran kembali imam mereka, Muhammad ibn
'Abdullah, atau yang dikenal dengan sebutan
an-Nafsuz-Zakiyyah, sebagai al-Mahdi.

Di kalangan Syi'ah Imamiyyah, terdapat dua kelompok pengikut
paham Mahdi yang besar pengaruhnya dan terkenal dalam
sejarah, yaitu sekte Syi'ah Sab'iyyah (Syi'ah Tujuh) atau
yang dikenal dengan Syi'ah Isma'iliyyah atau Syi'ah
Batiniyyah, dan kedua adalah sekte Isna 'Asyariyyah (Syi'ah
Duabelas). Dalam merealisasikan ide kemahdiannya kedua
aliran tersebut tampaknya terdapat perbedaan yang cukup
menonjol. Jika kemahdian Syi'ah Isma'iliyyah lebih bersifat
realistis, maka kemahdian Syi'ah Isna 'Asyariyyah lebih
bersifat idealis. Menurut sekte yang disebut pertama,
al-Mahdi itu telah mengejawantah pada diri Abdullah ibn
Muhammad, dan ia berhasil membentuk dinastinya di Magrib
(Afrika), sedangkan menurut sekte yang disebut kedua,
al-Mahdi itu terjelma pada diri Muhammad ibn Hasan
al-'Askari (Imam keduabelas) sesudah ia dinyatakan hilang
secara misterius dan dinyatakan pula sebagai yang
ditunggu-tunggu tanpa batas waktu tertentu.

Paham Mahdi yang pernah berkembang di Indonesia lebih mirip
dengan paham Mahdi Syi'ah daripada paham Mahdi Ahmadiyah.
Menurut aliran terakhir ini, al-Mahdi dan al-Masih adalah
satu pribadi yang terjelma pada diri Mirza Ghulam Ahmad,
pendiri aliran tersebut. Selain itu, ia juga mengaku sebagai
jelmaan Krishna. Aliran ini berpendapat bahwa kehadiran
al-Mahdi didasarkan atas pengangkatan dari Tuhan melalui
jalan ilham atau mukasyafah (terbukanya tirai alam gaib).

Pengalaman Mirza Ghulam Ahmad tersebut oleh sementara
pengikutnya diinterpretasikan sebagai wakyu. Asumsi ini
tampaknya dibenarkan oleh Mirza, karena itu wahyu dipandang
masih terbuka sepanjang zaman, asalkan syari'atnya tetap
mengikuti syari'at Nabi Muhammad SAW. Demikian pandangan
aliran Ahmadiyah Qadian terhadap diri Mirza. Berbeda dengan
aliran Ahmadiyah Lahore, mereka memandangnya hanya sebagai
mujaddid abad ke-14 H, dan ia bukan nabi hakiki. Sebab ia
hanya merjerima wakyu tajdid atau wahyu walayah (wahyu
kewalian), bukan wahyu nubuwwah (wahyu kenabian). Sekalipun
demikian, aliran kedua ini, secara implisit masih mengakui
Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, yakni nabi secara lugawi.2
Tugas kemahdian dan kemasihan Mirza memang dapat dijumpai
dalam berbagai literatur dan diuraikan secara jelas baik
oleh Mirza sendiri maupun oleh para pengikutnya. Akan tetapi
dapat dikatakan langka uraian yang menyangkut tugas
kekrishnaannya, sebagai yang pernah dinyatakan pada 1904,
bahwa dirinya adalah penjelmaan Krishna. Jika pengakuannya
sebagai Krishna adalah atas dasar wahyu maka sulit
dibuktikan kebenarannya baik secara literal maupun melalui
tanda-tanda alamiah. Dengan demikian, ummat Muslim yang
non-Ahmadiyah, tentunya sulit menerima kebenaran pengakuan
tersebut.

Sebagaimana diketahui, tugas kemahdian dan kemasihan Mirza
memang berbeda dengan tugas kemahdian dalam Syi'ah. Menurut
Paham Syi'ah, al-Mahdi dikenal pula dengan al-Qa'im (orang
yang bangkit untuk menuntut balas terhadap musuh-musuhnya),
sehingga kepercayaan terhadap al-Mahdi ini merupakan faktor
pendorong bagi perjuangan kaum Syi'ah untuk merebut
kekuasaan politik dan untuk menegakkan pemerintah Islam
sesuai dengan aspirasi mereka. Berbeda dengan tugas
kemahdian menurut Ahmadiyah, disini al-Mahdi ingin
menegakkan Islam diatas semua agama, dan karenanya dia
dikenal pula dengan sebutan Hakim Pengislah, yang bertugas
mendamaikan ummat Muslim seluruhnya dan mengislamisasikan
yang lain tanpa jalan kekerasan.

Masalah Mahdi tersebut di atas, rupanya tidak disinggung
sama sekali baik dalam al-Quran maupun dalam Sahih Bukhari
maupun Sahih Muslim, sebagaimana dikenal dalam sejarah.3
Akan tetapi, bagi kaum Syi'ah dan Ahmadiyah, hadis-hadis
Mahdiyyah yang terdapat di dalam kitab-kitab Sunan mereka
pandang sebagai hadis mutawatir (otentik). Oleh sebab itu
kedua aliran ini menjadikan paham Mahdi sebagai prinsip
keyakinan. Mereka beranggapan bahwa seorang Muslim yang
menolak Mahdi, berarti Islamnya belum benar. Sikap dan
anggapan seperti ini sering menimbulkan perselisihan dan
permusuhan.

Selanjutnya tentang paham kewahyuan kedua aliran tersebut,
dapat dikatakan tidak jauh berbeda, masing-masing
beranggapan bahwa Tuhan tetap akan menurunkan wahyu-Nya
sampai hari kiamat. Dan wahyu yang diturunkan itu menurut
golongan Syi'ah dikenal dengan wahyu ta'lim (wahyu
pengajaran), sedangkan menurut golongan Ahmadiyah dikenal
dengan wahyu walayah (wahyu kewalian), atau wahyu tajdid
(wahyu pembaharuan), atau dikenal pula dengan Wahyu muhaddas
(wahyu yang diterima dengan cara berdialog langsung dengan
Tuhan). Term wahyu yang terakhir ini, tampaknya telah
dicipta dan dikenal oleh golongan Syi'ah jauh sebelum
lahirnya Ahmadiyah. Wahyu seperti itu, oleh kedua golongan
di atas sangat dibutuhkan untuk membimbing ummat dan memberi
interpretasi sesuai dengan perkembangan zaman terhadap
pernyataan-pernyataan al-Quran. Adapun perbedaan kedua paham
kewahyuan tersebut, pada dasarnya dapat dikatakan berpangkal
pada perbedaan motivasi yang melatarbelakangi lahirnya
gerakan kedua aliran itu.

Sebelum lahirnya paham Mahdi dalam Islam, paham seperti itu
sebenarnya telah dimiliki oleh agama-agama besar lainnya,
terutama dari golongan Hindu, Yahudi, Nasrani dan lain
sebagainya Dan wajarlah apabila golongan Syi'ah yang
memunculkannya untuk pertama kalinya. Sebab kaum Syi'ah lah
yang pertama kali menyerap paham tersebut dari golongan
Yahudi maupun Nasrani. Kemudian dibuatlah hadis-hadis
Mahdiyyah, karena kaum Syi'ah sangat berkepentingan dengan
ide kemahdian tersebut dalam meneruskan perjuangan menuntut
hak legitimasi kekhilafahan. Dan dengan demikian hadis-hadis
Mahdiyyah yang mereka buat cepat menguasai opini masyarakat,
sehingga golongan non Syi'ah pun tidak ketinggaIan membuat
hadis-hadis Mahdiyyah dengan versi lain sesuai dengan
identitas golongannya masing-masing. Oleh sebab itu banyak
di kalangan para intelektual Muslim yang datang kemudian
menilai hadis-hadis Mahdiyyah tidak ada yang otentik bahkan
keseluruhannya adalah palsu.

Selanjutnya dalam kajian ini akan dibahas ciri-ciri utama
doktrin dan gerakan Mahdiisme Syi'ah dan Ahmadiyah, dengan
harapan pembaca akan memperoleh informasi atau keterangan
yang lebih jelas tentang sifat-sifat kedua gerakan Mahdi
tersebut. Terlepas dari sikap setuju atau tidak setuju
terhadap ajaran mereka, pembaca diharap dapat menilai
sendiri secara obyektif, sejauh mana penyimpangan atau
relevansinya dengan ajaran al-Quran dan Sunnah Rasul.

Maksud dan tujuan penulisan buku ini ialah memberikan
pengertian secara obyektif kepada masyarakat luas tentang
gerakan Mahdiisme tersebut dan tentang cara-cara mereka
mewujudkan cita-cita perjuangannya. Untuk itu, diharapkan
agar seluruh ummat Muslim, tidak mudah terpengaruh dan
terlibat dalam tindakan-tindakan yang ekstrem, apalagi
terseret ke dalam permusuhan dengan sesama Muslim, hanya
karena keyakinan yang tidak fundamental bahkan tidak ada
dasar otentiknya sama sekali. Barangkali perlu selalu
diingat bahwa gerakan Syi'ah khususnya dalam memenuhi
ambisinya yang ditopang oleh ide-ide Mahdiisme, manakala
masih menjadi kelompok minoritas ia selalu menyembunyikan
identitasnya namun, bila ia merasa kuat, ia tidak
segan-segan bertindak ekstrem dan menyeret pada para
pengikutnya untuk bersikap konfrontatif terhadap pengikut
paham lain.

Dengan mengetahui dan memahami keyakinan dan paham kemahdian
Syi'ah dan Ahmadiyah, seorang akan bersikap toleran dan akan
terhindar dari sikap picik karena pandangan yang sempit dan
tindakan ekstrem. Perlu dijelaskan, mengapa dalam kajian ini
tidak dibahas paham Mahdi Ahlus-Sunnah. Hal ini disebabkan
oleh langkanya literatur yang dapat menunjang pembahasan
tersebut, seperti: Al-Mahdiyyah fil-Islam tulisan Sa'ad
Muhammad Hasan, al-Mahddyyah karya Dr. Ahmad Amin, dan lain
sebagainya. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam
kajian ini adalah: Dimanakah letak persamaan dan perbedaan
antara paham Mahdi Syi'ah dan paham Mahdi Ahmadiyah? Dengan
demikian, pembahasannya akan dapat memberi informasi,
manakah diantara ajaran kedua golongan tersebut yang lebih
relevan dengan al-Quran dan Sunnah, apabila dilihat dari
aspek teologi. Untuk memecahkan permasalahannya, akan
digunakan pendekatan secara historis dan komparatif.
Selanjutnya dalam bahasan ini penulis akan membicarakan
pokok-pokok persoalan sebagai berikut: Dalam Bab 1, yang
berupa pendahuluan, disini akan diberikan deskripsi global
tentang paham Syi'ah dan Ahmadiyah Selanjutnya paham Mahdi
Syi'ah yang meliputi:

a. Pengertian al-Mahdi dalam Syi'ah dan Ahmadiyah.
b. Sejarah lahirnya Syi'ah, di sini akan dijelaskan mengenai
latar belakang sejarahnya, pertumbuhan dan perkembangan
sekte-sektenya berikut paham mereka masing-masing.
c. Beberapa ajaran pokok Syi'ah yang berkaitan dengan paham
Mahdi yaitu masalah imamah, 'aqidah raj'ah, dan masalah
al-gaibah.

Kemudian diuraikan pula tentang paham Mahdi Ahmadiyah dalam
Bab III, di sini dijelaskan tentang:

a. Sejarah lahirnya Ahmadiyah yang mencakup latar belakang
sejarah berdirinya Ahmadiyah, pertumbuhan dan perkembangan
sekte-sektenya.
b. Beberapa ajaran pokok Ahmadiyah yang meliputi: Masalah
wahyu, nubuwwah, dan masalah jihad yang berkaitan dengan
paham Mahdiisme.

Uraian tentang perbandingan antara paham Mahdi Syi'ah dan
paham Mahdi Ahmadiyah dimuat dalam Bab IV. Dalam bab ini
dijelaskan tentang:

a. Asal mula lahirnya paham Mahdi yang mencakup tentang
situasi yang melatar belakanginya, dan beberapa faktor
penyebabnya.
b. Persamaan dan perbedaan antara paham Mahdi Syi'ah dan
paham Mahdi Ahmadiyah.
c. Corak kemahdian Syi'ah dan Ahmadiyah, dan
d. Paham Mahdi dan masalah 'akidah.

Selanjutnya Bab V menjelaskan tentang: Paham kewahyuan
Syi'ah dan Ahmadiyah, yang mencakup masalah-masalah:

a. Al-Quran dan paham kewahyuan ummat Muslim, disini juga
diterangkan: Hubungan paham kewahyuan Syi'ah dengan doktrin
keimaman serta sikap Syi'ah yang eksklusif, dan
b. Paham kewahyuan Ahmadiyah yang berkaitan dengan ide
pembaharuan Mirza Ghulam Ahmad dan doktrin kenabian.

Dalam Bab VI diuraikan tentang Paham Mahdi dalam perspektif
rasional. Di sini akan dijelaskan mengenai aspek landasan
idiil paham Mahdiisme yang mencakup:

a. Hadis-hadis Mahdiyyah dan identitas kelompok,
b. Beberapa pendapat tentang hadis-hadis Mahdiyyah sebagai
hadis palsu. Selanjutnya disusul dengan uraian tentang:
Beberapa interpretasi mengenai al-Mahdi dan proses
tersebarnya paham Mahdi.

Kemudian diakhiri dengan Bab VII, yaitu: Penutup. Pada bab
ini diajukan beberapa kesimpulan serta saran-saran yang
berkaitan dengan penulisan naskah ini. Dalam kajian ini,
perlu dikemukakan dua pendekatan, yaitu, pertama, pendekatan
historis. Dengan pendekatan ini penulis harus mengumpulkan
data sejarah yang berkaitan dengan golongan Syi'ah dan
Ahmadiyah khususnya, dan sejarah umrnat Muslim pada umumnya.
Setelah data sejarah diperoleh, diklasifikasikan secara
kronologis, dan diseleksi, dihubung-hubungkan satu sama
lain, serta diperbandingkan antara data yang bersumber dari
karya-karya penulis dari kedua golongan tersebut dan data
yang berasal dari karya-karya penulis non-Syi'ah dan
non-Ahmadiyah. Kedua, pendekatan komparatif. Disini penulis
mencoba membandingkan baik yang menyangkut ide, paham,
doktrin, maupun corak gerakan dari kedua golongan di atas,
yaitu: golongan Syi'ah dan Ahmadiyah, untuk dianalisis lebih
jauh guna memperoleh tingkat obyektivitas yang diharapkan.

Adapun metode yang dipergunakan dalam penulisan ini, adalah
dengan metode verstehen (memahami permasalahannya). Di sini
penulis berusaha memahami dan mengerti pokok permasalahan
yang hendak dibahas terlebih dahulu, dengan menggunakan dua
pendekatan di atas. Setelah datanya dianalisis kemudian
disusun dalam kesatuan yang harmonis dan sistematis,
sehingga mudah dimengerti maksudnya, kemudian baru ditarik
suatu kesimpulan yang utuh dan menyeluruh.

Catatan kaki:
[1] Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil,
Jakarta: Sinar Harapan, 1984, hlm. 57
[2] Al-Mawdudi, Ma hiyal-Qadiyaniyah,
(Kuwait: Darul-Qalam, hlm. 22, 25).
Selanjutya lihat pula Susmoyo Djoyo Sugito,
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Bukan Nabi Hakiki,
(Pedoman Besar Ahmadiyah Lahore Indonesia, 1984), hlm. 6-8.
[3] Dwight M. Donaldson, 'Aqidah asy-Syi'ah,
terj. dalam bahasa Arab, selanjutnya disebut
Donaldson (Mesir: Matba'ah as-Sa'adah, tt.), hlm. 231.

-------------------------------------------------

A. PENGERTIAN AL-MAHDI SYI'AH DAN AHMADIYAH

Pemakaian istilah al-Mahdi yang dimaksud dalam kajian ini,
bermula dari sekte Syi'ah Kaisaniyyah yang banyak
terpengaruh dan menyerap pikiran Ibn Saba'.1 Kata al-Mahdi
adalah ism maf'ul dari [kata-kata Arab] seperti: [kata-kata
Arab].

Kata ini bisa berarti, Allah telah memberitahukan,
menunjukkan atau menjelaskan jalan kepadanya. Dengan
demikian, orang yang telah mendapat petunjuk itu disebut
al-Mahdi. Dalam hubungan ini ada pula yang berpendapat bahwa
sigat kata al-Mahdi itu adalah maf'ul (dalam bentuk mabni
lil-majhul dari [kata-kata Arab] dan kata al-Mahdi berarti
orang yang diberi petunjuk Allah. Hanya saja kata tersebut,
dalam bentuknya seperti itu, bermakna fa'il, yakni orang
yang terpilih untuk memberi petunjuk kepada manusia. Memang
sigat [kata-kata Arab] tidak terdapat dalam al-Quran, yang
ada adalah sigat al-fa'il, sebagaimana dalam firman Allah:

Dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi
orang-orang beriman ke jalan yang lurus. (S. al-Hajj: 54)

Juga dalam firman-Nya:

... Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan
Penolong. (S. al-Furqan: 31).

Ayat-ayat tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan
masalah al-Mahdi al-Muntazar. Akan tetapi, sementara ummat
Islam, ayat-ayat di atas dijadikan sebagai dasar tema
pembahasan tentang al-Mahdi yang mereka tunggu-tunggu serta
menghubungkannya dengan hadis-hadis Mahdiyyah.2

Dalam hubungan ini, Ahmad Amin menjelaskan, bahwa dalam
al-Quran hanya ada kata [kata-kata Arab] dan kata [kata-kata
Arab] sedangkan kata yang terdapat dalam sebagian
kitab-kitab hadis adalah untuk menyipati pribadi 'Ali ibn
Abi Talib. Seperti sabda Nabi yang dikutip dari kitab
Usdul-Gabah:

" ... Dan jika kalian mengangkat 'Ali sebagai pemimpin,
namun aku melihat kalian tidak melakukan itu, kalian akan
mendapatinya sebagai seorang pemberi petunjuk yang membawa
kalian ke jalan yang lurus."

Kemudian pengertian bahasa agama ini berubah menjadi
pengertian baru yaitu akan munculnya seorang imam yang
ditunggu-tunggu, yang akan memenuhi bumi ini penuh dengan
keadilan sebagaimana bumi telah dipenuhi oleh kecurangan.
Selanjutnya ia berpendapat bahwa kelompok yang pertama-tama
menggunakan pengertian yang terakhir ini adalah Syi'ah
Kaisaniyyah.3 Selanjutnya perlu ditambahkan disini bahwa
kata al-Mahdi secara harfiah berarti orang yang telah diberi
petunjuk atau the guided one. Karena semua petunjuk itu
berasal dari Tuhan, maka arti kata tersebut menjadi "seorang
yang telah diberi petunjuk Tuhan" atau the divinely-guided
one, dengan cara yang menakjubkan dan sangat pribadi. Dengan
demikian, orang yang disebut Mahdi atau al-Mahdi,
benar-benar telah mendapat bimbingan Allah. Di masa lalu,
nama ini pun dipakai oleh pribadi-pribadi tertentu, dan
dimasa-masa selanjutnya nama Mahdi dipakai orang secara
eskatologis.4 Adapun menurut istilah, al-Mahdi adalah tokoh
laki-laki dari keturunan Ahlul-Bait yang akan muncul di
akhir zaman. Dia akan menegakkan agama dan keadilan dan
diikuti oleh ummat Muslim, akan membantu 'Isa al-Masih yang
turun ke dunia untuk membunuh dajjal, dan akan menjadi imam
sewaktu salat bersama-sama Nabi Isa a.s. Demikianlah
pengertian al-Mahdi yang dikenal secara umum di kalangan
ummat Islam.

Akan tetapi pengertian al-Mahdi menurut paham Syi'ah ialah
seorang imam (Syi'ah) yang ditunggu-tunggu. Ia akan datang
memenuhi bumi dengan keadilan karena bumi ini telah dipenuhi
oleh kecurangan. Ini berbeda dengan paham Ahmadiyah. Menurut
aliran ini al-Mahdi ialah seorang (Mirza Ghulam Ahmad) yang
merupakan penjelmaan atau pengejawantahan dari al-Mahdi dan
al-Masih a.s., dan diangkat oleh Tuhan sebagai mujaddid atau
pembaharu di abad XIV H. Ini menurut paham Ahmadiyah Lahore.
Sedangkan menurut paham Ahmadiyah Qadian, Mirza Ghulam Ahmad
disamping sebagai al-Mahdi juga adalah nabi.

Uraian diatas menunjukkan bahwa kepercayaan kaum Ahmadiyah
terhadap al-Mahdi ini bermula dari pengakuan Mirza Ghulam
Ahmad itu sendiri, sesudah ia menyelidiki sebuah makam yang
ditemukannya di Srinagar, Punjab, India. Menurut
penyelidikan mereka, makam tersebut adalah makam Yus Asaf
yang diyakini sebagai Isa al-Masih, sesudah pengembaraannya
yang panjang dari Palestina ke Kashmir, India. Dan sesudah
penemuan makam tersebut, barulah dicari hadis-hadis
Mahdiyyah yang relevan sebagai dasar keyakinan aliran ini.
Paham kemahdian Ahmadiyah diatas, berbeda dengan paham
kemahdian Syi'ah yang timbul dari 'Aqidah ar-Raj'ah dan
masalah al-Gaibah. Oleh karena kaum Syi'ah tidak mau
mengakui kematian imam-imam mereka, dan karena pengaruh
ajaran ibn Saba', maka berkembanglah pemikiran di kalangan
mereka tentang imam yang bersembunyi (gaib). Dalam kaitan
ini, Ahmad Amin menjelaskan bahwasanya masalah ar-Raj'ah itu
bermula dari ucapan Ibn Saba', yang menyatakan bahwa
Muhammad SAW akan kembali lagi ke dunia, adalah
mengherankan, orang yang percaya akan kembalinya Isa a.s.,
tetapi ia mendustakan kembalinya Muhammad.5

Dalam salah satu pernyataannya yang lain, ia tidak mengakui
kematian 'Ali, bahwa yang terbunuh itu bukan 'Ali tetapi,
setan yang menjelma sebagai 'Ali, dia naik ke langit
sebagaimana Isa ibn Maryam. Imam yang bersembunyi tersebut
akan muncul lagi ke dunia untuk menegakkan keadilan. Dengan
demikian, akhirnya, muncul pula pemikiran tentang al-Mahdi,
dan kemudian dibuatlah hadis-hadis Mahdiyyah.

Adapun arti kata Syi'ah, ialah sahabat, penolong, pengikut,
atau berarti golongan. Seperti firman Allah:

... Dan benar-benar Ibrahim adalah termasuk golongannya...
(S. as-Saffat: 83).

Secara istilahi, al-Mahdi Lidinillah Ahmad menjelaskan:

Syi'ah adalah golongan yang membantu 'Ali dalam menumpas
pemberontakan yang dimotori oleh Talhah, Zubair,
bersama-sama A'isyah, serta pemberontakan Mu'awiyah dan kaum
Khawarij. Para pendukung 'Ali tersebut, sebagian besar
mengakui kekhilafahan Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman sampai
terjadinya penyimpangan yang menimbulkan huru-hara. Sebagian
lagi, mereka yang mengakui 'Usman sebagai pemimpin mereka.
Dan golongan yang paling sedikit jumlahnya ialah mereka yang
mengunggulkan 'Ali sebagai khalifah sesudah Rasul wafat,
daripada tokoh sahabat lainnya.6

Istilah Syi'ah sebagai yang dikembangkan oleh al-Mahdi
Lidinillah di atas, mencakup seluruh corak ke-Syi'ah-an pada
umumnya, dan tampaknya istilah tersebut lebih cocok untuk
golongan Syi'ah Zaidiyyah saja. Dalam hubungan ini, istilah
Syi 'ah sebagai yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad Amin dalam
Duhal-Islam III, tampak lebih luas. Syi'ah menurut
pendapatnya adalah golongan yang berkeyakinan bahwa 'Ali dan
keturunannya adalah orang yang paling berhak menjabat
khalifah daripada Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman. Dan
bahwasanya Nabi telah menjanjikan kekhilafahan sesudahnya
kepada 'Ali, dan setiap imam menjanjikan kekhilafahan
tersebut kepada penerusnya.

Selanjutnya tentang arti kata 'Ahmadiyah' berasal dari kata
'Ahmad.' Kata ini berbentuk ism'alam yang searti dengan kata
'mahmud,' artinya orang yang terpuji. Namun menurut Mirza
Ghulam Ahmad, bahwa kata 'Muhammad' artinya, berkaitan
dengan sifat jalal atau kebesaran, karena itu, Rasulullah
dalam menghadapi musuh-musuhnya dengan cara berperang.
Sedang kata 'Ahmad' lebih berkonotasi dengan sifat jamal
atau keindahan. Maksudnya bahwa Nabi saw. itu menyebarkan
kedamaian dan keharmonisan di dunia (tidak menempuh jalan
kekerasan), sifat ini menurut pendapatnya, lebih
dimanifestasikan sewaktu Nabi tinggal di Madinah.7

Apabila kata "Ahmad" ditambah dengan "ya" nisbah, maka
jadilah kata [kata-kata Arab]. Kata inilah yang oleh Mirza
dijadikan sebagai nama aliran yang didirikannya di akhir
abad ke-19. Aliran baru ini mengajarkan bahwa Mirza Ghulam
Ahmad adalah al-Mahdi, al-Masih, Mujaddid, dan sebagai Nabi.
Nama Ahmadiyah dipakai secara resmi sebagai nama aliran
tersebut, sejak 4 November 1900, sewaktu pendirinya
membayangkan bahwa pengikutnya akan menjadi sekte baru dalam
Islam. Nama 'Ahmadiyah' sebenarnya diambil dari salah satu
nama Rasulullah, bukan diambil dari nama pendiri aliran
tersebut.

B. SEJARAH LAHIRNYA SYI'AH

1. LATAR BELAKANG SEJARAHNYA

Masalah khalifah sesudah Rasul wafat, merupakan fokus
perselisihan diantara tiga golongan besar, yaõtu: Golongan
Ansar, Muhajirin, dan Bani Hasyim. Selain itu, sebenarnya
masih ada kelompok terselubung yang cukup potensial dalam
mewujudkan ambisinya sebagai penguasan tunggal, ialah
golongan Bani Umayyah. Sikap golongan terakhir ini,
tercermin pada sikap tokoh utamanya yaitu Abu Sufyan yang
enggan membai'at Khalifah Abu Bakr, sekembalinya dari
Saqifah menuju masjid Nabawi bersama-sama dengan ummat Islam
lain, sebagai yang dilakukan oleh kaum Bani Hasyim.

Prakarsa pemilihan khalifah di Saqifah yang dimotori oleh
Sa'ad ibn 'Ubbadah adalah benar-benar menggugah kembali
bangkitnya semangat fanatisme golongan dan permusuhan antar
suku yang pernah terjadi sebelum Islam. Kiranya dapat
dipahami bahwa pemilihan khalifah tersebut, tanpa
keikutsertaan 'Ali sebagai wakil Bani Hasyim, tampaknya
membawa kekecewaan mereka yang menginginkan hak legitimasi
kekhilafahan di tangan 'Ali, yang saat itu sedang mengurus
jenazah Nabi. Mereka beralasan bahwa 'Ali adalah lebih
berhak dan lebih utama menggantikannya, karena dia adalah
menantunya, dan selain itu ia juga seorang yang mula-mula
masuk Islam sesudah Khadijah, istri Rasulullah. Selanjutnya
tak seorang pun yang mengingkari perjuangan, keutamaan, dan
ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Diantara mereka yang
berpendapat demikian adalah salah seorang dari golongan
Ansar yaitu Munzir ibn Arqam, ia menyatakan dalam suatu
pertemuan di Saqifah: " ... Kami tidak menolak keutamaan
orang-orang yang kalian sebutkan (AbuBakr, Umar, dan'Ali),
sebenarnya ada diantara mereka itu, seorang yang seandainya
ia menuntut (kekhilafahan), tak seorang pun yang akan
menentangnya ('Ali ibn Abi Talib) ...8

Peristiwa pembai'atan Abu Bakr pada tahun 12 H (634 M),
tanpa sepengetahuan 'Ali, tampaknya melahirkan berbagai
pendapat yang kontroversial tentang siapa diantara
tokoh-tokoh sahabat itu yang lebih berhak menduduki jabatan
khalifah. Selain itu, juga merupakan awal terbentuknya
pemikiran golongan ketiga yakni Bani Hasyim, disamping
golongan Muhajirin dan Ansar. Oleh karenanya tidak
mengherankan jika saat itu ada orang yang ingin membai'at
'Ali ibn Abl Talib. Keinginan tersebut secara tegas ditolak
'Ali dan sebagai akibatnya, para pendukung 'Ali
menunda-nunda pembai'atan mereka pada Khalifah Abu Bakr.

Memang benar, bahwa sesudah 'Ali membai'at Khalifah pertama
ini, isu politik tentang hak legitimasi Ahlul-Bait, sebagai
pewaris kekhilafahan sesudah Nabi, berangsur-angsur mereda
sampai berakhirnya masa pemerintahan Khalifah 'Umar ibn
Khattab. Peredaan isu politik ini, mungkin sekali disebabkan
oleh keberhasilan kedua khalifah tersebut dalam
mempersatukan potensi ummat Islam untuk menghadapi
musuh-musuh baru yang bermunculan saat itu.

Munculnya Bani Umayyah dalam pemerintahan 'Usman, sebagai
kekuatan politik baru, telah mengundang reaksi keras ummat
Islam, terhadap kebijaksanaan Khalifah, terutama sesudah
enam tahun yang terakhir pemerintahannya. Kelemahan Khalifah
ketiga ini terletak pada ketidakmampuannya membendung ambisi
kaum kerabatnya yang dikenal sebagai kaum aristokrat Mekkah
yang selama 20 tahun memusuhi Nabi. Sebagai akibatnya, isu
politik tentang hak legitimasi Ahlul-Bait memanas kembali.

Sebagaimana diketahui dalam sejarah, tindakan politik
Khalifah yang memberhentikan para gubernur yang diangkat
oleh Khalifah 'Umar, dan mengangkat gubernur-gubernur baru
dari keluarga 'Usman sendiri, rupanya membawa kekecewaan dan
keresahan ummat secara luas. Seperti: Pengangkatan Marwan
ibn Hisyam sebagai sekretaris Khalifah, Mu'awiyah sebagai
Gubernur Syria,'Abdullah ibn Sa'ad ibn Surrah sebagai wali
di Mesir, dan ia masih saudara seibu dengan Khalifah, dan
Walid sebagai Gubernur Kufah. Mereka dikenal sebagai
penguasa yang lebih berorientasi pada kepentingan pribadi
dan kelompoknya, daripada berorientasi pada kepentingan dan
aspirasi rakyat. Sikap politik seperti ini tampaknya
merupakan faktor penyebab timbulnya protes-protes sosial
yang keras yang sangat kurang menguntungkan pada
pemerintahannya sendiri.

Setelah 'Usman wafat, 'Ali adalah calon utama untuk
menduduki jabatan khalifah. Pembai'atan khalifah kali ini,
segera mendapat tantangan dari dua orang tokoh sahabat yang
berambisi menduduki jabatan penting tersebut. Kedua tokoh
itu adalah Talhah dan Zubair yang mendapat dukungan dari
'A'isyah, untuk mengadakan aksi militer yang dikenal dengan
perang Jamal. Akhirnya kedua tokoh tersebut terbunuh,
sedangkan 'A'isyah, oleh Khalifah 'Ali dikembalikan ke
Madinah.

Aksi militer tersebut, tampaknya sebagai akibat kegagalan
kedua tokoh itu dalam memenuhi ambisinya. Disamping itu,
keduanya merasa dipaksa oleh sekelompok orang dari Kufah dan
Basrah untuk membai'at 'Ali, dibawah ancaman pedang
terhunus. Alasan terakhir ini rupanya dijadikan alasan baru
untuk menuntut Khalifah, mereka berjanji akan taat dan
patuh, jika Khalifah menghukum semua orang yang terlibat
dalam peristiwa pembunuhan Usman ibn 'Affan. Tuntutan
tersebut senada dengan tuntutan Mu'awiyah, yaitu agar
Khalifah 'Ali mengadili Muhammad ibn Abu Bakr, anak
angkatnya, yang mereka pandang sebagai biang keladi
peristiwa terbunuhnya 'Usman. Dengan demikian, Khalifah 'Ali
dihadapkan pada posisi yang cukup sulit di awal
pemerintahannya.

Tampaknya tuntutan Talhah dan Zubair tersebut,
dipolitisasikan oleh Muawiyah untuk memojokkan 'Ali, yang
dipandang sebagai saingan utamanya. Untuk membangkitkan
semangat antipati dan permusuhan terhadap Khalifah 'Ali,
Mu'awiyah menggantungkan baju 'Usman yang berlumuran darah
beserta potongan jari istrinya, yang dibawa lari dari
Madinah ke Syria oleh Nu'man ibn Basyar.9 Posisi 'Ali yang
sulit ini, ditambah lagi dengan tindakan pemecatannya
terhadap Gubernur Damaskus, Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, adalah
sebagai faktor yang mempercepat berkobamya perang Siffin.
Perang ini mengakibatkan munculnya golongan Khawarij, musuh
'Ali yang paling ekstrem, sesudah terjadinya upaya
perdamaian dari pihak Mu'awiyah dengan ber-tahkim pada
al-Qur-an, setelah pasukannya terdesak oleh pasukan 'Ali
dibawah panglima Malik al-Astar. Siasat licik Mu'awiyah yang
dimotori oleh 'Amr ibn 'As ini, sebenarnya telah diketahui
oleh 'Ali. Sayang sekali usaha menghadapi siasat licik ini
terhalang oleh sebagian besar pasukannya sendiri yang
memaksanya menerima tawaran damai tersebut. Akhirnya, kedua
belah pihak sepakat untuk berdamai, dan masing-masing harus
diwakili oleh seorang juru runding. Pihak Mu'awiyah diwakili
oleh 'Amr ibn 'As, sedangkan pihak 'Ali diwakili Abu Musa
al-Asy'ari.

Kekalahan diplomasi pihak 'Ali di Daumatul-Jandal,
sebagaimana dalam penuturan sejarah, adalah disebabkan oleh
sikap Abu Musa yang amat sederhana dan mudah percaya kepada
siasat 'Amr. Bahkan menurut pendapat Syed Amir 'Ali, Abu-
Musa ini secara diam-diam memusuhi 'Ali. 'Amr ibn 'As
tampaknya dengan mudah meyakinkan Abu Musa, bahwa untuk
kejayaan ummat Islam, 'Ali dan Mu'awiyah harus disingkirkan.
Dengan perangkap 'Amr ini Abu Musa sebagai wakil yang lebih
tua, dipersilakan naik mimbar lebih dahulu guna mengumumkan
hasil perundingan mereka, dan secara sungguh-sungguh Abu
Musa menyatakan pemecatan 'Ali sedangkan 'Amr yang naik
mimbar kemudian, menyatakan kegembiraannya atas pemecatan
'Ali tersebut, kemudian ia mengangkat Mu'awiyah sebagai
penggantinya.10 Sekalipun pihak 'Ali kalah total, namun 'Ali
tetap memegang jabatan khalifah sampai ia terbunuh di mesjid
Kufah, oleh seorang Khawarij bernama Ibn Muljam, tahun 41
H/661 M.

Pembelotan kaum Khawarij yang disebabkan oleh peristiwa
tahkim atau arbitrase antara 'Ali dengan Mu'awiyah, semakin
mempersulit dan memperlemah posisi Khalifah 'Ali terutama
sekali sesudah penumpasan pasukan 'Ali terhadap kaum
separatis ini di Nahrawan. Perang di Nahrawan, menyebabkan
dendam mereka semakin memuncak terhadap Khalifah. Dalam
hubungan ini, Donaldson menjelaskan bahwa kaum Khawarij
membentuk pasukan berani mati yang terdiri: 'Abdur-Rahman
ibn Muljam untuk membunuh 'Ali, Hajjaj ibn 'Abdullah
as-Sarimi untuk membunuh Mu'awiyah, dan Zadawaih untuk
membunuh 'Amr ibn 'As. Akan tetapi, dua petugas yang disebut
belakangan ini gagal mencapai maksudnya.11 Dengan demikian,
posisi Mu'awiyah semakin kuat.

Dalam menghadapi dilema politik. 'Ali lebih tampak sebagai
seorang panglima perang daripada sebagai seorang politikus.
Ia lebih suka menempuh jalan kekerasan, sekalipun harus
banyak memakan korban, sedangkan dengan jalan diplomasi yang
pernah ditempuhnya, ia tampak lebih banyak didikte oleh
pihak lawan. Tipe perjuangan 'Ali ini rupanya dikembangkan
oleh sekte Syi'ah Zaidiyyah.

Para pendukung dan pengikut setia Khalifah 'Ali apabila
dilihat dari aspek akidah mereka, tidak jauh berbeda dengan
akidah ummat Islam pada umumnya saat itu. Sudah barang
tentu, mereka belum mengenal sama sekali apalagi memiliki
doktrin-doktrin seperti yang dimiliki oleh kaum Syi'ah
sebagaimana yang kita kenal dalam sejarah, selain pendirian
mereka bahwa 'Ali lebih utama memangku jabatan Khalifah
sesudah Nabi . Jumlah mereka relatif lebih kecil. Dengan
demikian, pengikut setia 'Ali dalam mencapai cita-cita
perjuangannya saat itu belum berorientasi pada suatu doktrin
tertentu, maka saat itu dapat dikatakan bahwa Syi'ah belum
lahir. Ini berbeda dengan aliran Khawarij, semboyan: "Tiada
hukum yang wajib dipatuhi selain hukum Allah," sejak
keberadaan sekte ini, telah dijadikan sebagai doktrin dan
pengikutnya selalu berorientasi pada ajaran itu. Oleh
karenanya dipertanyakan, kapan lahirnya Syi'ah itu?

Mengenai lahirnya Syi'ah, terdapat beberapa pendapat yang
kontroversial . Pendapat al-Jawad yang dikutip oleh Prof. H.
Abu Bakar Atjeh dalam bukunya Perbandingan Mazhab Syi'ah,
menjelaskan bahwa lahirnya Syi'ah adalah bersamaan dengan
lahirnya nas (hadis) mengenai pengangkatan 'Ali ibn Abi
Talib oleh Nabi sebagai khalifah sesudahnya nas yang
dimaksud antara lain, mengenai kisah perjamuan makan dan
minum yang diselenggarakan oleh Nabi di rumah pamannya, Abu
Talib, yang dihadiri oleh 40 orang sanak keluarganya. Dalam
perjamuan itu beliau menyatakan: "...Inilah dia ('Ali)
saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku untuk kalian,
oleh karena itu, dengar dan taati (perintahnya) ..."
Pernyataan ini disampaikan oleh Nabi sesudah 'Ali menerima
tawaran beliau sebagai khalifahnya.

Nas seperti ini, jelas tidak terdapat dalam kitab Sahih
al-Bukhari dan Sahih Muslim, karena itu golongan Sunni
menolak nas tersebut bila dijadikan dalil untuk mengklaim
kekhilafahan bagi 'Ali sebagaimana yang dikehendaki oleh
kaum Syi'ah. Sebaliknya, tidak dimuatnya nas-nas semacam
itu, demikian Syarafuddin al-Musawi, oleh kedua imam hadis
tersebut dalam kitab sahihnya merupakan manipulasi golongan
Sunni terhadap hadis-hadis sahih yang berkaitan dengan
kekhilafahan 'Ali, karena nas itu dikhawatirkan akan menjadi
senjata kaum Syi'ah untuk menyerang paham mereka.12 Abu
Zahrah berpendapat bahwa Syi'ah tumbuh di Mesir masa
pemerintahan 'Usman, karena negeri ini merupakan tanah subur
untuk berkembangnya paham tersebut, kemudian menyebar ke
Irak dan di sinilah mereka menetap.13

Selain itu, adalah wajar apabila ada yang berpendapat, bahwa
lahirnya Syi'ah itu sewaktu Nabi sakit keras, pamannya,
'Abbas, menyarankan kepada 'Ali dan mengajaknya menghadap
Nabi untuk meminta wasiatnya, siapakah orang yang akan
menggantikan kepemimpinan beliau, namun maksud tersebut
ditolak 'Ali dengan tegas, dan ia pun bersumpah tidak akan
memintanya.14 Selanjutnya masih ada pendapat yang mengatakan
bahwa lahirnya Syi'ah itu bersamaan dengan terjadinya perang
Jamal, perang Siffin, dan perang di Nahrawan, karena pada
saat itu, seorang tidak dapat dikatakan sebagai Syi'ah
kecuali orang yang mengunggulkan kekhilafahan 'Ali daripada
'Usman ibn 'Affan, sebagai yang telah disinggung diatas.

Apabila dilihat ciri-ciri dari beberapa pendapat diatas,
maka pendapat pertama tampak sama sekali tidak realistis,
sedangkan tiga pendapat yang terakhir, rupanya lebih
menitikberatkan pada adanya sikap dan tindakan-tindakan
nyata sebagai pendukung dan pengikut setia 'Ali semasa
hidupnya. Akan tetapi, apabila kelahiran Syi'ah dilihat
sebagai suatu aliran keagamaan yang bersifat politis secara
utuh, maka ia harus dilihat pula dari aspek ajaran atau
doktrin politiknya, yaitu tentang hak legitimasi
kekhilafahan pada keturunan 'Ali dengan Fatimah, puteri
Rasulullah, sebab dari segi doktrin inilah identitas Syi'ah
tampak lebih jelas, berbeda dengan identitas sekte-sekte
Islam lainnya. Dan munculnya doktrin Syi'ah seperti ini
adalah bermula sejak timbulnya tuntutan penduduk Kufah -
pendukung 'Ali - agar masalah kekhilafahan dikembalikan
kepada keluarga Khalifah atau Ahlul-Bait dari tangan
orang-orang yang dianggap telah merampasnya. Dari penerapan
doktrin ini, penulis berpendapat bahwa lahirnya Syi'ah itu
bersamaan waktunya dengan pengangkatan Hasan ibn 'Ali ibn
Abi Talib sebagai imam kaum Syi'ah. Adapun aktivitas para
pendukung dan pengikut setia 'Ali pada periode sebelumnya,
hanyalah merupakan faktor yang mempercepat proses tumbuhnya
benih-benih Syi'ah yang sudah siap tumbuh dan berkembang.

2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKTE-SEKTE SYI'AH

Dalam kajian ini, penulis lebih menitikberatkan pada bahasan
yang berkaitan dengan perkembangan sekte-sekte Syi'ah secara
garis besar, serta hubungannya dengan paham Mahdiyyah.

Pada masa Hasan ibn 'Ali, posisi kaum Syiah semakin goyah
karena derasnya fitnah, perselisihan, dan perpecahan di
kalangan mereka, yang sengaja ditanamkan oleh golongan
Saba'iyyah, pengikut Ibn Saba'.15 Lemahnya daya juang dan
kurang wibawanya Hasan adalah menjadi faktor yang
mempersulit posisi golongan Syi'ah. Usaha Hasan dalam
memerangi golongan Saba'iyyah, terutama sesudah kegagalannya
menumpas gerakan Mu'awiyah, sungguh hasilnya sangat
mengecewakan. Pada saat itulah Hasan mulai ditinggalkan oleh
kaumnya, demikian Ihsan Ilahi Zahir, sehingga sebagian
pengikutnya bergabung dengan golongan Saba'iyyah, sebagian
lagi berpaling pada Mu'awiyah, dan golongan Khawarij.16 Oleh
karena itu, Hasan pun kemudian memilih jalan damai dengan
pihak Mu'awiyah. Selanjutnya ia mundur dari jabatan khalifah
secara formal pada tahun 41 H/661 M, dengan demikian secara
de jure, ia menjabat selama sepuluh tahun, akan tetapi
secara de facto, ia berkuasa hanya enam bulan tiga hari.

Sesudah Hasan wafat, diangkatlah saudaranya, Husain ibn 'Ali
sebagai Imam. Putera 'Ali kedua ini tampak memiliki semangat
dan daya juang sebagai yang dimiliki bapaknya, namun sayang,
ia harus tewas di ujung pedang tentara Yazid di padang
Karbela secara memilukan, pada tanggal 1 Oktober 680 M.

Kematian Husain ini merupakan bencana bagi kaum Syi'ah,
sehingga makamnya dipandang sebagai tempat yang keramat
serta memiliki keistimewaan dan keluarbiasaan, lantaran
kecintaan mereka terhadap Husain, dan oleh karena itu,
mereka mentradisikan ziarah umum ke makamnya setiap bulan
Muharam.

Kematian Husain tersebut bermula dari banyaknya surat
penduduk Kufah yang menyatakan janji setianya kepada putera
'Ali ini. Aksi militer yang dilancarkan Husain, lantaran dia
lebih mempercayai janji orang Kufah daripada ia
mempertimbangkan saran-saran para penasihatnya yang cukup
berpengalaman dan mengetahui benar tabiat orang Kufah yang
telah mengkhianati keluarganya. Dan karenanya, kematian
Husain sebagai syahid, menimbulkan unsur baru dalam moral
agama di kalangan Syi'ah Kufah. Yaitu mereka merasa sangat
berdosa atas kematian Husain dan mereka berkeinginan untuk
menebus dosa mereka dengan mengangkat senjata menuntut bela
atas kematiannya pada penguasa Umayyah. Golongan tersebut
menamakan dirinya at-Tawawabun (orang-orang bertobat).

Golongan terakhir ini berkeyakinan bahwa mati berperang
karena membela kepentingan Ahlul-Bait adalah mati syahid.
Disinilah mereka mengidentikkan loyalitasnya terhadap 'Ali
dan keturunannya, sama dengan loyalitasnya terhadap Nabi
atau agama.

Ketidakpuasan kaum mawali dari Persia terhadap penguasa
Umayyah, mendorong mereka dan memberi arah yang sama sekali
baru, kepada kegiatan-kegiatan sosio-politik kaum Syi'ah,
demikian Fazlur Rahman, sehingga pimpinan Syi'ah, mungkin
sekali ia orang Arab, tetapi para pengikutnya beralih dari
bangsa Arab ke bangsa Persia.17 Sejak itulah kaum Syi'ah
mengalami perubahan besar dan mulai mengarahkan gerakannya,
dari gerakan politik semata kepada gerakan keagamaan yang
bercorak kemazhaban. Selanjutnya Ihsan Ilahi Zahir
menjelaskan bahwa sesudah Syi'ah terikat oleh unsur-unsur
asing yang melindas, maka Syi'ah terlepas dari kebiasaan
bangsa Arab yang terdidik secara Islami, dan sekalipun
mereka kaum Syi'ah masih berada dalam lingkaran Islam, namun
bukan-Islam yang ortodoks, akan tetapi, Islam dalam
bentuknya yang baru.18

Pada saat yang sama, Syi'ah mulai membawa pikiran-pikiran
asing secara terselubung, aliran ini juga merupakan wadah
dari berbagai aspirasi, dan tempat berlindungnya musuh-musuh
Islam yang ingin merusak dari dalam sehingga ia mudah
terpecah belah menjadi sub-sub sekte yang banyak sekali.
Diantara kelompokkelompok yang memasukkan ajaran-ajaran
nenek moyang mereka kedalam ajaran Syi'ah ialah golongan
Yahudi, Nasrani, Zoroaster, dan Hindu. Mereka itu
berkeinginan melepaskan negerinya dari kekuasaan Islam
dengan menyembunyikan niat jahat mereka dan menunjukkan
sikap berpura-pura mencintai Ahlul-Bait sebagai kedok.19
Seperti ajaran Syi'ah tentang: 'Aqidah ar-Raj'ah, ucapan
sementara golongan ini bahwa api neraka tidak akan membakar
mereka kecuali sedikit saja. Demikian pula diantara mereka
ada yang mengatakan bahwa hubungan al-Masih dengan Tuhan,
sifat ketuhanan yang menyatu dengan sifat kemanusiaan
seperti pada diri seorang imam, juga ada yang mengatakan
bahwa kenabian atau kerasulan itu tidak akan terhenti untuk
selamanya. Selanjutnya ada pula diantara mereka yang
menjisimkan Tuhan, berbicara tentang Tanasukh atau
Reinkarnasi dan Hulul dan lain sebagainya.

Tampaknya figur Husain, bagi kaum Syi'ah mempunyai
keistimewaan tersendiri; terutama bagi Syi'ah Persia. Hal
itu mungkin sekali karena Husain adalah cucu rasul di satu
pihak, sedangkan istrinya Syahr Banu puteri Yazdajird III,
mantan raja Persia di pihak lain. Sebelum Islam, di Persia
telah berkembang suatu tradisi yang bertolak dan pandangan
tentang "Hak Ketuhanan" atau Divine right yang berarti bahwa
dalam diri raja Persia telah mengalir darah ketuhanan.
Dengan demikian, raja memiliki kebenaran tindakan yang harus
dipatuhi oleh rakyat. Raja ibarat pengayoman Allah di bumi
untuk menegakkan kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Pandangan
seperti ini, demikian Ahmad Syalabi, masih tetap ada sesudah
orang Persia itu memeluk Islam, sehingga karenanya mereka
memandang Ahlul-Bait sebagai orang yang berhak memerintah
dan harus ditaati oleh manusia.20 Rupanya pandangan seperti
inilah yang membentuk konsep pola keimaman dalam Syi'ah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor
sosio-religio-kultural yang membentuk Syi'ah seperti
sekarang ini adalah akibat penetrasi budaya dan kepercayaan
non-Islam yang pernah berakar pada suatu masyarakat di suatu
negeri, dan pernah memiliki peradaban yang lebih maju
daripada bangsa penakluknya. Biasanya kaum Syi'ah membentuk
pola kehidupan keagamaan yang berbeda dan bahkan sering
bertentangan serta menghilangkan corak keagamaan aslinya.
Kepercayaan hasil perpaduan antara dua tradisi keagamaan
yang berbeda, yaitu Islam dan non-Islam, yang melahirkan
praktek keagamaan baru dalam Islam merupakan bid'ah yang
sangat dicela oleh Nabi, sebagaimana sabdanya:

"... Maka sesungguhnya sebaik-baik ajaran adalah kitab Allah
(al-Quran) dan petunjuk yang terbaik adalah petunjuk
Muhammad saw., dan perkara yang terjahat ialah perkara baru
yang dicipta dalam agama (bid'ah). Dan setiap bid'ah adalah
sesat". (Hadis riwayat Muslim).

Sebagaimana diketahui dalam sejarah, agama Nasrani setelah
memasuki kerajaan Romawi, juga mengalami distorsi yang jauh
lebih mengarah pada perombakan terhadap ajaran Nabi Isa a.s.
Munculnya ajaran Paulus sebagai perpaduan antara ajaran
Nasrani dengan kepercayaan dan kebudayaan Romawi, berakibat
munculnya praktek-praktek keagamaan baru yang diikuti oleh
lahirnya berbagai sekte keagamaan. Demikian pula dengan
sekte-sekte Syi'ah yang muncul sesudah Husain wafat.

Adapun munculnya sekte-sekte Syi'ah, bermula dari masalah
imamah atau kepemimpinan. Yaitu siapakah yang berhak menjadi
imam sesudah terbunuhnya Husain, oleh karena pada saat itu
belum ada diantara putera-puteranya yang mencapai usia
dewasa. Rupanya kaum Syi'ah sulit menghindari perpecahan,
karena timbulnya tiga kelompok yang berbeda paham.

Golongan pertama, memandang bahwa keimaman harus berada di
tangan keturunan Husain dan tidak boleh lepas dari mereka,
dan keimaman harus melalui nas dari imam baik yang dikenal
maupun yang tersembunyi, golongan ini terpaksa mengangkat
putera Husain yang belum dewasa sebagai imam. Golongan ini
kemudian disebut golongan Imamiyyah.

Adapun golongan kedua, berpendapat bahwa mengangkat imam
yang belum dewasa adalah tidak sah. Mereka tidak yakin bahwa
Husain telah menjanjikan keimaman itu kepada salah seorang
puteranya untuk dibai'at. Oleh karena itu, mereka bersikap
menunggu-nunggu sampai munculnya seorang putera keturunan
Husain atau Hasan yang memiliki ilmu pengetahuan, kezuhudan,
keberanian, kesalehan, keadilan, dan berani mengangkat
senjata terhadap penguasa yang zalim. Oleh karenanya
golongan ini disebut dengan al-Waqifah. Mereka menghentikan
aktivitasnya selama 60 tahun sejak terbunuhnya Husain sampai
bangkitnya Zaid ibn 'Ali ibn Husain di Kufah yang
memberontak kepada Hisyam ibn 'Abd al-Malik dari dinasti
Umayyah. Kemudian golongan ini dikenal dengan nama Syi'ah
Zaidiyyah.

Golongan ketiga berpendapat bahwa jabatan imam sesudah
Husain, jatuh pada Muhammad ibn al-Hanafiyyah yaitu saudara
seayah dengan Husain, sekalipun dia bukan dari garis Nabi.
Golongan ketiga ini beralasan, demikian al-Mahdi lidinillah
Ahmad, bahwa 'Ali ibn Abi Talib meminta kehadiran Muhammad,
saat menjelang wafat dan saat berwasiat kepada
putera-puteranya. 'Ali meminta kepada Muhammad agar mentaati
Hasan dan Husain, dan sebaliknya agar keduanya berbuat baik
dan menghormati Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Oleh karena itu,
kelompok ini memandang kehadiran Muhammad bersama kedua
saudaranya menerima wasiat 'Ali tersebut, menunjukkan bahwa
dia juga memperoleh hak untuk diangkat sebagai imam.21
Golongan ketiga ini dikenal dengan nama Syi'ah Kaisaniyyah.
Pendirinya adalah Kaisan bekas budak 'Ali, ada pula yang
mengatakan bahwa dia adalah Mukhtar ibn Abi 'Ubaid, sehingga
golongan ini disebut pula dengan nama Mukhtariyyah.

Perpecahan Syi'ah tersebut, berakibat langsung terhadap
lahirnya sekte-sekte baru dengan corak pemikiran yang
berbeda-beda. Jika golongan Imamiyyah dalam masalah keimaman
lebih menitikberatkan pada keturunan Husain, maka golongan
al-Waqifah yang kemudian dikenal dengan Syi'ah Zaidiyyah,
lebih memfokuskan perhatiannya pada persyaratan-persyaratan
yang harus dimiliki oleh seorang imam. Mereka tidak perduli,
apakah dia keturunan Hasan atau keturunan Husain asalkan dia
masih berada di jalur keturunan Nabi. Akan tetapi, bagi
golongan Kaisaniyyah tidak memandang penting jalur keturunan
itu dari Nabi, namun yang terpenting adalah jalur keturunan
'Ali ibn Abi Talib.

A. SYI'AH KAISANIYYAH

Dilihat dari eksistensi dan gerakannya, golongan ini dapat
dikatakan sebagai sekte Syi'ah yang tertua. Mereka
mengadakan aksi militer terhadap penguasa Bani Umayyah,
dengan dalih membela hak-hak kaum tertindas. Ide ini
tampaknya didukung oleh kaum Mawali Irak dan Persia, yang
diperlakukan oleh pemerintah Umayyah sebagai masyarakat
kelas dua. Sebagai akibatnya penduduk kedua kota tersebut
tidak simpati lagi pada Bani Umayyah.

Sekte ini mengangkat Muhammad ibn Hanafiyyah sebagai imam,
sedangkan ajarannya bersumber pada ajaran Ibn Saba' dan
golongan Saba'iyyah, seperti ajaran tentang: al-Gaibah,
'Aqidah ar-Raj'ah (keyakinan akan kembalinya seorang imam
yang telah wafat), dan Tanasukh. Al-Syahrasrani menyatakan,
bahwa sesudah Muhammad ibn al-Hanafiyyah yang dikenal
sebagai orang yang berpengetahuan luas dan berpikiran
cemerlang mengerti bahwa sekte ini mengajarkan ajaran bohong
dan sesat, ia pun segera berlepas tangan dari kesesatan dan
kebid'ahan mereka, serta pengkultusan-pengkultusan pengikut
aliran ini terhadap dirinya. Mereka beranggapan bahwa dia
memiliki berbagai keluarbiasaan atau
al-Makhariqul-Mumawwahah yakni keluarbiasaan yang mereka
buat-buat untuk Muhammad ibn al-Hanafiyyah.22

Sesudah ia wafat, jabatan imam beralih kepada puteranya, Abu
Hasyim, kemudian lahirlah subsekte baru yang dikenal dengan
al-Hasyimiyyah. Setelah Abu H-asyim wafat timbul masalah
siapa pemegang jabatan imam sesudahnya. Jabatan ini
tampaknya menjadi rebutan diantara kelompok-kelompok yang
berambisi, sehingga timbul pendapat yang kontroversial.
Dalam hubungan ini asy-Syahrastani menjelaskan bahwa
kelompok yang berselisih itu ada yang mengatakan, sebenarnya
Abu Hasyim telah mewasiatkan keimanan itu kepada Muhammad
ibn 'Ali ibn 'Abdullah ibn 'Abbas, saat ia hendak wafat
dalam perjalanan pulang dari Syria. Selanjutnya penerima
wasiat ini terus mewasiatkan keimaman ini kepada anak
keturunannya, sehingga jadilah kekhilafahan itu jatuh ke
tangan Bani 'Abbas. Kelompok lain mengatakan bahwa jabatan
imam itu jatuh pada kemenakan Abu Hasyim, Hasan ibn 'Ali ibn
Muhammad al-Hanafiyyah. Akan tetapi, ada pula yang
mengatakan, keimaman itu dilimpahkan kepada saudara Abu
Hasyim sendiri yaitu 'Ali, baru kemudian, 'Ali mewasiatkan
pada puteranya, Hasan. Adapun kelompok terakhir mengatakan,
bahwa keimaman itu telah lepas dari Abu Hasyim, karena ia
telah mewasiatkannya kepada 'Abdullah al-Kindi,23 oleh
karenanya menurut golongan ini, ruh Abu Hasyim telah
berpindah ke dalam diri 'Abdull-ah al-Kindi, sehingga
berkembanglah paham Reinkarnasi di kalangan pengikutnya.

B. SYI'AH ZAIDIYYAH

Sekte ini berdiri sesudah berselang 60 tahun setelah Husain
wafat, di bawah pimpinan Imam Zaid ibn 'Ali. Sekte tersebut
memiliki persyaratan khusus dalam memilih seorang imam yaitu
seorang yang 'Alim, Zahid (sangat berhati-hati dengan
masalah dunia), pemberani, pemurah, dan mau berjihad di
jalan Allah guna menegakkan keimaman taat pada agama baik
dia dari putera Hasan atau Husain.

Dalam masalah kekhilafahan atau keimaman, golongan ini
rupanya lebih moderat. Mereka bisa menerima Imam Mafdul
yakni imam yang dinominasikan, disamping adanya Imam
al-Afdal atau imam yang lebih utama. Pikiran seperti ini,
tentunya karena pendiri sekte Zaidiyyah, pernah berguru
kepada Wasil ibn 'Ata, pendiri Mu'tazilah. Oleh sebab itu,
aliran ini tidak menyalahkan atau membenci khalifah-khalifah
sebelum 'Ali ibn Abi Talib. Pendirian tentang [kata-kata
Arab] yaitu sahnya imam yang dinominasikan disamping adanya
seorang imam yang lebih utama, tampaknya mendapat reaksi
keras dari Syi'ah Kufah dan menolak pendirian tersebut.
Itulah sebabnya mereka disebut golongan Syi'ah Rafidah.

Sebagaimana diketahui, umumnya kaum Syi'ah berprinsip bahwa
'Ali ibn Abi Talib adalah satu-satunya orang yang lebih
berhak menjadi Khalifah sesudah Nabi, tetapi mereka berbeda
paham tentang siapa yang berhak menjadi imam sesudah Husain
wafat. Perbedaan-perbedaan paham itu rupanya menjadi faktor
yang mewarnai identitas kelompok masing-masing. Sebagai
contoh sekte Zaidiyyah, karena doktrinnya yang keras dalam
mencapai cita-cita perjuangannya, lebih suka menempuh jalan
kekerasan, sehingga pemimpinnya banyak yang mengalami nasib
sama dengan nasib Husain ibn 'Ali. Zaid juga menjadi korban
kecurangan penduduk Kufah karena kurang memperhatikan
saran-saran dari Salman ibn Kuhail, 'Abdullah ibn Hasan, dan
saran dari saudaranya sendiri Muhammad al-Baqir. Selanjutnya
dijelaskan bahwa pada saat dia berada di ujung pedang Yusuf
ibn 'Umar Gubernur Irak, Zaid pun ditinggalkan oleh
orang-orang Kufah.24 Sesudah ia wafat pada 122H, jabatan
imam beralih kepada puteranya, Yahya, yang menyingkir ke
Khurasan. Kemudian ia mengadakan pemberontakan terhadap
pemerintahan Walid ibn Yazid dan mengalami nasib sama dengan
nasib ayahnya. Sesudah itu keimaman dipegang oleh Muhammad
ibn 'Abdullah ibn Hasan yang dikenal dengan
an-Nafsuz-Zakiyyah, bersama-sama dengan Ibrahim, dan
keduanya terbunuh sesudah mereka mengadakan aksi militer di
Madinah. Seandainya sekte ini tidak menempuh jalan kekerasan
dalam mengembangkan ide-ide doktrinalnya yaitu dengan
menyebarkan karya-karya ijtihad para imam mereka, tentu
keberadaan sekte ini lebih berakar dan berpengaruh dalam
masyarakat.

Selanjutnya dijelaskan bahwa sesudah terbunuhnya Ibrahim di
Basrah, sekte Zaidiyyah ini sudah tidak terorganisasikan
lagi sampai munculnya Nasir al-Atrus yang menda'wahkan
mazhab Zaidiyyah di daerah Dailam dan Jabal, dua daerah yang
kemudian menjadi basis Syi'ah Zaidiyyah.25 Sebagaimana
sekte-sekte yang lain, golongan Zaidiyyah pun mengalarni
perpecahan menjadi beberapa subsekte. Diantara sektenya yang
menyimpang jauh dari doktrin Zaidiyyah adalah al-Jarudiyyah.
Pengikutnya memandang Muhammad an-Nafsuz-Zakiyyah sebagai
al-Mahdi.

C. SYI'AH IMAMIYYAH

Aliran ini menjadikan semua urusan agama harus berpangkal
pada Imam, sebagaimana halnya kaum Sunni mengembalikan
seluruh persoalan agama pada al-Quran dan Sunnah atau ajaran
Nabi. Menurut paham Imamiyyah, manusia sepanjang masa tidak
boleh sunyi dari imam, karena masalah keagamaan dan
keduniaan selalu membutuhkan bimbingan para imam. Bahkan
mereka mengatakan, tidak ada yang lebih penting dalam Islam,
melainkan menentukan seorang imam. Kebangkitannya adalah
untuk melenyapkan perselisihan dan menetapkan kesepakatan.
Oleh karena itu, ummat ini tidak boleh mengikuti pendapatnya
sendiri dan menempuh jalannya sendiri yang berbeda-beda yang
mengakibatkan perpecahan.

Aliran ini berkeyakinan bahwa keimaman 'Ali ibn Abi Talib
sesudah wafat Nabi adalah dengan nas yang jelas dan benar.
Ibn Khaldun menjelaskan bahwa keimaman bagi mereka, tidak
hanya merupakan kemaslahatan umum yang harus diserahkan
kepada ummat untuk menentukarrnya, bahkan imam merupakan
tiang agama dan tatanan Islam yang tidak mungkin dilupakan
oleh Nabi untuk menentukannya. Dan ia harus seorang yang
ma'sum (suci dari segala dosa) dan nas itu sendiri menurut
mereka, ada yang secara tegas dan ada pula yang
samar-samar.26

Konsep keimaman mereka, bagi sekte Zaidiyyah, sebagaimana
dijelaskan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya, pengangkatan
seorang imam bukan ditetapkan oleh nas, tetapi dengan
pemilihan oleh Ahlul-Halli wal-'Aqd yaitu semacam dewan yang
diberi wewenang mengangkat dan menetapkan seorang imam. Jika
Syi'ah Imamiyyah menerima kekhilafahan Abu Bakr dan 'Umar,
maka berarti mereka harus menerima paham Sunni, dan secara
tidak langsung mereka harus mengakui pula kekhilafahan Bani
Umayyah yang mereka kategorikan sebagai kelompok Sunni. Oleh
karena itu, kekhilafahan kedua tokoh diatas, harus mereka
tolak keabsahannya. Kecintaan kaum Syi'ah terhadap 'Ali dan
Ahlul-Bait yang menjurus ke arah kultus individu di satu
pihak, dan kebencian mereka terhadap Bani Umayyah karena
penindasannya pada Ahlul-Bait di pihak lain, bermula dari
dendam permusuhan lama antara Bani Hasyim dengan Bani
Umayyah sebelum Islam.

Di sisi lain, rupanya hubungan kaum Mawali Persia dengan
keturunan Ali ibn Abi Talib, dengan cara menunjukkan
kecintaan serta pembelaan mereka terhadap hak-hak
Ahlul-Bait, tampaknya menjadi faktor penyebab retaknya
keluarga Bani Hasyim. Perpecahan itu ditandai dengan
lahirnya kelompok pendukung keturunan 'Ali ibn Abu Talib di
satu pihak, yang dikenal dengan golongan Syi'ah, dan
munculnya Bani 'Abbas di pihak lain. Jika keturunan 'Ali
selalu gagal merebut kekuasaan politik pada masa
pemerintahan dinasti Umayyah, maka keturunan 'Abbas, lewat
Syi'ah Kaisaniyyah, berhasil merebutnya dan mendirikan
dinasti 'Abbasiyyah. Sebagaimana diketahui dalam sejarah,
untuk mempertahankan eksistensi dan kekuasaannya kelompok
terakhir ini, memandang kelompok pertama sebagai saingan
politiknya sebagaimana halnya orang-orang Umayyah, sehingga
penguasa baru tersebut tidak bisa terlepas dari sikap dan
tindak kekerasan terhadap saudara sesukunya (Bani Hasyim)
seperti yang pernah dilakukan oleh dinasti Umayyah terhadap
lawan-lawan politiknya.

Sebagai yang telah disinggung diatas, perpecahan Syi'ah
Imamiyyah bermula dari masalah siapa yang berhak menjadi
imam sesudah Husain wafat? Menurut sekte ini karena saat itu
dapat dikatakan dalam keadaan darurat, maka mereka memandang
sah pengangkatan 'Ali ibn Husain yang dijuluki dengan
Zainal-'Abidin,27 sekalipun ia belum dewasa. Imam ini
selamanya tinggal di Madinah sampai wafatnya di tahun 94 H,
dan ia pun tidak pernah mengadakan aksi kekerasan terhadap
penguasa Bani Umayyah. Sekte ini sesudah 'Ali ibn Husain
wafat, enggan mengakui Zaid ibn 'Ali sebagai Imam, tetapi
mengangkat saudaranya Muhammad al-Baqir. Dalam usia 19, ia
menduduki jabatan imam tersebut di akhir masa pemerintahan
al-Walid, namun ia tetap tinggal di Madinah sebagaimana
ayahnya.28 Sepeninggal al-Baqir, jabatan imam dipegang oleh
puteranya, Ja'far as-Sadiq. Silsilah imam ini, dari jalur
ayahnya sampai kepada Nabi; sedangkan dari jalur ibunya,
Ummu Farwah, sampai kepada Abu Bakr as.-Siddiq. Ketenarannya
sebagai guru dan pemikir besar di zamannya, diakui oleh
semua pihak yang mengenal kemasyhurannya, terutama di bidang
ilmu fiqh dan hadis.

Sejumlah muridnya telah memberikan andil besar dalam
memajukan Ilmu Fiqh dan Ilmu Kalam, sepeffi: Abu Hanifah dan
Anas ibn Malik. Menurut riwayat lain juga terdapat nama-nama
seperti Wasil ibn 'Ata yang dikenal sebagai tokoh dan
pendiri Mu'tazilah, dan Jabir ibn Hayyan sebagai ahli kimia
yang masyhur. Karena kemasyhurannya itu, beberapa tokoh
Syi'ah abad modern seperti Syarafuddin al-Mu-sawi, 'Ali
Syariati dan lain sebagainya , menunjukkan klaim terhadap
ummat Islam non Syi 'ah supaya mereka mengakui dan menerima
pikiran-pikiran hasil ijtihad Imam Ja'far as-Sadiq sebagai
mazhab ke-5 dalam Islam, namun demikian, karya-karya besar
Imam ini, di perguruan tinggi Timur Tengah, seperti
Universitas al-Azhar di Mesir, telah dijadikan bidang studi
sendiri dalam Ilmu Fiqh.

'Ulama' besar dari kalangan Ahlul-Bait ini menyatakan
berlepas tangan dari segala kebohongan dan kebodohan ucapan
serta tindakan kaum Syi'ah Rafidah yang dihubungkan pada
dirinya, seperti ucapan mereka tentang: al-Gaibah,
ar-Raj'ah, al-Bada', Tanasukh, Hulul, dan at-Tasybih atau
penyerupaan Tuhan dengan manusia. Penolakannya terhadap
kebid'ahan-kebid'ahan kaum Syi'ah dinyatakan dengan tegas
sebagai berikut:

"Semoga Allah mengutuk mereka (kaum Syi'ah), sesungguhnya
kami tidak membiarkan para pendusta yang senantiasa membuat
kedustaan atas nama kami. Maka cukuplah bagi kami, Allah
sebagai pengaman dari semua para pendusta. Dan semoga Allah
menyangatkan panasnya siksa pada diri mereka."2929

Dari uraian diatas, nyatalah bahwa tokoh-tokoh Ahlul-Bait
yang diangkat sebagai Imam oleh kaum Syi'ah, pada umumnya
tinggal di Madinah dan mereka jauh dari para pengikutnya
yang bertebaran di berbagai negeri. Tampaknya tidak seorang
pun di antara para Imam itu yang menyimpang dari ajaran
Islam, dan bahkan mereka tidak suka menyerang pribadi Abu
Bakr atau 'Umar, malahan mereka menghormatinya. Oleh karena
itu, sikap para Imam yang lurus dan tegas terhadap segala
penyelewengan para pengikutnya, dapat diduga sebagai salah
satu faktor yang menambah kejengkelan mereka dan sebagai
reaksinya, kaum Syi'ah tidak segan-segan mencatut nama baik
imam-imam mereka untuk menguatkan pendirian atau paham
masing-masing. Tidak mustahil, jika kaum Syi'ah kemudian
mendirikan sub-sub sekte yang ekstrem dengan menyerap
ajaran-ajaran non-Islam dan kemudian mereka membuat
cerita-cerita fiksi tentang kehebatan dan keluarbiasaan
imam-imam mereka.

Perpecahan Syi'ah Imamiyyah sesudah Ja'far as-Sadiq wafat,
semakin meluas dan perpecahan ini tampaknya berpangkal,
siapa di antara enam puteranya yang lebih berhak
menggantikannya. Maka mulailah muncul sub-sub sekte baru
seperti: An-Nawusiyyah, yang memandang Ja'far as-Sadiq
sebagai al-Qa'im atau al-Mahdi demikian pula halnya dengan
al-Musawiyah, pengikut Musa al-Kazim yang berkeyakinan bahwa
Musa tidak mati, ia hanya gaib saja dan akan kembali lagi ke
dunia, dan tidak akan ada lagi seorang imam sesudahnya. Oleh
karena itu, sekte yang terakhir ini disebut juga dengan
al-Qat'iyyah. Dalam bahasan ini akan dibicarakan dua
subsekte yang terpenting, dan keduanya mempunyai corak
kemahdian yang berbeda satu sama lain

1. SYI'AH ISMAILLIYYAH

Aliran ini dikenal pula dengan Syi'ah Sab'iyyah atau Syi'ah
Batiniyyah. Disebut demikian, karena pengikut sekte
berkeyakinan bahwa Imam yang ketujuh bagi mereka adalah
Isma'il atau karena pendirian mereka yang menyatakan bahwa
setiap yang lahir, pasti ada yang batin dan setiap ayat yang
turun pasfi ada Ta'wil atauTafsir Batiniyyah-nya.

Syi'ah Isma'iliyyah ini muncul sesudah tahun 200 H, menurut
penuturan al-Mahdi Lidinillah Ahmad yang mengutip pernyataan
al-Hakim dan kesepakatan para penulis Muslim, bahwa orang
yang mula-mula membangun mazhab ini ialah anak-anak orang
Majusi dan sisa-sisa pengikut aliran Huramiyyah.30 Mereka
dihimpun oleh suatu perkumpulan yang bekerja sama dengan
orang-orang yang ahli tentang Islam dan filsafat. Motif
mereka tidak lain, karena mereka ingin membuat tipu daya
guna merusak Islam dengan menyusupkan para propagandisnya
kedalam masyarakat Syi'ah yang masih awam, karena mereka iri
terhadap kejayaan Islam.31 Untuk pertama kalinya sekte ini
lahir di Irak, kemudian ia mengalihkan gerakannya ke Persia,
Khurasan, India, dan Turkistan. Di daerah-daerah tersebut,
ajaran-ajarannya bercampur dengan kepercayaan versi lama dan
pemikiran Hindu. Dalam hubungan ini Fazlur Rahman
menjelaskan bahwa Syi'ah Isma'iliyyah ini giat berpropaganda
di sekitar abad II H/IX M - V H/XI M, sehingga ia pernah
menjadi aliran terkuat di dunia Islam, sejak dari Afrika
sampai ke India dengan mengobarkan revolusi sosial, melalui
asimilasi ide-ide dari luar terutama ide platonisme dan
gnostik. Dari sinilah sekte tersebut menyusun sistem
filsafat diatas mana dibangun suatu agama baru, setelah
merongrong struktur keagamaan ortodoks.32

Isma'il yang wafat mendahului ayahnya, diyakini keimamannya
melalui nas dari ayahnya, Ja'far as-Sadiq. Pengikut sekte
ini mengingkari kematiannya dan ia dipandang sebagai
al-Qa'im (yang bangkit) sampai ia menguasai bumi dan
menegakkan urusan manusia. Sesudah Isma'il, jabatan imam
diteruskan oleh anaknya, Muhammad al-Maktum dan selanjutnya
jabatan tersebut diteruskan oleh puteranya, Muhammad
al-Habib, kemudian oleh penggantinya, 'Abdullah al-Mahdi.
Dalam propagandanya ia mendapat sukses karena jasa Abu
'Abdullah as-Syi'i, sesudah ia lolos dari tempat
penahanannya di Sijilmasah, ia dapat menguasai daerah
Kairuwan dan Magrib (Afrika). Dalam perkembangan
selanjutnya, anak keturunan al-Mahdi ini akhirnya dapat
menguasai Mesir dan mendirikan dinasti Fatimiyyah.

Sesudah sekte ini merasa kuat posisinya, berakhirlah Imam
Mastur dan muncullah 'Abdullah ibn Muhammad al-Habib yang
mengaku sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan. Diantara sub
sektenya yang paling agresif adalah golongan Qaramitah yang
dipelopori oleh Hamdan ibn Qarmat dipenghujung abad ke-3 H/9
M. Gerakannya bertujuan, di bidang politik, membantu
berdirinya dinasti Fatimiyyah di Mesir, sedangkan di bidang
sosial, membangun masyarakat yang didasarkan atas asas
kebersamaan. Mereka hidup dalam suatu komune yang hampir
menyerupai sistem kehidupan masyarakat komunis. Kepercayaan
aliran ini terhadap al-Mahdi, tidak jauh berbeda dengan
keyakinan Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Hanya saja pengikut sekte
Qaramitah ini menganggap Muhammad ibn Isma'il sebagai
al-Mahdi atau al-Qa'im. Ia masih hidup dan tidak akan mati
serta akan kembali lagi ke dunia dan memenuhi bumi dengan
keadilan. Menurut keyakinan mereka, berita kemahdiannya
telah disampaikan oleh imam-imam pendahulunya.33

Selain aliran Qaramitah, muncul pula golongan Druziyyah,
yang dipimpin dan didirikan oleh ad-Durzi. Tampaknya aliran
ini rapat hubungannya dengan Syi'ah al-Hakimiyyah yang lahir
di masa al-Hakim bi Amrillah al-Fatimi yang memerintah Mesir
di tahun 386 H. Dialah yang didewa-dewakan sebagai tuhan.
Dalam hubungan ini, menurut salah satu riwayat, dia adalah
Hamzah ad-Durzi yang datang dari Persia ke Mesir, kemudian
membujuk al-Hakim agar dirinya diperbolehkan untuk
mempropagandakan paham baru yaitu bahwa al-Hakim adalah
tuhan, sehingga manusia mau menyembahnya.34 Sangat boleh
jadi, ajaran tentang Hulul dan Tanasukh versi aliran
Druziyyah ini, dipengaruhi oleh ajaran al-Hallaj (858 - 922
M), yang dalam konsep filsafat ketuhanannya, menjelaskan
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat kemanusiaan (an-Nasut),
dan manusia pun memiliki sifat-sifat ketuhanan (al-Lahut).
Kemudian ajaran ini oleh ad-Durzi diterapkan pada diri
al-Hakim yang dipropagandakan sebagai tuhan.

Doktrin esoteris ciptaan Syi'ah Batiniyyah yang inovatif,
terutama dalam menginterpretasikan ayat-ayat al-Quran,
adalah benar-benar jauh dari ruh Islam dan mengingatkan kita
pada aliran kebatinan Gatholoco di Jawa. Sekte ini pada masa
Aga Khan, sewaktu Inggris berkuasa di India, demikian Ahmad
Syalabi menjelaskan, dijadikan sebagai alat untuk
menghancurkan Islam dan menguasai ummat Islam dengan hak dan
kewajiban yang saling menguntungkan kedua belah pihak.35
Taktik Inggris ini rupanya sama dengan yang dilakukannya
terhadap golongan Ahmadiyah, yaitu untuk membantu
kepentingan Inggris di India. Dalam kerjasamanya dengan
Inggris, aliran Batiniyyah atau Isma'iliyyah ini, mendapat
kebebasan menyebarkan pahamnya di koloni-koloni Inggris, dan
sebagai imbalannya, aliran ini harus patuh pada Inggris.

2. SYI'AH ISNA 'ASYARIYYAH

Aliran ini lebih luas pengaruhnya dan lebih kuat posisinya
sampai hari ini bila dibandingkan dengan pengaruh dan posisi
aliran-aliran Syi'ah lainnya. Mayoritas pengikut sekte ini
tinggal di Iran dan Irak. Aliran ini didirikan sesudah abad
ke-3 H, akan tetapi ada pula yang berpendapat, bahwa ia
lahir sesudah hilangnya Muhammad al-Mahdi al-Muntazar secara
misterius pada tahun 260 H.

Keimaman pada sekte ini, sesudah Ja'far as-Sadiq, adalah
Musa al-Kazim, sesudah itu jabatan imam dipegang oleh
puteranya, 'Ali Rida. Dialah satu-satunya Imam Syi'ah dari
Ahlul-Bait yang diangkat sebagai putera mahkota oleh
Khalifah al-Ma'mun dari dinasti 'Abbasiyyah. Kemudian
keimaman sesudahnya beralih kepada puteranya Muhammad
at-Taqi, dan selanjutnya ia pun digantikan oleh puteranya
'Ali an-Naqi atau al-Hadi. Ia tinggal di Madinah dan memberi
pengajaran di sana. Akibat kritik-kritiknya yang tajam
terhadap Khalifah al-Mu'tasim, ia dipenjarakan di Samarra
sampai wafatnya tahun 254 H/ 868 M dalam usia 40 tahun.
Selanjutnya keimaman beralih kepada puteranya, Hasan
al-'Askari, yang dikenal sebagai Imam yang tekun dan
menguasai beberapa bahasa.

Pada masa keimamannya, perpecahan Syi'ah Isna 'Asyariyyah
ini semakin meluas, dan banyak diantara para pengikutnya,
terutama kaum 'Alawiyyun (pengikut 'Ali ibn Abi Talib)
mendakwahkan dirinya sebagai imam. Menurut asy-Syahrastani,
Hasan al-'Askari wafat dalam usia 28 tahun (260 H/874 M) di
Samarra.36 Kemudian diangkatlah puteranya, Muhammad ibn
Hasan al'Askari sebagai imam yang ke-12, yang dimitoskan
sebagai al-Mahdi al-Muntazar karena ia dianggap hilang
secara misterius, sejak ia dalam usia kanak-kanak. Dia akan
kembali lagi ke dunia dan memenuhinya dengan keadilan,
sebagaimana bumi ini dipenuhi oleh kecurangan. Demikian
menurut keyakinan pengikut Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Aliran
ini sejak berdirinya sampai hilangnya Imam ke- 12, tampaknya
kurang terorganisasikan. Akan tetapi, demikian Gibb dan
Kramers menjelaskan bahwa dalam perkembangan selanjutnya,
aliran ini pernah mengalami kemajuan pesat, terutama setelah
berdirinya dinasti Safawiyah dimana para penguasanya
mengklaim bahwa diri mereka adalah masih keturunan Musa
al-Kazim. Mereka menjadikan ajaran sekte ini sebagai mazhab
resmi pemerintahan Safawi di Persia. Pada masa Syah Isma'il,
ia memerintahkan kepada para Khatib dan Mu'azzin mengubah
formula khutbah dan azannya, yaitu dengan menyebutkan
nama-nama kedua belas Imam mereka dalam khutbah dan
menambahkan kalimat [kata-kata Arab] dalam azannya, formula
semacam ini tentunya dimaksudkan untuk menunjukkan ciri khas
kesyi'ahan.37

C. BEBERAPA AJARAN POKOK SYI'AH YANG BERKAITAN
DENGAN PAHAM MAHDI ATAU MAHDIISME

Bahasan ini penulis batasi pada ajaran pokok Syi'ah yang
berkaitan erat dengan doktrin Mahdiisme, yaitu pada masalah
Imamah, al-Gaibah, dan 'Aqidah ar-Raj'ah.

1. MASALAH KEIMAMAN

Masalah keimaman bagi kaum Syi'ah adalah sangat fundamental,
terutama bagi Syi'ah Isna 'Asyariyyah atau Syi'ah Dua belas.
Masalah keimaman, mereka jadikan sebagai rukun atau saka
guru agama, dan nas-nas keimaman, mereka pandang sebagai
mutawatir. Oleh karena ia merupakan anugerah Tuhan yang
harus diberikan kepada hamba-Nya, maka yang demikian itu
merupakan kewajiban Tuhan baik secara rasional maupun
tekstual.

Secara rasional, seorang Imam harus mengayomi ummat atau
memelihara kemaslahatannya serta melindunginya dari berbagai
kezaliman dan kemaksiatan. Selain itu seorang imam juga
harus menjaga kelestarian Syari'at Islam dari usaha-usaha
pemalsuan, dan oleh sebab itu, perlu adanya seorang Mufassir
(Imam) dari sisi Tuhan guna menafsirkan dan mengambil hukum
dari ayat-ayat al-Quran.38 Alasan kedua ini senada dengan
argumen tentang kehadiran al-Mahdi al-Ma'hud dalam
Ahmadiyah, yang dipandang sebagai Mujaddid atau penafsir
al-Quran sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.

Secara tekstual, keimaman Syi'ah adalah didasarkan pada
hadis Gadir Khum, yang diyakini sebagai mutawatir. Di Gadir
Khum inilah menurut aliran ini, Nabi bersama-sama sahabatnya
beristirahat sepulang mereka dari menunaikan ibadah haji
dana di tempat ini, Nabi di depan mereka, menunjuk 'Ali ibn
Abi Talib sebagai penggantinya. Salah satu di antara
riwayatnya ialah apa yang diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam
al-Kabir:

" ... Ya Allah! Barangsiapa yang beriman padaku dan
membenarkan aku hendaknya ia menjadikan 'Ali ibn Abi Talib
sebagai pemimpinnya, maka sesungguhnya kepemimpinannya
adalah kepemimpinanku, dan kepemimpinanku adalah
kepemimpinan Allah."

Dengan nas semacam ini, keimaman itu diberikan secara
berkesinambungan dari imam yang satu kepada imam yang lain,
dan oleh karenanya keimaman itu tidak akan keluar dari
keturunan Ahlul-Bait.

Tradisi keimaman Syi'ah Isna 'Asyariyyah, tampaknya masih
berjalan terus sampai sekarang, terutama dalam melaksanakan
tugas-tugas keimaman yaitu perlu diangkatnya seorang
Mandataris Imam, selama Imam Mahdi itu belum muncul kembali.
Jabatan ini dalam dekade terakhir dipegang oleh Ayatullah
Ruhullah Khumaini. Menurut pendapatnya, ajaran para imam
adalah sejajar dengan al-Quran yang wajib ditaati dan
dilaksanakan. Selama Imam Mahdi belum muncul, ia diwakili
oleh seorang mandataris yang berhak. Kedudukan al-Mahdi
dalam pandangan Syi'ah disejajarkan dengan Rasulullah,
sebagaimana dinyatakan dalam riwayat Jafar: "Barangsiapa
mengakui semua imam dan mengingkari Imam Mahdi, dia seperti
mengakui semua nabi tetapi ia mengingkari Nabi Muhammad.39

2. MASALAH KEGAIBAN IMAM

Masalah kegaiban imam dalam kepercayaan Syi'ah berkaitan
erat dengan kepercayaan tentang akan kembalinya imam-imam
Syi'ah yang telah wafat kedunia, yang diistilahkan dengan
[kata-kata Arab].Kepercayaan ini bermula dari suatu anggapan
bahwa imam yang mereka cintai itu tidak mati, tetapi hanya
menghilang untuk sementara waktu. Hal ini mengingatkan kita
pada pernyataan Ibn Saba' sewaktu 'Ali ibn Abi Talib wafat,
ia menyatakan:

"Seandainya kalian membawa otak 'Ali kepadaku seribu kali,
aku tidak akan membenarkan kematiannya"40

Imam itu mempunyai masa kegaiban. "Apabila telah sampai
kepadamu," demikian kata Abu Ja'far, "berita tentang
kegaiban imam dari seorang yang (mempercayai) hal itu, maka
janganlah kalian mengingkarinya."41 Demikianlah kepercayaan
kaum Syi'ah terhadap imam mereka.

Teori tentang kegaiban imam, tampaknya dicipta untuk
mempertahunkan eksistensi suatu aliran tertentu yang
terancam kehancuran, akibat persaingan ketat diantara
sekte-sekte yang ada saat itu. Dengan demikian teori
tersebut lebih bersifat politis daripada bersifat keagamaan,
karena aliran ini menghadapi masa kevakuman imam yang cukup
serius. Semula kaum Syi'ah hanya bersikap menunggu, akan
tetapi kemudian muncul ide baru bagaimana cara berkomunikasi
dengan seorang imam yang sedang gaib. Ide tersebut muncul
bersamaan dengan timbulnya ambisi tokoh-tokoh non-Ahlul Bait
yang ingin memainkan peranan imam sesudah Imam Muhammad ibn
Hasan al-'Askari. Kemudian muncullah dua macam teori tentang
al-Bab dan teori mengenai Mandataris Imam.

Teori tentang al-Bab, bermula dari aliran Syaikhiyyah yang
mengajarkan bahwa Imam Mahdi itu selalu mengejawantah dan
muncul di setiap tempat dalam wujud seorang laki-laki yang
disebut sebagai al-Mu'minul-Kamil atau al-Bab atau al-Wali.
Teori ini kemudian dikembangkan oleh 'Ali Muhammad
asy-Syirazi bekas murid al-Kazim ar-Rasti penganut aliran
tersebut. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan, bahwa asy-Syirazi
mengaku dirinya adalah al-Bab (pintu perantara) antara
[kata-kata Arab] (Imam Mahdi yang sedang gaib) dengan kaum
Syi'ah yang ingin mendapat ilmu atau petunjuk darinya.42
Akhimya lahirlah aliran baru yang dikenal sebagai aliran
al-Babiyyah.

Teori kedua adalah tentang Mandataris Imam, tampaknya teori
ini adalah pengembangan dari teori yang pertama diatas.
Hanya saja teori kedua ini berasal dari 'Ali ibn Muhammad
as-Samin, ia mengaku telah menyodorkan secarik kertas yang
telah ditandatangani oleh al-Mahdi, kepada Muhammad al-Hasan
sewaktu as-Samiri akan meninggal, ia memberitahukan kepada
Muhammad al-Hasan, bahwa al-Mahdi tidak akan muncul kembali
sampai datang saat yang telah ditentukan oleh Tuhan, yaitu
sesudah hati manusia menjadi beku dan kecurangan telah
merajalela di atas bumi.43 Sehingga dalam kepercayaan
tersebut terdapat istilah al-Gaibah as-Sugra atau gaib
sementara, dimana al Mahdi mempunyai empat orang duta, dan
duta yang terakhir adalah as-Samiri. Kedua, al-Gaibah
al-Kubra yaitu gaib untuk waktu yang lama. Selama al-Mahdi
absen, ia diwakili oleh seorang yang dikenal sebagai
Mandataris Imam, dan jabatan ini merupakan peringkat pertama
dalam hirarki Syi'ah Dua belas.

3. MASALAH 'AQIDAH AR-RAJ'AH

Masalah 'Aqidah ar-Raj'ah yaitu kepercayaan Syi'ah, tentang
akan kembalinya seorang imam yang telah wafat, adalah
bermula dari kepercayaan orang-orang Yahudi terhadap kisah
'Uzair dan kisah Nabi Harun. Mereka berkeyakinan, bahwa Nabi
Harun dibunuh oleh Nabi Musa di padang Tih, karena
kedengkiannya kepada Nabi Harun. Sementara kaum Yahudi
mengatakan bahwa Harun akan kembali lagi ke dunia, sedangkan
yang lain berkeyakinan bahwa ia tidak wafat, dia hanya gaib
dan akan kembali lagi.44 Adanya kesamaan antara kepercayaan
kaum Yahudi dengan kepercayaan Syi'ah, sangat dimungkinkan
sesudah kedua belah pihak terjadi kontak langsung secara
akrab. Diantara penulis Muslim seperti: Muhammad Abu Zahrah,
Ahmad Amin, Ihsan Ilahi Zahir, berpendapat bahwa 'Aqidah
Raj'ah tersebut diterima kaum Syi'ah lewat Ibn Saba' dan
ajaran golongan Saba'iyyah.

Akan tetapi, Muhammad al-Bahi mengajukan argumen psikologis
tentang terbentuknya 'Aqidah Raj'ah di kalangan kaum Syi'ah.
Menurut pendapatnya, kepercayaan tersebut bermula dari
keyakinan yang didasarkan pada kecintaan kaum Syi'ah
terhadap imam-imam mereka yang telah wafat. Akibat kesedihan
yang memuncak, kecintaan mereka semakin mendalam, dan mereka
amat mendambakan kehadiran imam-imam yang mereka cintai itu.
Akhimya mereka ragu-ragu akan kematiannya, dia hanya absen
dan mereka tetap ingin menunggunya. Karena kecintaan yang
kuat, lahirlah perenungan yang kuat pula, sekalipun
kadang-kadang apa yang diyakininya itu bertolak belakang
dengan kenyataan yang sebenarnya. Selanjutnya dijelaskan
bahwa perenungan yang mengasyikkan jiwa disertai dengan
keinginan kuat untuk menjumpai seorang (imam) yang dicintai
itu, kemudian beralihlah dari kegaiban kepada harapan akan
kehadirannya kembali, dan akhirnya terbentuklah 'Aqidah
Raj'ah di kalangan kaum Syi'ah.45

Ketegangan jiwa akibat wafatnya seorang pemimpin yang
dicintai, sering menimbulkan perubahan sikap atau tingkah
laku seseorang, apabila ketegangan tersebut sulit diatasi.
Keadaan semacam ini rupanya pernah dialami oleh 'Umar ibn
Khattab sewaktu mendengar berita Rasulullah wafat. Ia tidak
mengakui Nabi telah wafat, dengan pedang terhunus ia
mengancam siapa saja yang berani mengatakan bahwa Nabi telah
tiada. Akan tetapi, perubahan sikap demikian itu, tampaknya
hanya bersifat sementara. Kasus seperti apa yang dialami
'Umar tersebut, rupanya banyak pula dialami oleh manusia
lainnya. Dan bahkan jauh sebelum agama Yahudi lahir, bangsa
Chaldea sudah pernah mengalami kasus seperti itu, yaitu
tidak mau mengakui kematian Qabil sewaktu dibunuh oleh
saudaranya, Habil. Malahan diyakini, ia akan kembali lagi ke
dunia. Demikian pula halnya dengan kaum Nasrani, mereka
meyakini bahwa Yesus yang mati di tiang salib, bangkit
kembali dan terus naik ke langit dan duduk di sisi Tuhan,
dia akan datang kembali ke dunia untuk memenuhi bumi dengan
kedamaian dan kesucian.

Dari keterangan diatas, dapatlah disimpulkan bahwa pendapat
al-Bahi tersebut memandang berpengaruhnya ajaran Yahudi di
kalangan Syi'ah hanyalah sebagai faktor yang mempercepat
proses lahirnya 'aqidah Raj'ah saja, sedangkan kepercayaan
seperti itu merupakan gejala umum jiwa manusia dan tidak
terbatas pada sekelompok manusia tertentu. Adapun munculnya
'Aqidah Raj'ah dalam suatu kelompok, terbatas pada para
pencinta pimpinan atau imam, mereka menderita kesedihan yang
hebat sebagai akibat wafatnya pimpinan yang dicintai
tersebut.

Masalah al-Gaibah yang berkaitan erat dengan 'Aqidah
ar-Raj'ah tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan Syi'ah
terhadap al-Mahdi. Tokoh ini merupakan idola pemimpin Syi'ah
yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh penganut Syi'ah
Duabelas. Rupanya sekte ini saja yang masih gigih
mempertahankan paham Mahdi, sedangkan sekte-sekte lainnya
yang semula memiliki kepercayaan yang serupa semakin lama
semakin memudar bersama dengan memudarnya pengaruh
sekte-sekte tersebut. Tetapi tidak demikian halnya dengan
sekte Syi'ah Zaidiyyah. Sekte ini secara tegas menolak paham
Mahdi, kecuali golongan al-Jarudiyyah yang merupakan sub
sekte Syi'ah Zaidiyyah yang telah menyimpang jauh dari
doktrin kezaidiyyahannya.

Dengan demikian, aliran Syi'ah dalam perjalanan sejarahnya,
banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran non-Islam dan hanya
Syi'ah Zaidiyyah yang masih menunjukkan keortodokannya, bila
dibandingkan dengan sekte Syi'ah lainnya. Keterbukaan sikap
kaum Syi'ah dalam menghadapi penetrasi budaya dan
kepercayaan non-Islam yang pernah berakar dalam suatu
masyarakat sebelum Islam datang, agaknya merupakan salah
satu faktor penyebab tergesemya ajaran Islam ortodoks dalam
kehidupan beragama di satu pihak, dan di pihak lain faktor
terbentuknya paham Mahdi dengan berbagai macam versinya.

Kemahdian Syi'ah Tujuh tampak lebih nyata daripada kemahdian
Syi'ah Dua belas, sehingga sekte yang disebut belakangan ini
mencipta teori tentang al-Bab dan teori tentang Mandataris
Imam, dengan demikian ide kemahdiannya lebih lama bertahan
daripada yang lain.

Catatan kaki:
1 Keberadaan Ibn Saba' dalam sejarah, tampaknya menjadi
masalah yang kontroversial, sementara penulis-penulis
Islam modem ada yang tidak meyakini keberadaannya.
Pendapat ini senada dengan pendapat Montgomery Watt
dalam salah satu karyanya, memandang Ibn Saba' sebagai
mitos bikinan kaum Sunni. Pernyataan ini berbeda dengan
pengakuan penulis-penulis Muslim terdahulu baik dari
kalangan Syi'ah maupun Sunni. Seperti: at-Tabari,
al-Mahdi Lidinillah Ahmad, al-Syahrastani,
Ibnul-Asir dan lain-lainnya. Sedang dan penulis-penulis
Muslim belakangan, antara lain: Ahmad Syalabi, Ahmad Amin
dan Abu Zahrah, mereka pada dasarnya mengakui keberadaan
Ibn Saba' seperti halnya Sayyid Amir' Ali dari kalangan
Syi'ah. Kaum Syi'ah pada umumnya mengakui keberadaannya
namun mereka tidak mengakuinya sebagai kelompok Syi'ah.
Dalam kaitan ini, Ahmad Syalabi menandaskan, adanya
sebuah buku yang berjudul 'Abdullah ibn Saba' yang ditulis
oleh Dekan Fakultas Ushuluddin di Irak, Murtada al-Askari.
Pengarang buku ini mencoba membuktikan kebenaran pendapatnya
dengan berbagai alasan atau argumen. Menurut pendapatnya
bahwa Abdullah ibn Saba' yang ada didalam sejarah Islam itu
hanya cerita bohong cerita itu telah diciptakan oleh seorang
yang bernama Saif ibn 'Umar yang meninggal 170 tahun
sesudah Hijrah.L Riwayatnya ini bertentangan dengan
kebanyakan riwayat yang lain. Tampaknya penulis buku
tersebut, juga membawa kebohongan, yang penting, demikian
Ahmad Syalabi, bukan masalah nama, akan tetapi kebenaran
tokoh sesat dan menyesatkan itu memang benar-benar ada.
Demikianlah komentar Syalabi menaggapi pendapat diatas,
dalam bukunya, Mausu'atut-Tarikh al-Islami
wal-Hadaratul-Islamiyyah, vol.III, hlm. 145-146.
2 Donaldson op. cit., hlm. 230.
3 Ahmad Amin, Duhal-Islam,vol.III, selanjutnya disebut
Duhal-Islam III (Kairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah,
1964), hlm. 235-6.
4 H.A.R. Gibb and Kramers, Eds., Shorter Encyclopaedia
Islam, (Leiden E. J. Brill, 1947), hlm. 310.
5 Ahmad Amin, Fajrul-Islam, selanjutnya disebut
Fajrul-Islam, (Singapura Sulaiman al-Mar'i 1965), hlm. 270.
6 Al-Mahdi Lidinillah Ahmad, al-Munyah wal 'Amal fi
Syarhil-Milal wan Nihal, ed. Dr. Mahmud Jawad Masykur,
Beirut: Darul-Fikr, 1979), hlm. 81.
7 Maulana Muhammad 'Ali, Mirza Ghulam Ahmah of Qadian, His
Life and Mission, (Lahore: Ahmadiyah Anjuman Isha'at Islam,
1959), hlm. 17.
8 Donaldson, op.cit., hlm. 32.
9 Ibnul-Asir, al-Kamil fit-Tarikh, vol II,
(Darus-Sadir, 1965), hlm. 317.
10 Syed Amir 'Ali, Api Islam, terj. HB. Jassin,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 471.
11 Donaldson, op. cit., hlm. 55.
12 Syarafuddin al-Musawi, Dialog Sunnah dan Syi'ah,
terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1983), hlm. 140.
13 Muhammad Abu Zahrah, Tarikhul-Mazahibul-Islamiyyah,
vol. I, (Daril Fikril-'Arabi, tt), hlm. 36.
14 Fajrul-Islam, op. cit., hlm. 266-7.
15 Pada prinsipnya kaum Syi'ah tidak: mau mengakui golongan
Saba'iyyah sebagai sektenya, tetapi kaum Sunni pada umurnnya
memandang golongan Saba'iyyah sebagai Syi'ah.
16 Ihsan Ilahi Zahir, asy-Syi'ah wat-Tasyayyu selanjutnya
disebut asy-Syi'ah (Lahore: Iradah Tarjumann as-Sunnah,
1984), hlm. 163.
17 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago and London: University of
Chicago Press, 1977), hlm. 171.
18 Asy-Syiah, op.cit., hlm. 186.
19 Ibid., hlm. 187.
20 Ahmad Syalabi, Mausu'atut-Tarikhul-Islami
wal-Hadaratul-Islamiyyah, vol. II, (Qahirah: Maktabah
an-Nahdatul-Mõsriyyah, 1978), hlm. 147-8.
21 Al-Mahdi Lidinillah Ahmad, op. cit., hlm. 82.
22 Abul-Fath 'Abdul-Karim asy-Syahrastani, selanjutnya
disebut asy- Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, (Beirut:
Darul-Fikr, tt.), hlm. 149.
23 Ibid., hlm. 151.
24 Duhal Islam III, op. cit., hlm. 271-2.
25 Abdur Rahman ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun,
selanjutnya disebut Ibn Khaldun, (Darul-Fikr, tt.),
hlm. 200.
26 Ibid., hlm. 162.
27 'Ali adalah satu-satunya putera Husain yang selamat dari
pembantaian tentara Yazid, sewaktu Husain terbunuh di padang
Karbela Sikapnya yang pemurung dan sesing menangis karena
teringat mendiang ayahnya, maka ia memusatkan aktivitasnya
pada ibadah, oleh karenanya ia dijuluki dengan [kata-kata
Arab]. Pengikut aliran ini kemudian membuat cerita fiksi
bahwa 'Ali sewaktu remajanya pernah pergi ke Hajar al-Aswat
bersama Muhammad ibn al-Hanafiyyah, keduanya untuk meminta
petunjukTuhan, siapa diantara keduanya yang lebih berhak
menjadi imam. Saat 'Ali ibn Husain berdoa, terguncanglah
Hajar al-Aswad itu, sebagai pertanda bahwa dirinyalah yang
lebih berhak menjadi imam sesudah ayahnya.
28 Donaldson, op. cit., hlm. 123.
29 Asy-Syi'ah, op. cit., hlm. 216.
30 Aliran Huramiyah ini membolehkan pengikutnya hidup
bergelimang dalam kesenangan dan kemewahan serta membebaskan
pengikutnya dari segala macam kewajiban. Aliran ini juga
dikenal dengan al-Babikiyyah, pemimpirmya terbunuh dalam
pemberontakan melawan pemerintahan al-Mu'tasim dari dinasti
'Abbasiyyah.
31 Al-Mahdi Lidinillah Ahmad, op. cit., hlm.96-7.
32 Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 175-6.
33 As-Syi'ah. op. cit., hlm. 235.
34 Muhammad Abu Zahrah, op. Cit., hlm. 62-3.
35 Ahmad Syalabi, op. Cit., hlm. 190.
36 Asy-Syahrastani. op. cit., hlm. 170.
37 Gibb dan Kramers, eds., op. cit., hlm. 188.
38 Donaldson, op. Cit., hlm. 305-6.
39 As-Syi'ah, op. Cit., hlm. 362.
40 Fajrul-Islam, op. cit., hlm. 270.
41 Duhal-Islam, III, op. cit., hlm. 218.
42 Muhammad Aba Zahrah, op. cit., hlm. 239.
43 Asy Syi'ah, op. cit., hlm. 352.
44 Muhammad al-Bahi, al-Janibul-Ilahi min Tafkiril-Islami,
(Qahirah: Daru Ihya'il-Kutubil-'Arabiyyah, 'Isa al-Babi
al-Halabi, 1948), hlm. 88.
45 Ibid, hlm. 88-9.


-------------------------------------------------


Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Edisi 1 Cetakan 1 (1994)
PT. RajaGrafindo Persada
Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15
Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai
Jakarta Utara 14240