Friday, July 16, 2010

Bincang-Bincang Soal Beda Madzhab ( Bag.3/3 )

Lanjutan diskusi bagian akhir ...



From: "Abu Al Fatih"

To: ums@bumi.net.id, nhosen@metz.une.edu.au, spt@indosat.co.id

Cc: abu_fatih@hotmail.com

Subject: Re: Bincang Bincang Soal Beda Madzhab

Date: Thu, 15 Oct 1998 02:46:46 PDT



Assalamu 'alaikum wr.wb.



Ehm,

Rupanya suasana sudah mulai menghangat nih … Dari soal beda madzhab, merembet ke masalah "IAIN dan Non-IAIN", lalu menyinggung "Asas Tunggal", juga menyentuh soal "gaji untuk membuat fatwa" (yang tampaknya agak - ehm - "mengguncang" sensitivitas Mas Hosen) serta soal "Ilmuwan dan Raushan Fikr"nya Ali Syariati, lalu ke "tragedi filsafat", dst. Bahasa Mas Hamzah memang betul-betul telah mengingatkan saya pada suasana di "jalanan" ; "hangat" dan terkadang agak "membakar" …



Kadang saya berpikir,

Untuk menolak pendekatan yang mengarah pada pola peng-kutub-an / polarisasi ketika kita "sekedar" membahas perbedaan internal dalam tubuh ummat Muhammad ini (yang sama sepakat dengan Syahadat yang dua itu beserta segala konsekuensinya), apalagi bila itu terjadi di tataran praktis dan melibatkan massa "grass root" dalam jumlah yang besar. Saya berhitung Cost-nya pasti akan lebih besar dari Benefit-nya …(ini bahasa akuntan, katanya)



Mengacu pada tulisan saya "Ta'ashub, Ghuroba dan Khilafiyah" itu,

Maka saya lebih cenderung pada pendekatan Tajammu wa Tasamuh (atau Al-Jam'u wa Tawaquf, kata Mas Hosen), ketimbang melakukan Tarjih. Konsentrasi, waktu dan tenaga kita hendaknya lebih banyak diarahkan untuk mencari "titik persamaan" (selanjutnya menjadi "bidang persamaan", yang menjadi landasan amal bersama) dan kemudian bersikap tolerans pada hal-hal yang tidak / belum disepakati.



Namun dalam forum japri-an ini,

"dinamika" dalam meng-ekspresi-kan perbedaan pendapat itu memang boleh jadi diperlukan, untuk memecahkan kebekuan, dan membuat suasana jadi lebih "hangat". Ekspresi "spontan" kita ketika menerima terpaan informasi atau argumentasi tertentu (apalagi bila diskusi-nya berlangsung di satu majlis dengan berhadap-hadapan muka), akan membuat kita lebih saling mengenal karakter dasar masing-masing. Dan ini saya kira merupakan salah satu modal ukhuwwah yang cukup penting.



Kembali ke tema diskusi,

Saya kurang setuju bila kita mempertajam isu IAIN dan Non-IAIN, sama seperti saya kurang setuju mempolarisasikan antara Islam Fundamentalis dengan Islam Moderat (lihat tulisan "Ta'ashub, Ghuroba dan Khilafiyah"). Isu-isu semacam ini saya pikir lebih berpotensi menimbulkan hambatan ber-ukhuwwah Islamiyah ketimbang sebaliknya. Jadi saya sarankan isu yang ini dicukupkan saja dan tidak dikembangkan lebih lanjut.



Tentang Asas Tunggal,

Hmmmm …. (jadi ketularan Mas Hosen nih), ini menyangkut soal "Siyasah Syar'iyah" (siasat / politik) atau masalah "Aqidah" (keyakinan final) ? Untuk yang kedua, saya pikir kita "sepakat" menolak astung. Untuk yang pertama (siasat / politik), mungkin akan timbul berbagai "metode" dalam proses membentuk baldatun thoyibatun wa robbun ghofur ini (Mas Hamzah masih ingat "diskusi" kita soal "Journey to Khilafah ; How long will itu take" ? Tema ini sudah sempat saya singgung di sana. Mas Hosen dan Mas Nurfarid masih punya filenya ? Ada di ML-Isnet Archive yang bulan Agustus kalau ndak salah saya).



Tentang "gaji mufti" dan "ilmuwan kontra rausan fikr",

Wah ini cukup "menyengat" Mas Hosen rupanya. He he he. Sabar tho Mas Hosen. Bukankah Mas Hamzah sudah mengikuti diskusi kita sebelumnya yang menyangkut "masalah sensitif" ini ? Mas Hamzah ini kelihatannya memang sedang "menggoda" Mas Hosen. Tapi saya pikir kita perlu juga sesekali meng-konsumsi bahasa-bahasa yang "menggugah" seperti ini (dan Ali Syari'ati memang dikenal sebagai tokoh pemikir (Syi'ah) yang tulisannya cukup "menggugah semangat" dan "kesadaran nalar").



Terakhir soal "tragedi filsafat",

Saya tertarik mengikuti lontaran-lontaran Mas Hamzah dan Mas Hosen mengenai masalah ini. Sepertinya ada "missing link" nih. Kelihatannya di japri-an terdahulu antara Mas Hamzah dan Mas Hosen masalah ini juga sudah sempat disinggung, dan komentar di japri-an yang sekarang adalah semacam kelanjutannya. Bener nggak tebakan saya ? Kalau bener, cerita-cerita sedikit dong tentang "back ground" nya, supaya komentar saya bisa "nyambung" ke isu "tragedi filsafat" ini.



Sementara ini,

Sikap saya sendiri tentang isu "tragedi filsafat" itu agak condong ke pemikiran Mas Hamzah nih (ini bukan karena sama-sama "Non-IAIN" lho Mas Hosen). Meski tidak se"kenyang" Mas Hamzah, saya pun - di suatu masa dalam perjalanan hidup saya - sempat mampir di "dunia filsafat" ini. Pak Ahmad Tafsir adalah salah seorang yang sempat mengenalkan saya pada dunia filsafat ini, disamping lewat literatur / buku-buku. Dulu di ML-Isnet, saya pernah menulis tentang masalah ini (di bawah subject "Kajian Filsafat ; Wa maa yattabi'u aktsaruhum illaa zhonnaa").

Ada satu buku tulisan Sayid Quthb yang menguraikan tentang "posisi" berbagai aliran filsafat - Timur dan Barat - dalam pandangan Islam. Saya lupa judul asli-nya, tapi edisi terjemahan yang diterbitkan Pustaka Salman ITB kalau ndak salah berjudul "Karakteristik Konsepsi Islam". Mungkin buku ini dapat menjadi salah satu referensi dalam "memahami" filsafat.



Wallahu a'lam …



Wassalam



Abu Al Fatih



Date: Tue, 22 Oct 1996 12:38:09 +0700

From: Hamzah

To: Abu Al Fatih

Subject: Bincang-Bincang Soal Beda Madzhab



Abu Al Fatih wrote:



> Assalamu 'alaikum wr.wb.

>

> Ehm,

> Rupanya suasana sudah mulai menghangat nih … Dari soal beda madzhab,

> merembet ke masalah "IAIN dan Non-IAIN", lalu menyinggung "Asas

> Tunggal", juga menyentuh soal "gaji untuk membuat fatwa" (yang tampaknya

> agak - ehm - "mengguncang" sensitivitas Mas Hosen) serta soal "Ilmuwan

> dan Raushan Fikr"nya Ali Syariati, lalu ke "tragedi filsafat", dst.

> Bahasa Mas Hamzah memang betul-betul telah mengingatkan saya pada

> suasana di "jalanan" ; "hangat" dan terkadang agak "membakar" …



Assalaamu'alaikum wr.wb.



Akhi Abu al Fatih, akhi Nardisyah dan akhi Saptadi rahimakumullah; saya mungkin menghayati persoalan umat islam di Indonesia agak lain dengan antum, sehingga saya belum tertarik dengan pembahasan yang sudah berbau teknis berkenaan dengan ijtihad atau turunannya.



Titik api perhatian saya adalah pada hubungan yang seharusnya terjadi anta-ra "ulama" dan "masyarakat islam". Bagi saya sebagian besar ulama telah membangun dunia tersendiri yang tidak dipahami oleh dan terpisah dari gerak masyarakat islam, sehingga menyebabkan masyarakat islam hanya memiliki sejengkal kayu saja untuk mengukur kedalaman sungai mereka. Tetapi sebaliknya kondisi ini juga membuat para ulama hanya memiliki sejengkal kayu juga untuk mengukur kedalaman sungai yang dimiliki oleh masyarakat islam. Mereka bagi saya tidak cukup mengerti "nurani" masyarakat islam, karena mereka memang tidak aktif mendidik "nurani" masyarakat islam. Akhi Nardisyah sendiri sebetulnya telah mengindikasikan hal ini kan? Mungkin bahasa saya memang lebih dramatis!!! Bahasa "jalanan" khan



Untuk akhi Abu Al Fatih: bukankah posisi yang dimiliki oleh Yusuf Qardhawi saat ini tidak lepas dari kerja keseluruhan IM yang dimulai oleh Hasan al Banna rahimahullah untuk secara aktif mendidik masyarakat islam mesir kembali kepada semangat hidup di bawah naungan al Qur'an. Semangat inilah yang sebenarnya membuat mereka "secara sukarela" terikat dengan fatwa-fatwa ulama IM, termasuk akhi sendiri merasa perlu untuk mengakui bermadzhab "Qardhawi". Ingat bagaimana ketika mereka diberi fatwa untuk berjihad melawan Israel, maka sungguh mereka berbondong-bondong berangkat untuk mencari syahid, sehingga mereka menjadi lawan yang paling "nggegirisi" bagi tentara Israel.



Nah ulama-ulama kita kok rasanya belum melakukan kerja rintisan semacam yang dilakukan Hasan al Banna, mereka kan langsung meloncat ke kerja membuat fatwa. Karena masyarakat islam merasa bahwa semangat pemerintah pada dasarnya adalah membentuk negara sekuler yang tiranik dan korup, maka fatwa ulama - yang meskipun didasarkan pada pluralitas fikih yang benar - ya sering dianggap nyleneh karena dianggap memiliki semangat yang sama. Kasus Porkas, KB, Dancow, Asas Tunggal, dll., adalah dipahami dengan sudut pandang seperti itu.



Mari kita coba menghayati fatwa Imam Nawawi berikut ini untuk sedikit memberi kejelasan terhadap apa yang saya rasakan atau masyarakat islam rasakan:



Tatkala tentara Tartar menyerbu negeri Syam, Zhahir Brebes berkata, "Saya menghendaki fatwa dari kalian wahai ulama agar saya dapat menghimpun dana untuk membeli senjata guna menghadapi bangsa Tartar". Maka seluruh ulama memberikan fatwa seperti yang diminta oleh Zhahir Brebes [coba kita kaji apakah fatwa tersebut salah?] kecuali seorang, dia adalah Imam Nawawi. Zhahir bertanya, "Mana tanda tangan Imam Nawawi?" Mereka menjawab, "Dia menolak memberi tanda tangan". Lalu Zhahir mengutus seseorang untuk menjemputnya. Setelah Imam Nawawi datang Zhahir bertanya: "Mengapa anda mencegah saya mengumpulkan dana untuk mengusir serangan musuh. Serangan orang kafir orang-orang kafir terhadap kaum muslimin?" Maka Imam Nawawi menjawab, "Ketahuilah, dahulu engkau datang pada kami hanya sebagai budak. Dan sekarang saya melihatmu mempunyai banyak istana, pelayan lelaki dan wanita, emas, tanah dan perkebunan. Jika semua itu telah engkau jual untuk membeli senjata, kemudian sesudahnya engkau masih memerlukan dana untuk mempersiapkan pasukan muslimin, maka akan memberikan fatwa itu kepadamu." Zhahir amat marah mendengar ucapan Imam Nawawi, maka ia berkata, "Keluarlah engkau dari negeri Syam." Lalu beliau keluar dari Syam dan menetap di rumahnya yang asli di desa Nawa.



Nah mohon akhi Nadirsyah jangan menanggapi secara emosional ketika saya menyinggung-nyinggung status kelas ulama nih; sampe-sampe harus pakai:



Boleh jadi akhi Hamzah benar dan apa yang saya tulis ini hanyalah omongkosong belaka dari seorang murid "orientalis" dan murid "filosof barat".



> Kadang saya berpikir,

> Untuk menolak pendekatan yang mengarah pada pola peng-kutub-an /

> polarisasi ketika kita "sekedar" membahas perbedaan internal dalam tubuh

> ummat Muhammad ini (yang sama sepakat dengan Syahadat yang dua itu

> beserta segala konsekuensinya), apalagi bila itu terjadi di tataran

> praktis dan melibatkan massa "grass root" dalam jumlah yang besar. Saya

> berhitung Cost-nya pasti akan lebih besar dari Benefit-nya …(ini bahasa

> akuntan, katanya)

>

> Mengacu pada tulisan saya "Ta'ashub, Ghuroba dan Khilafiyah" itu,

> Maka saya lebih cenderung pada pendekatan Tajammu wa Tasamuh (atau

> Al-Jam'u wa Tawaquf, kata Mas Hosen), ketimbang melakukan Tarjih.

> Konsentrasi, waktu dan tenaga kita hendaknya lebih banyak diarahkan

> untuk mencari "titik persamaan" (selanjutnya menjadi "bidang persamaan",

> yang menjadi landasan amal bersama) dan kemudian bersikap tolerans pada

> hal-hal yang tidak / belum disepakati.

>

> Namun dalam forum japri-an ini,

> "dinamika" dalam meng-ekspresi-kan perbedaan pendapat itu memang boleh

> jadi diperlukan, untuk memecahkan kebekuan, dan membuat suasana jadi

> lebih "hangat". Ekspresi "spontan" kita ketika menerima terpaan

> informasi atau argumentasi tertentu (apalagi bila diskusi-nya

> berlangsung di satu majlis dengan berhadap-hadapan muka), akan membuat

> kita lebih saling mengenal karakter dasar masing-masing. Dan ini saya

> kira merupakan salah satu modal ukhuwwah yang cukup penting.

>

> Kembali ke tema diskusi,

> Saya kurang setuju bila kita mempertajam isu IAIN dan Non-IAIN, sama

> seperti saya kurang setuju mempolarisasikan antara Islam Fundamentalis

> dengan Islam Moderat (lihat tulisan "Ta'ashub, Ghuroba dan Khilafiyah").

> Isu-isu semacam ini saya pikir lebih berpotensi menimbulkan hambatan

> ber-ukhuwwah Islamiyah ketimbang sebaliknya. Jadi saya sarankan isu yang

> ini dicukupkan saja dan tidak dikembangkan lebih lanjut.



Yeep saya setuju sekali, seperti uraian di atas titik api perhatian saya adalah pada fungsi para ulama di dalam membuat fatwa, yakni analisis tentang bagaimana seharusnya hubungan ulama dengan masyarakat islam.



> Tentang Asas Tunggal,

> Hmmmm …. (jadi ketularan Mas Hosen nih), ini menyangkut soal "Siyasah

> Syar'iyah" (siasat / politik) atau masalah "Aqidah" (keyakinan final) ?

> Untuk yang kedua, saya pikir kita "sepakat" menolak astung. Untuk yang

> pertama (siasat / politik), mungkin akan timbul berbagai "metode" dalam

> proses membentuk baldatun thoyibatun wa robbun ghofur ini (Mas Hamzah

> masih ingat "diskusi" kita soal "Journey to Khilafah ; How long will itu

> take" ? Tema ini sudah sempat saya singgung di sana. Mas Hosen dan Mas

> Nurfarid masih punya filenya ? Ada di ML-Isnet Archive yang bulan

> Agustus kalau ndak salah saya).



Ya ... proyek saya kan jelas berkenaan dengan itu, dan saya rasanya tidak sektarian, apalagi menafikkan kelompok-kelompok lain, yang mungkin bukan kelompok saya. Eh ... kelompok saya apa sih ... oya saya madzhab "hadist shahih". Eh ... di sini saya jelas lain dengan akhi Nardisyah; saya kan termasuk yang mencita-citakan madinah islamiyah dan khilafah islamiyah ... padahal kan akhi Nadirsyah tidak begitu (sudah selesai kan). Saya yakin saya yang benar kok ... sekalian saja nih ... kan menurut akhi Nadirsyah saya orangnya "galak" ... jadi saya "gigit" sekalianlah saja lah.



> Tentang "gaji mufti" dan "ilmuwan kontra rausan fikr",

> Wah ini cukup "menyengat" Mas Hosen rupanya. He he he. Sabar tho Mas

> Hosen. Bukankah Mas Hamzah sudah mengikuti diskusi kita sebelumnya yang

> menyangkut "masalah sensitif" ini ? Mas Hamzah ini kelihatannya memang

> sedang "menggoda" Mas Hosen.

> Tapi saya pikir kita perlu juga sesekali meng-konsumsi bahasa-bahasa

> yang "menggugah" seperti ini (dan Ali Syari'ati memang dikenal sebagai

> tokoh pemikir (Syi'ah) yang tulisannya cukup "menggugah semangat" dan

> "kesadaran nalar").



Ngomong-ngomong kita termasuk rausyanfikr endak ya??



> Terakhir soal "tragedi filsafat",

> Saya tertarik mengikuti lontaran-lontaran Mas Hamzah dan Mas Hosen

> mengenai masalah ini. Sepertinya ada "missing link" nih. Kelihatannya di

> japri-an terdahulu antara Mas Hamzah dan Mas Hosen masalah ini juga

> sudah sempat disinggung, dan komentar di japri-an yang sekarang adalah

> semacam kelanjutannya. Bener nggak tebakan saya ? Kalau bener,

> cerita-cerita sedikit dong tentang "back ground" nya, supaya komentar

> saya bisa "nyambung" ke isu "tragedi filsafat" ini.



Oh .. oh ... nothing happened kok. Sumprit deh ...



> Sementara ini,

> Sikap saya sendiri tentang isu "tragedi filsafat" itu agak condong ke

> pemikiran Mas Hamzah nih (ini bukan karena sama-sama "Non-IAIN" lho Mas

> Hosen). Meski tidak se"kenyang" Mas Hamzah, saya pun - di suatu masa

> dalam perjalanan hidup saya - sempat mampir di "dunia filsafat" ini. Pak

> Ahmad Tafsir adalah salah seorang yang sempat mengenalkan saya pada

> dunia filsafat ini, disamping lewat literatur / buku-buku. Dulu di

> ML-Isnet, saya pernah menulis tentang masalah ini (di bawah subject

> "Kajian Filsafat ; Wa maa yattabi'u aktsaruhum illaa zhonnaa").

>

> Ada satu buku tulisan Sayid Quthb yang menguraikan tentang "posisi"

> berbagai aliran filsafat - Timur dan Barat - dalam pandangan Islam. Saya

> lupa judul asli-nya, tapi edisi terjemahan yang diterbitkan Pustaka

> Salman ITB kalau ndak salah berjudul "Karakteristik Konsepsi Islam".

> Mungkin buku ini dapat menjadi salah satu referensi dalam "memahami"

> filsafat.



Yahh itu salah satu buku yang membuat saya sadar tentang hakikat filsafah. Dalam buku itu juga diterangkan kendala mengapa umat islam sulit memahami al Qur'an; bukan karena kurangnya sarana tetapi karena kurangnya tindakan. Gimana menurut akhi Abu al Fatih.



Eeh gimana nich saya nampaknya sudah merusak iklim diskusi yang sejuk-sejuk saja menjadi agak hot dan menjadi senggol kanan senggol kiri. Kalau tidak berkenan saya di BCC saja lah. Saya seneng kok dapat ilmu dari antum sekalian.



Akhi Nardisyah sibuk sekali ya? ... kok sampai tidak sempat jawab pertanyaan

saya tentang:



1. Waktu mu'aridhah

2. Waktu isti'naf

3. Waktu naqdhi

4. Waktu iltimasu i'adatin nazhar



Saya nanya beneran lho akhi Nadirsyah ... tidak bermaksud apa-apa kok. Saya ini orangnya sebetulnya ramah dan lucu kok ... mahasiswa saya saja pada seneng sama saya. Sumprit lho!!



Wassalaamu'alaikum wr.wb.

Hamzah





From: "Nadirsyah Hosen"

To: "Hamzah" , "Abu Al Fatih"

Cc:

Subject: Re: Bincang Bincang Soal Beda Madzhab

Date: Mon, 19 Oct 1998 23:59:42 +1000



Hamzah wrote:

>

> Akhi Abu al Fatih, akhi Nardisyah dan akhi Saptadi rahimakumullah; saya

mungkin

> menghayati persoalan umat islam di Indonesia agak lain dengan antum,

sehingga

> saya belum tertarik dengan pembahasan yang sudah berbau teknis berkenaan

dengan

> ijtihad atau turunannya.



Nadir:

Yup, inilah letak perbedaan kita yang utama. Anak IAIN lebih senang mengotak-atik hal-hal begituan....sementara anak non-IAIN selalu menampil-kan tema-tema persis spt yang akhi Hamzah sampaikan. Saya setuju ini jangan dipertentangkan, bagusnya kedua pihak ini saling mau mendengar dan mau berdialog soal ini. Alhamdulillah inilah yg sudah kita lakukan, terlepas dari setuju atau tidak setuju.



Mengenai yang akhi Hamzah tanyakan saya kesulitan menjawabnya, baik karena terbatasnya rujukan, waktu dan (ini yg lebih penting) kemampuan. Buku usul al-Fiqh apa yang akhi sedang baca sampai menemukan istilah-istilah itu? Apakah ada hubungannnya dg masalah niat? Soalnya buku usul al-fiqh yg sempat saya bawa ke Armidale ini tidak membahas topik yg akhi tanyakan. Mungkin nanti kalau pulang ke rumah, bisa saya lacak lagi.



Mengenai al-Furuq karya al-Qarafi saya memilikinya di Indonesia walaupun tidak terlalu tertarik. Setahu saya ini kitab ttg qawaid fiqhiyah. hal apa yg menarik dr kitab itu sampai akhi Hamzah menganjurkan saya membacanya? Mungkin saya jadi tertarik membacanya lagi nanti di Indonesia. Sementara itu Imam al-Qarafi sendiri menulis satu kitab usul al-fiqh yg bagus. Judulnya (kalau tak salah ingat) Syarh Tanqih al-Fusul. Apa akhi sedang membaca kitab ini?



Utk tidak kelihatan terlalu pasif dalam diskusi ini saya kirimkan tulisan di homepage saya di bawah ini. Mohon maaf kalau kalimat-kalimat saya di mail lalu membuat akhi Hamzah bersedih hati atau merasa kesal. Mungkin saya terlalu muda....sehingga pilihan kalimat saya kurang pas atau boleh jadi saya lupa bahwa komunikasi lewat email sering menimbulkan salah paham.



salam,

=nadir=



Date: Mon, 19 Oct 1998 22:47:00 +0700

From: Hamzah

To: Nadirsyah Hosen

CC: Abu Al Fatih , spt@indosat.co.id

Subject: Re: Bincang Bincang Soal Beda Madzhab



Nadirsyah Hosen wrote:



> Yup, inilah letak perbedaan kita yang utama. Anak IAIN lebih senang

> mengotak-atik hal-hal begituan....sementara anak non-IAIN selalu

> menampilkan tema-tema persis spt yang akhi Hamzah sampaikan. saya setuju

> ini jangan dipertentangkan, bagusnya kedua pihak ini saling mau mendengar

> dan mau berdialog soal ini. Alhamdulillah inilah yg sudah kita lakukan,

> terlepas dari setuju atau tidak setuju.



Assalaamu'alaikum wr.wb.



Pandangan dan sikap saya sebenarnya sama dengan akhi Nadir. Itulah mengapa saya merasa bebas bicara apa saja, karena tulisan saya tidak saya tujukan secara khusus kepada siapapun, juga tidak dilandasi kebencian atas golongan yang manapun. Jadi tidak ada tendensi apa-apa, kecuali meng-ungkapkan apa yang saya rasakan atau pahami.



Kondisi kita sebenarnya sama kok akhi Nadir. Dulu ketika saya kuliah dosen-dosen dan teman-teman saya (mayoritas) juga bersikap sama seperti "anak-anak IAIN" berkenaan dengan disiplin ekonomi. Mayoritas tidak tertarik dengan bahasan "politik" ataupun "sosiologis" yang berbau tanggung jawab melakukan "perubahan sosial", mereka lebih tertarik untuk mempelajari dengan baik segala alat analisa ekonomi (terutama statistik dan ekonometrika ) dan kemudian menggunakannya untuk memberi "fatwa" berkenaan dengan masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia.

Hasilnya seperti yang kita rasakan saat ini (krisis), ini bagi kami yang minoritas hanya merupakan bukti kebenaran dari sikap lain kami selama ini (saya kuliah 1985-1991); kami sudah ingatkan "keterjebakan" mayoritas tersebut dan dalam berbagai kesempatan kami juga telah ingatkan akan akhir yang buruk ini, tapi apalah artinya kami - golongan minoritas dan lagi hanya mahasiswa sementara mereka adalah para doktor ("ulama"?) kan. Di mata saya segala peristiwa tersebut saya namakan sebagai "tragedi para ilmuwan". Saya tidak tahu apakah moment ini cukup menyadarkan mereka ataukah tidak. Insya Allah saya akan bisa mengevaluasinya, karena saya akan kembali ke kampus untuk mengambil S2; saya sebetulnya ingin ke Islamic International University Malaysia, sayang kemarin saya terlambat daftarnya sehingga kalau tetap ingin di IIU saya baru bisa masuk kuliah paling cepat September 1999 - rugi waktu kan. Oya doain saya nih biar bisa istiqamah mencari ilmu, soalnya saya ini tipenya "pemberontak".



Nah kalau akhi Nadir sendiri gimana, berkenaan dengan disiplin "agama" yang akhi tekuni; saya sendiri - kalau boleh ikut merasakan - kok rasanya tragedi yang sama juga terjadi sih ... tapi tidak taulah.



Bagi saya, saya mesti cukup jujur untuk mengakui bahwa saya pun termasuk pihak yang ikut serta di dalam menciptakan krisis ini, dan dengan demikian saya ingin berubah.



> Mengenai yang akhi Hamzah tanyakan saya kesulitan menjawabnya, baik karena

> terbatasnya rujukan, waktu dan (ini yg lebih penting) kemampuan. Buku usul

> al-Fiqh apa yang akhi sedang baca sampai menemukan istilah-istilah itu?

> Apakah ada hubungannnya dg masalah niat? Soalnya buku usul al-fiqh yg

> sempat saya bawa ke Armidale ini tidak membahas topik yg akhi tanyakan.

> Mungkin nanti kalau pulang ke rumah, bisa saya lacak lagi.



Saya baca Ushul Fiqih Prof. M. Abu Zahrah; pada hal yang saya tanyakan saya memang kesulitan untuk memahami secara utuh.



> Mengenai al-Furuq karya al-Qarafi saya memilikinya di Indonesia walaupun

> tidak terlalu tertarik. Setahu saya ini kitab ttg qawaid fiqhiyah. hal apa

> yg menarik dr kitab itu sampai akhi Hamzah menganjurkan saya membacanya?

> Mungkin saya jadi tertarik membacanya lagi nanti di Indonesia. sementara

> itu Imam al-Qarafi sendiri menulis satu kitab usul al-fiqh yg bagus.

> Judulnya (kalau tak salah ingat) Syarh Tanqih al-Fusul. Apa akhi sedang

> membaca kitab ini?



Saya bisa sebutkan judul tersebut karena membaca buku Yusuf Al Qardhawi berjudul "As-Sunnah Sebagai Sumber Iptek dan Peradaban" [eh akhi Abu Fatih saya juga sering baca al Qardhawi lho ya ... jadi madzhab saya berarti madzhab "kutu loncat" nih ]. BTW dalam buku itu ketika membahas tentang sunnah yang bernilai tasyri' atau non tasyri' Yusuf Qardhawi salah satunya memuji ke dua buku tersebut sebagai karya yang baik berkenaan dengan hal tersebut.



Sedikit diuraikan dalam buku tersebut sunnah Nabi SAW memang memiliki konsekuensi tasyri' yang berbeda tergantung kepada fungsi yang sedang dilaksanakan Rasulullah, dan akibatnya para ulama sering berbeda pendapat dalam membuat fatwa karena berbeda di dalam memandang fungsi yang sedang dilaksanakan Rasulullah, meskipun sunnah yang dirujuk sama.



Nah dari uraikan tersebut saya punya gagasan bahwa salah satu cara untuk menyelesaikan perbedaan adalah dengan jalan mewakili fungsi Rasulullah secara sosiologis. Misalnya dengan membentuk lembaga peradilan yang djalankan oleh para ulama; dalam kasus yang demikian jelas nantinya fatwa ulama tersebut adalah mengikat, meskipun lingkupnya khusus. MUI sendiri sebenarnya bisa memiliki fatwa yang mengikat bila anggota MUI dianggap sebagai representasi yang representatif dari keragaman seluruh kelompok yang ada di Indonesia; sayangnya tidak begitu kan. MUI selama ini lebih dipahami sebagai representasi dari status quo di dalam mensikapi masalah keagamaan islam. Wallahua'lam bish showwab.



> Utk tidak kelihatan terlalu pasif dalam diskusi ini saya kirimkan tulisan

> di homepage saya di bawah ini. Mohon maaf kalau kalimat-kalimat saya di

> mail lalu membuat akhi Hamzah bersedih hati atau merasa kesal. Mungkin saya

> terlalu muda....sehingga pilihan kalimat saya kurang pas atau boleh jadi

> saya lupa bahwa komunikasi lewat email sering menimbulkan salah paham.



Saya sama sekali tidak ada masalah dengan tulisan akhi Nadir kok, jadi tidak ada yang perlu dimaafkan. Saya malah ketawa kalau membacanya, mosok belum apa-apa akhi sudah berprasangka bahwa saya akan mengganggap akhi Nadir ini pengikut orientalis dll. Saya sejak awal sudah menerima perbedaan kita, itulah mengapa saya kutipkan kata-kata Heraclitus. Tentang filsafat perennial saya juga sudah katakan "kerendahan hati lah yang membuat akhi menerima tetapi kerendahan hati pula yang membuat saya menolak". Jadi kenapa kita mesti harus memakai pilihan bahasa "benar-salah".



Tentang definisi Madzhab, saya setuju sepenuhnya, di Ekonomi kami juga punya beberapa madzhab.



Wassalaamu'alaikum wr.wb.

Hamzah