Friday, July 16, 2010

Bincang-Bincang Soal Beda Madzhab ( Bag.2/3 )

Lanjutan diskusi ...



From: Abu Al Fatih

Subject: Re: Undangan "Diskusi via Japri"

Assalamu 'alaikum wr.wb.

Mas Hamzah,

Saya - "mewakili" Mas Nadirsyah Hosen dan Mas Saptadi Nurfarid - ingin mengundang Mas Hamzah untuk Diskusi via Japri. Ini ceritanya lanjutan dari diskusi terdahulu di ML-Isnet soal Perennial itu. Mengikuti usulan Mas Hosen, akhirnya bincang-bincangnya dilanjutkan via japri, meski tema-nya diganti, jadi "Bincang-Bincang Soal Beda Madzhab". (lihat edisi lengkapnya di homepage saya, di index "Discussion Notes", di bawah judul "Bincang-Bincang Soal Beda Madzhab")

Karena kesibukan Mas Hosen (menjelang rencana "kunjungan" nya ke Jakarta awal Nopember ini, juga persiapan kelahiran putra pertamanya) dan juga padatnya aktivitas Mas Nurfarid di kantor, demikian juga dengan saya (yang sebentar lagi akan sibuk), maka jalannya diskusi sementara ini sedikit "lambat".

Untuk itu,

"kehadiran" Mas Hamzah dalam diskusi japri-an ini diharapkan dapat menyegarkan jalannya diskusi dengan masukan-masukan lain (termasuk mengusulkan tema-tema baru yang bisa jadi lebih baik).

Wassalam

Abu Al Fatih

NB.

Ditunggu lho Mas Hamzah

Date: Sat, 10 Oct 1998 17:39:16 +0700

From: Hamzah

To: Abu Al Fatih

CC: nhosen@metz.une.edu.au, spt@indosat.co.id

Subject: Re: Undangan "Diskusi via Japri"



Assalaamu'alaikum wr.wb.



Senang menerima Undangan ini, jazakumullah khairan katsira.



Saya sudah dolan ke rumah maya anta, tetapi belum sempat ngisi buku tamunya, saya langsung nyelonong ke arsip diskusi "perennial".



Senang berada di rumah tersebut, bila sempat ajari dong saya bagaimana membuat rumah semacam itu.



Tentang topik diskusi sementara saya ikut saja lah.



Untuk topik selanjutnya coba baca Forum Keadilan no. 13 Tahun VII, 5 Oktober 1998 reportase tentang Lia, ada sindiran yang menarik "Sebab di luar perkara hak waris dan perkawinan, hukum agama di Republik yang menganut hukum positif ini tak ubahnya pistol tanpa pelatuk; hanya bisa dipakai untuk menodong, bukan menembak". Akhi Nadir mungkin yang paling bisa menghayati hal ini, beliau kan berlatar belakang hukum islam.



Wassalaamu'alaikum wr.wb.

Hamzah

-----------------------------------------------------

See your wife, your children and all as God sees them free, upright, perfect ...





From: Abu Al Fatih

Subject: Lanjutan "Diskusi via Japri"



Assalamu 'alaikum wr.wb.



Untuk Mas Hamzah,

Terima kasih atas kunjungannya ke hp / "rumah maya" saya dan juga atas kesediaannya memenuhi "undangan" diskusi japri-an ini.



Tentang jalannya diskusi terakhir,

Saya muat di artikel "Bincang-Bincang Soal Beda Madzhab", sebagai kelan-jutan dari "Bincang-Bincang Soal Perennial" (Lay Out "rumah maya"nya saya ubah sedikit, sehingga catatan diskusi itu saya buat di index / link tersendiri, terpisah dari index Articles, begitu juga "Political Thought" (Pendidikan Politik di Indonesia) dan "Live Skill" (Pengembangan Keterampilan Pribadi) jadi file tersendiri. Lay out ini masih belum final, masih akan terus disempurnakan, insya Allah. Mas Hamzah sudah baca semuanya ?).

Bincang-bincang soal beda madzhab itu seingat saya "masih berhenti" pada lontaran pertanyaan saya tentang "5 agenda fiqih modern" dari Dr.Yusuf Al Qordhowi dan tentang kekuatiran menyusupnya aliran "relativisme" ke dalam semangat pluralitas / berbeda pendapat di dalam tubuh ummat Islam. Mas Hamzah ingin mengomentari tema terakhir itu … ?



Tentang topik yang diusulkan Mas Hamzah,

Saya belum baca majalah Forum Keadilan-nya. Apakah statement yang Mas Hamzah tulis itu juga merupakan pernyataan ibu Lia (Aminuddin ?) dalam rubrik reportase ? Atau itu merupakan artikel terpisah ? Saya sementara ini agak kurang berselera mengomentari fenomena Ibu Lia Aminuddin. Ulasan para ulama - dan juga teman-teman di ML-Isnet ini - saya anggap sudah tuntas menjawab fenomena Ibu Lia itu. Selanjutnya biarlah proses waktu yang memperjelas dimana "posisi" Ibu Lia ini yang sebenarnya …



Tapi terlepas dari itu,

Masalah yang ditimbulkan oleh gerakan "sekularisme" memang harus diakui berdampak sangat luas dalam berbagai sektor kehidupan. Dan ini tidak bisa dilihat hanya dari realitas hari ini saja. Ada back ground historis yang cukup panjang. Trauma sebagian (besar) ummat kristen kepada pendeta dan gereja di masa lalu, yang melahirkan berbagai revolusi di daratan eropa dan amerika, kemudian bermuara pada "prinsip sekulerisme" ; Berikanlah kepada Paus haknya (mengatur urusan keagamaan) dan berikanlah kepada Kaisar haknya (mengatur urusan keduniaan). Pada babak sejarah berikutnya, "kekalahan" yang diderita dunia Islam dalam pentas sosio-politik global dan regional, membuat mereka harus menerima pil pahit berupa diberlakukannya "prinsip sekularisme" itu di negeri-negeri Islam, hatta di negeri-negeri yang kemudian hari menyatakan "kemerdekaan" nya, seperti Indonesia ini. "Prinsip Sekularisme" itu sendiri dapat dibungkus dengan nama apa saja, namun esensinya tetap sama ; Dalam urusan "dunia" peran agama tetap marginal. Upaya menjadikan "agama" sebagai pilar utama dalam mengatur urusan "dunia", selalu akan berhadapan dengan barisan penjaga "Prinsip Sekularisme" ini. Dalam bentuk yang tidak se-vulgar kasus Aljazair, Turki dan Sudan, sebenarnya di seluruh kawasan dunia (Islam) barisan penjaga ini secara sistematis, ter-koordinir, dan "efektif" telah dan akan terus menerus (past present future continuous) melakukan langkah-langkah untuk menjaga terselenggaranya "Prinsip Sekularisme" ini dalam tatanan kehidupan "dunia".



Dalam konteks itulah kita melihat,

Bahwa kenyataan hukum agama (Islam ?) di Indonesia yang ibarat "pistol tanpa pelatuk" itu, bukanlah merupakan suatu hal yang "aneh". Bahkan termasuk dalam lingkup "hukum waris dan pernikahan" itu sendiri, hukum agama yang direpresentasikan oleh Lembaga Peradilan Agama tidak sungguh-sungguh memiliki "otoritas penuh" untuk menegakkan hukumnya, alias hampir identik dengan "pistol tanpa pelatuk" juga. Boleh jadi, "hukum adat" (= pengadilan massa, biasanya atas pelanggaran norma-norma etik-religius di masyarakat) jauh lebih "ditakuti" oleh pelanggarnya ketimbang hukum (di peradilan) agama.



Pada akhirnya kita menyadari,

Bahwa problem penegakan - wibawa dan efektivitas - hukum agama (Islam), bukanlah merupakan permasalahan yang "berdiri sendiri". Upaya menyusun suatu Rancangan UU berbasis Agama (Islam) yang lebih komprehensif dan menyangkut seluruh aspek kehidupan "dunia" adalah satu persoalan (mengingat betapa sulitnya ummat Islam dan para ulama nya untuk "sepakat" dan tetap bersatu dalam "keberagaman"). Padahal ia bukanlah satu-satunya persoalan dalam penegakan - wibawa dan efektivitas - hukum Islam. Ada berbagai agenda kerja (da'wah Islam) di sana ; bil-lisan, bil-tulisan, bil-cultural, bil-struktural, bil-maal, bil-jihad/qital, dll.



Jalan (memang) masih panjang … masih sangat panjang …

Tapi setiap langkah yang ditujukan ke arah sana

Insya Allah tidak akan pernah berarti "kesia-siaan" …

Walau sekecil apapun bentuknya …



Wallahu a'lam



Wassalam



Abu Al Fatih



NB.

Untuk Mas Hamzah,

Tentang pembuatan hp, saya masih taraf belajar nih. Saya lebih banyak otodidak (baca buku), tanya sana-sini, dan "try and error" / latihan. Ada satu buku yang saya anjurkan dibaca (karena bahasanya mudah dipahami dan cukup aplikatif) untuk pembuatan hp, judulnya "HTML - Publishing on the Word Wide Web " karangan Mac Bride, penerbit Kesaint Blanc. Sudah ada edisi terjemahan / bahasa Indonesianya).



========================================

Abu Al Fatih : http://members.tripod.com/~abu_fatih

========================================





Date: Tue, 13 Oct 1998 06:36:19 +0700

From: Hamzah

To: Abu Al Fatih

CC: nhosen@metz.une.edu.au, spt@indosat.co.id

Subject: Bincang-Bincang Soal Beda Madzhab



Assalaamu'alaikum wr.wb.



Saya sudah baca semua pendapat mas Abu Al Fatih, mas Nardisyah Hosen dan mas Saptadi Nurfarid.



Secara garis besar saya tidak memiliki keberatan. Berkenaan diri saya, saya memilih untuk tidak bermadzhab, mengambil semangat dari perkataan para imam madzhab itu sendiri, yang pada dasarnya menyatakan bahwa madzhabku adalah "hadist shahih." Bagi saya pribadi ini merupakan solusi untuk mencapai ukhuwah islamiyah, karena menurut saya justru aras inilah yang akan meluruhkan garis batas tegas yang telah dibuat oleh para "pengikut" madzhab besar.



BTW tentang uraian pemakaian hadist dhaif saya ok-ok sajalah. Oya ada yang bisa memberikan hitungan yang akurat untuk saya berkenaan dengan seberapa besar sebenarnya proporsi hadist-hadist di dalam Kutubussittah, yang peringkat keshahihannya dipersoalkan oleh ulama-ulama besar ahli hadist.



Tentang ijtihad jama'i; apa saat ini memang solusinya sudah harus seperti itu. Ada pertanyaan besar yang mestinya harus dijawab terlebih dahulu, "untuk siapakah hasil ijtihad jama'i tersebut." Muhammadiyah punya majelis tarjis, punya fatwa majelis tarjis tetapi toh anggota Muhammadiyah tidak pernah merasa terikat terhadap keputusan tersebut, dan senyatanya Muhammadiyah juga tidak punya kekuatan paksa untuk memaksa dijalankannya fatwa-fatwa tersebut. MUI juga begitu, punya fatwa tapi siapa yang menjalankan. Kasus Lia misalnya, fatwa MUI jelas ... tetapi setelah itu bagaimana kelanjutannya. Itulah mengapa FORUM menyatakan bahwa para ulama kita dengan berbagai lembaga dan segala kemampuan kepakarannya pada dasarnya adalah "pistol yang tanpa pelatuk" - bisa dipakai membidik tetapi tidak bisa untuk nge-DOR.



Saya menghayati benar tragedi kematian filsafat barat, yang kemudian menjadikan filosofnya hanya menjadi specialist di bidang ide yang tugas pokoknya adalah berpikir tetapi terpisah dari persoalan kehidupan yang riil. Saya takut bahwa konsep islam pun sebenarnya sedang kita matikan, sehingga ulamanya hanya menjadi sebuah profesi yang tugasnya hanya dan hanya memberi fatwa tentang suatu masalah yang disodorkan kepadanya untuk sejumlah gaji; tanpa perduli pada konteks dan medium apa fatwa tersebut diberikan - untuk sebuah masyarakat yang diarahkan untuk hidup di bawah naungan al Qur'an dengan konteks kepentingan yang bersifat islami, atau justru untuk sebuah masyarakat yang diarahkan untuk hidup melawan arahan al Qur'an dengan konteks kepentingan status quo yang non-islami.



Masalah kita saat ini - setidaknya menurut saya - adalah nidham yang tidak memiliki perangkat pelaksanaan, yakni suatu masyarakat yang siap hidup di bawah naungan al Qur'an. Rasanya ini yang perlu dikaji dahulu oleh setiap mereka yang mencintai islam.



Wassalaamu'alaikum wr.wb.

Hamzah





From: Saptadi Nurfarid

To: Abu Al Fatih , Hamzah ,

Nadirsyah Hosen

Subject: RE: Bincang-Bincang Soal Beda Madzhab

Date: Tue, 13 Oct 1998 20:12:36 +0700



Assalamu'alaikum Wr. Wb.



Wah seru juga, kalau Pak Hamzah sudah mulai nimbrung.

Saya setuju dengan Pak Hamzah itu, intinya ya kita terbuka atas semua madzab itu. Yah, kasus Indonesia saja, sebenarnya masyarakat kita juga tidak punya madzab tertentu. Saya kebetulan pernah mengikuti kajian itu. Kadang kita syafe'i, kadang ambil Hambali, kadang Hanafi dsb. Menilik sejarah perihidup keempat madzab itu sendiri, dua di antaranya pernah hidup dalam waktu yang bersamaan juga bisa saling menghormati dan kompromi. Itu kalau saya tidak salah.



Saya tertarik dengan pancingan "Pistol tanpa dor itu" Pak Hamzah ! Terus efektifnya gimana sih arahnya ? Kok nyatanya kita juga perlu mempertahan-kan itu. Apa lagi-lagi legimitasi ke kekuasaan menurut observasi Pak Hamzah selama ini ?



Kedua, dari segi kebebasan memilih itu, bagaimana kita bisa menciptakan Umat yang Satu, artinya bagi Umat yang awam, apakah ini tidak terlalu berat buat PR-nya untuk mewujudkan keterbukaan dalam perbedaan tetapi tetap bersatu. Jangankan Indonesia, di Muhammadiyah atau di tubuh NU sendiri, sulit lho menciptakan itu !



Bhineka Tunggal Ika-nya, dimana kita bisa implementasikan ? Mulai dengan apa ? Atau perlu sebuah symbol atau tanda gambar sama ? Atau bagaimana ? Atau jangan-jangan Bhineka Tunggal Ika itu abstrak juga ! Nglokro saya Pak

Hamzah kalau lagi-lagi kita menghadapi alasan abstrak.



Kalau Pak Hamzah teliti baca perbincangan kami bertiga,..kemarin sempat disinggung soal Pluritas kita...tapi entarlah, biar tidak terlalu lkuas yang ini dululah kita bahas... Monggo siapa duluan !



Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Saptadi Nurfarid

Waman ahsanu minallahi shibghah ?


Lihat "Respon Mas Hamzah



Subject: Re: Bincang-Bincang Soal Beda Madzhab

Date: Wed, 14 Oct 98 12:21:53 +1000

From: Nadirsyah Hosen

To: "Hamzah" , "Abu Al Fatih"

cc: ,



>Assalaamu'alaikum wr.wb.

>

>Saya sudah baca semua pendapat mas Abu Al Fatih, mas Nardisyah Hosen dan mas

>Saptadi Nurfarid.

>

>Secara garis besar saya tidak memiliki keberatan. Berkenaan diri saya, saya

>memilih untuk tidak bermadzhab, mengambil semangat dari perkataan para imam

>madzhab itu sendiri, yang pada dasarnya menyatakan bahwa madzhabku adalah

>"hadist shahih." Bagi saya pribadi ini merupakan solusi untuk mencapai

>ukhuwah

>islamiyah, karena menurut saya justru aras inilah yang akan meluruhkan garis

>batas tegas yang telah dibuat oleh para "pengikut" madzhab besar.



Akhi Hamzah,

Hmmm....Pernyataan para Imam mazhab itu telah dikeliruartikan.

Pernyataan itu seakan-akan ingin membenturkan pendapat a'immatul mazahib dg hadis shahih, sehingga jika ada hadis shahih maka tinggalkan pendapat mereka. pernyataan ini seakan-akan hendak mengatakan bahwa para Imam mazhab banyak yang tidak berpegang pada hadis shahih. Padahal pernyataan mereka harus dibaca sebagai bentuk kerendahan hati untuk mengakui bahwa pendapat mereka baru sampai pada tingkat Zhan; bukan qath'i. Pernyataan mereka seharusnya dibaca bahwa mereka secara terus menerus tidak berpegang secara statis pada pendapat mereka, mereka terus mencari dan bersedia merevisi pendapatnya serta mengakui kemungkinan kesalahan pendapat mereka.



Kalau akhi hamzah baca lagi tulisan saya "mengapa ulama berbeda pendapat", saya menulis bahwa salah satu pangkal perbedaan pendapat adalah karena terjadi perbedaan dalam memandang kriteria sebuah hadis itu mutawatir, shahih atau dha'if. Jadi, kalau akhi Hamzah mengatakan tidak bermazhab dan hanya berpegang pada hadis shahih, pertanyaannya, hadis shahih menurut kriteria siapa? Al-Albani boleh saja memandang dha'if hadis-hadis yang dipandang shahih oleh ulama lain, sebagaimana Al-Albani juga menshahihkan hadis-hadis menurut kriterianya. Namun kerja keras Al-Albani (semoga Allah membalasnya dg pahala yg berlimpah) ini tidak berarti menafikan perbedaan pendapat; dan tidak juga berarti menafikan adanya kriteria lain dari para ulama. Walhasil, berpegang pada hadis shahih tidak akan menghilangkan perbedaan pendapat dan juga tidak ada relevansinya dg

ukhuwah islamiyah, sebab menurut saya adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama sama sekali tidak menghilangkan ukhuwah islamiyah. Ukhuwah islamiyah bisa terjadi diantara keragaman pendapat selama umat islam memang siap bertoleransi dan tidak merasa dirinya benar sendiri. Sebaliknya, meskipun "berpegang pada hadis shahih" selama masih merasa benar sendiri dan tidak mau menerima perbedaan pendapat maka selama itu pula ukhuwah Islamiyah menjadi terancam.



>

>BTW tentang uraian pemakaian hadist dhaif saya ok-ok sajalah. Oya ada yang

>bisa

>memberikan hitungan yang akurat untuk saya berkenaan dengan seberapa besar

>sebenarnya proporsi hadist-hadist di dalam Kutubussittah, yang peringkat

>keshahihannya dipersoalkan oleh ulama-ulama besar ahli hadist.

>



Sayang saya bukan ahli hadis. Mungkin sobat lain bisa menjawabnya.



>Tentang ijtihad jama'i; apa saat ini memang solusinya sudah harus seperti

>itu.

>Ada pertanyaan besar yang mestinya harus dijawab terlebih dahulu, "untuk

>siapakah hasil ijtihad jama'i tersebut." Muhammadiyah punya majelis tarjis,

>punya fatwa majelis tarjis tetapi toh anggota Muhammadiyah tidak pernah

>merasa

>terikat terhadap keputusan tersebut, dan senyatanya Muhammadiyah juga tidak

>punya kekuatan paksa untuk memaksa dijalankannya fatwa-fatwa tersebut. MUI

>juga

>begitu, punya fatwa tapi siapa yang menjalankan. Kasus Lia misalnya, fatwa

>MUI

>jelas ... tetapi setelah itu bagaimana kelanjutannya. Itulah mengapa FORUM

>menyatakan bahwa para ulama kita dengan berbagai lembaga dan segala kemampuan

>kepakarannya pada dasarnya adalah "pistol yang tanpa pelatuk" - bisa dipakai

>membidik tetapi tidak bisa untuk nge-DOR.

>



Akhi Hamzah mencampuradukkan antara fatwa dg siyasah syar'iyah. Fatwa itu tidak mengikat. Kenapa? karena fatwa adalah bagian dari ijtihad. Jadi, Fatwa dari siapapun tidak mengikat. Ummat bebas memilih fatwa manapun yang mereka suka. Fatwa pun bisa direvisi karena adanya dalil yg lebih kuat atau adanya perubahan sosial. Fatwa memang tidak didesain untuk "nge-dor".



Sebaliknya siyasah syar'iyah justru memang berfungsi untuk "nge-dor". Anehnya, ini pun tidak ditaati oleh Ummat. Contoh: Penetapan 1 Syawal yg sering ribut itu seharusnya tidak terjadi kalau ummat memahami siyasah syar'iyah. Apa yang sudah diputuskan oleh pemerintah, setelah berkonsultasi dg semua ormas keislaman, haruslah dipatuhi dan bersifat mengikat. Hal ini sesuai dg kaidah "hukmul hakim ilzam wa yarfa' al-khilaf".



Sayangnya ada sementara pihak yg ingin fatwa itu mengikat, ada pula ummat

yang menginginkan keputusan pemerintah itu tidak mengikat. Seharusnya adalah fatwa itu tidak mengikat namun keputusan pemerintah itu mengikat.



Masalah ibu Lia dan fatwa MUI harus dilihat sbb: MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa ibu Lia itu sesat. Nah berdasarkan fatwa ini kejagung memanggil ibu Lia. Kalau dianggap memang meresahkan masyarakat maka kejagung bisa melarang kegiatan tsb. Saat ini ibu Lia sedang intensif diperiksa oleh Kejagung sbg tindaklanjut fatwa MUI. Ingat juga masalah Darul Arqam. MUI kasih fatwa, namun yang melarang adalah kejagung.



>Saya menghayati benar tragedi kematian filsafat barat, yang kemudian

>menjadikan

>filosofnya hanya menjadi specialist di bidang ide yang tugas pokoknya adalah

>berpikir tetapi terpisah dari persoalan kehidupan yang riil. Saya takut bahwa

>konsep islam pun sebenarnya sedang kita matikan, sehingga ulamanya hanya

>menjadi

>sebuah profesi yang tugasnya hanya dan hanya memberi fatwa tentang suatu

>masalah

>yang disodorkan kepadanya untuk sejumlah gaji;





Akhi Hamzah,

Tolong kalimat ini diperjelas maksudnya: sehingga ulamanya hanya menjadi sebuah profesi yang tugasnya hanya dan hanya memberi fatwa tentang suatu

masalah yang disodorkan kepadanya untuk sejumlah gaji....



Agar saya tak salah tangkap. Gaji apa maksudnya? ulama diberi gaji utk mengeluarkan fatwa? Ini pernyataan yang cukup tendesius lho......



Saya terus terang saja nggak paham apa maksudnya akhi Hamzah selalu mengungkap ttg filsafat barat ketika berdiskusi dg saya. Apakah akhi Hamzah hendak "menyerang" saya sebagai pengikut filsafat barat? Apakah akhi Hamzah hendak mengatakan bahwa pendapat saya terpengaruh filsafat barat? Saya terus terang saja tak pernah mau mengomentari hal ini karena, pertama, saya tidak pernah belajar filsafat secara khusus. saya ini dari fakultas syari'ah. Saya mengakui keterbatasan diri saya utk berkomentar di luar bidang saya (saat menulis ini saya melirik sekilas pada buku Bertrand Russel, "History of Western Philosophy" yang ada di rak buku saya di kampus. Sebuah buku bekas yg saya beli saat main ke Canberra dan sampai sekarang belum pernah saya baca). Kedua, saya sulit berdiskusi ttg filsafat barat sama orang yang sedari awal sudah antipati dg filsafat barat.



Anyway, saya suka sekali Sophie's World, sebuah novel sejarah filsafat yang menjadi best seller di mancanegara (lagi-lagi saya beli di toko buku bekas di sini. Bedanya, yang ini udah saya baca soalnya novel sih....). Saya memahami filsafat persis seperti Sophie, seorang murid SMP, memahaminya. Jadi, saya yang ABG dalam soal filsafat ini terus terang "ngeri" berhadapan dg orang yang "galak" dg filsafat barat.



>tanpa perduli pada konteks dan

>medium apa fatwa tersebut diberikan - untuk sebuah masyarakat yang diarahkan

>untuk hidup di bawah naungan al Qur'an dengan konteks kepentingan yang

>bersifat

>islami, atau justru untuk sebuah masyarakat yang diarahkan untuk hidup

>melawan

>arahan al Qur'an dengan konteks kepentingan status quo yang non-islami.

>

>Masalah kita saat ini - setidaknya menurut saya - adalah nidham yang tidak

>memiliki perangkat pelaksanaan, yakni suatu masyarakat yang siap hidup di

>bawah

>naungan al Qur'an. Rasanya ini yang perlu dikaji dahulu oleh setiap mereka

>yang

>mencintai islam.



Maaf akhi Hamzah. Memang saya merasakan ada tema-tema yang gemar dibahas oleh kalangan non-IAIN, dan ada pula tema yg gemar dibahas oleh teman-teman IAIN. Teman-teman non-IAIN senang sekali membahas tema spt yg disodorkan akhi Hamzah di atas. Namun bagi saya dan rekan-rekan saya di IAIN (saya tidak mengklaim seluruh IAIN, paling tidak sebagian mahasiswa IAIN Ciputat) tema-tema itu tidak menarik dan dianggap sudah selesai begitu saja. Misalnya tema negara Islam ini dianggap sudah selesai di IAIN. Teman-teman sudah menerima Pancasila, sementara bagi rekan-rekan lain, tema-tema ini masih menarik dan selalu dibahas. Teman-teman IAIN lebih suka membahas pemikiran keislaman, spt pemikirannya Arkoun, An-Na'im, Fazlur Rahman, de el el



Maksud saya, bukan berarti rekan-rekan non-IAIN itu "kalah" dibanding dg teman IAIN. Namun ada perbedaan sudut pandang yang harus kita hormati. Kakak ipar saya seorang aktivis halaqah di Bandung. Kalau ketemu dg saya kita saling belajar. Dia ingin tahu cara pandang anak IAIN. Sedangkan saya ingin belajar memahami cara pandang kalangan halaqah. Dia sering terpukau dg penjelasan saya soal al-Qur'an sesuai dg ilmu yg saya pelajari, sebagaimana saya pun tahan berjam-jam mendengarkan penjelasan dia ttg masalah ummat dan solusinya menurut al-Qur'an. Saya mendapatkan banyak hal dg berdiskusi dg kalangan non-IAIN. Jadi, kalau akhi Hamzah tidak suka dg saya yg berada di level pemikiran belaka (akhi Hamzah pernah menyindir hal ini) saya maklum saja, karena memang kita berada pada background yg berbeda. Pada titik ini kalimat yang dibenci akhi Hamzah terpaksa saya ulang, "kita sepakat utk tidak sepakat". Tidak mungkin akhi Hamzah meminta saya sepakat 100% dg ide-ide akhi Hamzah.



Sekali lagi, maaf ini juga kalimat yg dibenci akhi Hamzah, saya membuka ruang "keliru" di diri saya yang hina dan lemah ini. Boleh jadi akhi Hamzah benar dan apa yang saya tulis ini hanyalah omongkosong belaka dari seorang murid "orientalis" dan murid "filosof barat".



Wa Allah a'lam bi as-Shawab wal-haq minhu



salam,

=Nadir=





Date: Wed, 14 Oct 1998 22:19:12 +0700

From: Hamzah

To: Nadirsyah Hosen

CC: Abu Al Fatih , spt@indosat.co.id

Subject: Re: Bincang-Bincang Soal Beda Madzhab



Nadirsyah Hosen wrote:



> Akhi Hamzah,

> Hmmm....Pernyataan para Imam mazhab itu telah dikeliruartikan.

> Pernyataan itu seakan-akan

> ingin membenturkan pendapat a'immatul mazahib dg hadis shahih, sehingga

> jika ada hadis shahih maka tinggalkan pendapat mereka. pernyataan ini

> seakan-akan hendak mengatakan bahwa para Imam mazhab banyak yang tidak

> berpegang pada hadis shahih. Padahal pernyataan mereka harus dibaca

> sebagai bentuk kerendahan hati untuk mengakui bahwa pendapat mereka baru

> sampai pada tingkat Zhan; bukan qath'i. Pernyataan mereka seharusnya

> dibaca bahwa mereka secara terus menerus tidak berpegang secara statis

> pada pendapat mereka, mereka terus mencari dan bersedia merevisi

> pendapatnya serta mengakui kemungkinan kesalahan pendapat mereka.

>



Assalaamu'alaikum wr.wb.



Akhi Nadirsyah rahimakallah kalau saya boleh mengerti siapa sebenarnya pencipta madzhab itu? Para imam itukah atau para pengikut mereka?



Saya tetap pada pemahaman saya!!! Kalimat akhi " ... padahal pernyataan mereka ... " justru memperkuat sikap saya. Jazakallah khairan katsira.



> Kalau akhi hamzah baca lagi tulisan saya "mengapa ulama berbeda

> pendapat", saya

> menulis bahwa salah satu pangkal perbedaan pendapat adalah karena terjadi

> perbedaan dalam memandang kriteria sebuah hadis itu mutawatir, shahih

> atau dha'if. Jadi, kalau akhi Hamzah mengatakan tidak bermazhab dan hanya

> berpegang pada hadis shahih, pertanyaannya, hadis shahih menurut kriteria

> siapa? Al-Albani boleh saja memandang dha'if hadis-hadis yang dipandang

> shahih oleh ulama lain, sebagaimana Al-Albani juga menshahihkan

> hadis-hadis menurut kriterianya. Namun kerja keras Al-Albani (semoga

> Allah membalasnya dg pahala yg berlimpah) ini tidak berarti menafikan

> perbedaan pendapat; dan tidak juga berarti menafikan adanya kriteria lain

> dari para ulama. Walhasil, berpegang pada hadis shahih tidak akan

> menghilangkan perbedaan pendapat dan juga tidak ada relevansinya dg

> ukhuwah islamiyah, sebab menurut saya adanya perbedaan pendapat

> dikalangan ulama sama sekali tidak menghilangkan ukhuwah islamiyah.

> Ukhuwah islamiyah bisa terjadi diantara keragaman pendapat selama umat

> islam memang siap bertoleransi dan tidak merasa dirinya benar sendiri.

> Sebaliknya, meskipun "berpegang pada hadis shahih" selama masih merasa

> benar sendiri dan tidak mau menerima perbedaan pendapat maka selama itu

> pula ukhuwah Islamiyah menjadi terancam.

>

> >

> >BTW tentang uraian pemakaian hadist dhaif saya ok-ok sajalah. Oya ada yang

> >bisa

> >memberikan hitungan yang akurat untuk saya berkenaan dengan seberapa besar

> >sebenarnya proporsi hadist-hadist di dalam Kutubussittah, yang peringkat

> >keshahihannya dipersoalkan oleh ulama-ulama besar ahli hadist.

> >

>

> Sayang saya bukan ahli hadis. Mungkin sobat lain bisa menjawabnya.



Inilah kelemahan orang non-IAIN seperti saya ini - S1 Ekonomi; kami punya statistik dan ekonometri; jadi kalau yang diperselisihkan hanya kecil saja, ya saya memilih tetap bermadzhab "hadist shahih", karena menurut cara berpikir saya dengan demikian probabilitas untuk bersepakat menjadi lebih besar. Toh untuk yang diperselisihkan saya cukup punya wawasan pluralitas untuk tetap menghargai pendapat yang lain seperti halnya saya bisa menerima bagaimana hadist-hadist dhaif bisa dipergunakan. Hipotesis saya memang sebenarnya sedikit saja yang diperselisihkan; saya ambil contoh Riadhus Shalihin Imam Nawawi konon hadist-hadistnya disepakati adalah shahih semuanya.



> Akhi Hamzah mencampuradukkan antara fatwa dg siyasah syar'iyah. Fatwa itu

> tidak mengikat.

> Kenapa? karena fatwa adalah bagian dari ijtihad. Jadi, Fatwa dari

> siapapun tidak mengikat. Ummat bebas memilih fatwa manapun yang mereka

> suka. Fatwa pun bisa direvisi karena adanya dalil yg lebih kuat atau

> adanya perubahan sosial. Fatwa memang tidak didesain untuk "nge-dor".

>

> Sebaliknya siyasah syar'iyah justru memang berfungsi untuk "nge-dor".

> Anehnya, ini pun tidak ditaati oleh Ummat. Contoh: Penetapan 1 Syawal yg

> sering ribut itu seharusnya tidak terjadi kalau ummat memahami siyasah

> syar'iyah. Apa yang sudah diputuskan oleh pemerintah, setelah

> berkonsultasi dg semua ormas keislaman, haruslah dipatuhi dan bersifat

> mengikat. Hal ini sesuai dg kaidah "hukmul hakim ilzam wa yarfa'

> al-khilaf".

>

> Sayangnya ada sementara pihak yg ingin fatwa itu mengikat, ada pula ummat

> yang menginginkan

> keputusan pemerintah itu tidak mengikat. Seharusnya adalah fatwa itu

> tidak mengikat namun keputusan pemerintah itu mengikat.



> Masalah ibu Lia dan fatwa MUI harus dilihat sbb: MUI sudah mengeluarkan

> fatwa bahwa ibu Lia itu sesat. Nah berdasarkan fatwa ini kejagung

> memanggil ibu Lia. Kalau dianggap memang meresahkan masyarakat maka

> kejagung bisa melarang kegiatan tsb. Saat ini ibu Lia sedang intensif

> diperiksa oleh Kejagung sbg tindaklanjut fatwa MUI. Ingat juga masalah

> Darul Arqam. MUI kasih fatwa, namun yang melarang adalah kejagung.



Jazakallah atas wawasan yang akhi berikan. Begini akhi Nardisyah; menurut saya istilah Aqidah, Syariah, Akhlak, Fiqh dan segala rinciannya adalah istilah-istilah yang diciptakan para ulama untuk keperluan pengajaran (ta'lim) dienul islam; tetapi dienul islam bukanlah suatu entitas pengetahuan atau konsep yang terbagi-bagi. Sehingga setelah kita mendapatkan pemahaman lewat metode yang demikian itu, di dunia nyata maka segala pemahaman ini harus kembali disatukan menjadi satu entitas pemahaman yang melahirkan proyek tindakan yang sering saya namakan iqamaatuddin. Manhaj iqaamatuddin adalah sangat lain dengan manhaj ta'limi atau manhaj tarbawi.



Dalam pandangan manhaj Iqamatuddin; dien harus diartikan secara utuh, ya sebagai qanun atau nidham, sebagai ketaatan, sebagai kekuasaan, balasan dan lain sebagainya (IAIN lebih tahu lah). Apa iya sih fatwa itu tidak mengikat? Ini kondisi ideal atau kondisi darurat nih?



Untuk kasus Lia tentang pernyataan pistol tanpa pelatuk mohon akhi masuk saja ke web FORUM untuk mendapatkan konteks pernyataan itu secara utuh.



Penetapan 1 syawal jelas lain; sejauh yang saya mengerti bila ada yang mengaku melihat hilal; ya cukup dilihat kepakarannya tentang masalah itu; kemudian disumpah; nah 1 syawal kemudian ditentukan berdasar penglihatan orang tersebut; apalagi yang melihat tidak hanya satu bahkan di beberapa tempat. Sejauh ini selalu saja "pemerintah" berkesan tidak mau mengalah kan.



Untuk masalah ini mohon akhi jelaskan tentang wihdahtul matlaq dan taadadul mataliq (mohon dikoreksi bahasanya saya kan non IAIN). Sekedar menambah wawasan.



> Akhi Hamzah,

> Tolong kalimat ini diperjelas maksudnya: sehingga ulamanya hanya

> menjadi sebuah profesi yang tugasnya hanya dan hanya memberi fatwa

> tentang suatu

> masalah yang disodorkan kepadanya untuk sejumlah gaji....

>

> Agar saya tak salah tangkap. Gaji apa maksudnya? ulama diberi gaji utk

> mengeluarkan fatwa?

> Ini pernyataan yang cukup tendesius lho......



Ulama adalah pewaris para nabi, berarti ulama harus mewarisi (melaksanakan) seluruh fungsi nabi - sebagai kepala negara, panglima perang, al hakim, pemberi fatwa, pembawa syariat, dll.; artinya secara aktif ulama harus mendidik umat untuk mengarahkannya menjadi masyarakat yang memiliki inspirasi kreatif perennial untuk hidup di bawah naungan al Qur'an secara utuh; dalam segala aspeknya. Jika ini dilakukan maka akhirnya akan terbentuk sistem kemasyarakatan di mana fatwa-fatwa ulama akan mengikat mereka. Akhi Nadirsyah (IAIN) lah yang rasanya harus mengkaji kembali karya al Imam Syihabu al Din al Qarafi berjudul "al Furuq" dan "al Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa". Saya kan tidak bisa berbahasa Arab.



Nah saya melihat sekarang ini sangat banyak dari mereka yang belajar ulumuddin itu tidak dengan target mewarisi tugas nabi secara menyeluruh; tapi ya sekedar untuk mengejar profesi di bidang agama dengan menganggap kondisi masyarakat kita adalah sesuatu yang sudah given atau final; ya namanya mengejar profesi pastilah untuk mendapatkan nafkah hidup.



Oya mungkin akhi Nadirsyah bisa lebih memahami apa yang saya rasakan bila akhi membaca buku Ali Syari'ati "Ideologi Cendikiawan Muslim." Itu lho tentang beda antara ilmuwan dan rausyanfikr atau kalau di dalam al Qur'an Ulil Albab..



> Saya terus terang saja nggak paham apa maksudnya akhi Hamzah selalu

> mengungkap ttg filsafat barat ketika berdiskusi dg saya. Apakah akhi

> Hamzah hendak "menyerang" saya

> sebagai pengikut filsafat barat? Apakah akhi Hamzah hendak mengatakan

> bahwa pendapat saya terpengaruh filsafat barat? Saya terus terang saja

> tak pernah mau mengomentari hal ini karena, pertama, saya tidak pernah

> belajar filsafat secara khusus. saya ini dari fakultas syari'ah. Saya

> mengakui keterbatasan diri saya utk berkomentar di luar bidang saya (saat

> menulis ini saya melirik sekilas pada buku Bertrand Russel, "History of

> Western Philosophy" yang ada di rak buku saya di kampus. Sebuah buku

> bekas yg saya beli saat main ke Canberra dan sampai sekarang belum pernah

> saya baca). Kedua, saya sulit berdiskusi ttg filsafat barat sama orang

> yang sedari awal sudah antipati dg filsafat barat.



Sama sekali tidak akhi Nadirsyah. Saya mungkin terlalu menghayati tragedi kematian filsafat barat, yakni ketika filsafat itu hanya menjadi cara berpikir dan bukan cara bertindak. Saya sajikan di dalam posting saya sebagai sebuah kasus untuk mengingatkan kepada saya khususnya apakah islam - sebagai way of live - sedang mengalami hal yang sama, karena saya lihat ulama kok sekarang ini tak acuh sekali dengan kondisi umat sih. Buat fatwa, sesudah itu ya tidak perduli apakah fatwanya diikuti masyarakat atau tidak, efeknya merugikan masyarakat atau tidak, pokoknya tugas saya buat fatwa sesuai dengan tuntutan disiplin keilmuwan saya ... selesai titik.



Adalah hak akhi Nardisyah untuk menilai saya antipati terhadap filsafat barat; mungkin saya memang begitu mungkin juga tidak. Saya senang sekali membaca "Kisah Mencari Tuhan" dari Syech Nadim al Jisr. Pernah membaca? Baca juga "Living Issues of Philosophy" Harold A. Titus et. al. Sayang sekali mereka membuang Roger Garaudy dari barisan filosof modern, padahal Jean Paul Sartre kalah lho debat sama beliau.



> Anyway, saya suka sekali Sophie's World, sebuah novel sejarah filsafat

> yang menjadi best seller di mancanegara (lagi-lagi saya beli di toko buku

> bekas di sini. Bedanya, yang ini udah saya baca soalnya novel sih....).

> Saya memahami filsafat persis seperti Sophie, seorang murid SMP,

> memahaminya. Jadi, saya yang ABG dalam soal filsafat ini terus terang

> "ngeri" berhadapan dg orang yang "galak" dg filsafat barat.



Yupp (saya suka sekali teriakan ini), saya lebih suka "The Turning Point" dan sejenisnya. Gimana kalau akhi Nadirsyah saya "gigit" sekalian saja nih. Saya kan pernah bilang sama akhi "neracanya tidak selalu negatif". H.M. Rasyidi sendiri banyak menulis tentang filsafat, padahal beliau satu-satu ilmuwan akademisi Indonesia yang saya kagumi sikapnya.



> Maaf akhi Hamzah. Memang saya merasakan ada tema-tema yang gemar dibahas

> oleh kalangan non-IAIN, dan ada pula tema yg gemar dibahas oleh

> teman-teman IAIN. Teman-teman non-IAIN senang sekali membahas tema spt yg

> disodorkan akhi Hamzah di atas. Namun bagi saya dan rekan-rekan saya di

> IAIN (saya tidak mengklaim seluruh IAIN, paling tidak sebagian mahasiswa

> IAIN Ciputat) tema-tema itu tidak menarik dan dianggap sudah selesai

> begitu saja. Misalnya tema negara Islam ini dianggap sudah selesai di

> IAIN. Teman-teman sudah menerima Pancasila, sementara bagi rekan-rekan

> lain, tema-tema ini masih menarik dan selalu dibahas. Teman-teman IAIN

> lebih suka membahas pemikiran keislaman, spt pemikirannya Arkoun,

> An-Na'im, Fazlur Rahman, de el el



Yupp saya heran sekali dengan sikap itu, tetapi juga tidak heran mengingat design pendidikan kita kan dibangun berdasar paradigma kekuasaan; tapi perlu dijelaskan juga tingkat penerimaannya itu seberapa. UUD 45 sendiri kan kalau dikaji justru membuka kemungkinan untuk diubahnya dasar negara, kok kita malahan menfinalkan.



> Maksud saya, bukan berarti rekan-rekan non-IAIN itu "kalah" dibanding dg

> teman IAIN. Namun ada perbedaan sudut pandang yang harus kita hormati.



Ya mudah-mudahan itu bukan argumentasi untuk tidak mau merubah pandangan dan sikap. Sekarang banyak orang yang mulai mempersoalkan Pancasila sebagai azaz tunggal, berarti dulu menerimanya kan hanya karena ada faktor yang "tak taulah saya".



> Kakak ipar saya seorang aktivis halaqah di Bandung. Kalau ketemu dg saya

> kita saling belajar. Dia ingin tahu cara pandang anak IAIN. Sedangkan

> saya ingin belajar memahami cara pandang kalangan halaqah. Dia sering

> terpukau dg penjelasan saya soal al-Qur'an sesuai dg ilmu yg saya

> pelajari, sebagaimana saya pun tahan berjam-jam mendengarkan penjelasan

> dia ttg masalah ummat dan solusinya menurut al-Qur'an.



Yupp saya juga suka terpukau dengan penjelasan teman-teman yang berasal dari pondok dan yang sebagiannya juga melanjutkan studi ke timur tengah baik ke PT maupun nyantri ke ulama-ulama besar yang ada saat ini. Saya selalu merasa dulu saya memahami segala hal tentang dien itu secara susah payah dengan filsafat; tetapi dengan al Qur'an dan Hadist dan perkataan para salafus sholeh ternyata kesemuanya itu sebetulnya dapat dipahami secara lebih simple.



Oya saya tidak pernah ikut halaqah secara intensif, pernah ikut sih tetapi seingat saya hanya 3 bulan saja. Akhi Nadirsyah tampaknya ingin mengidentifikasi saya sebagai aktifis halaqoh nih - seperti kakak ipar akhi Nadirsyah?



> Saya mendapatkan banyak hal dg berdiskusi dg kalangan non-IAIN. Jadi,

> kalau akhi Hamzah tidak suka dg saya yg berada di level pemikiran belaka

> (akhi Hamzah pernah menyindir hal ini) saya maklum saja, karena memang

> kita berada pada background yg berbeda. Pada titik ini kalimat yng

> dibenci akhi Hamzah terpaksa saya ulang, "kita sepakat utk tidak

> sepakat". Tidak mungkin akhi Hamzah meminta saya sepakat 100% dg ide-ide

> akhi Hamzah.



Saya benci mungkin karena kekenyangan makan retorika semacam itu ketika banyak berdialog dengan rekan-rekan di HMI.



Akhi Nardisyah rasanya saya tidak pernah meminta akhi untuk sepakat 100% dengan ide-ide saya. Saya rasanya sudah menyampaikan hukum dialog saya. Wah akhi tampaknya bernostalgia nih. Afwan ya akhi Nardisyah. Uraian di muka mungkin bisa sedikit menjelaskan di mana konteks sindiran saya, kalau saya memang pernah menyindir dan akhi juga tersindir..



> Sekali lagi, maaf ini juga kalimat yg dibenci akhi Hamzah, saya membuka

> ruang "keliru" di diri saya yang hina dan lemah ini. Boleh jadi akhi

> Hamzah benar dan apa yang saya tulis ini hanyalah omongkosong belaka dari

> seorang murid "orientalis" dan murid "filosof barat".



Duh... duh akhi Nardisyah ini ternyata sangat perasa ya; unggah-ungguhnya ternyata lebih tinggi dari saya yang orang jawa. Yah mungkin karena saya ini dibesarkan di jalanan, jadi ya agak kasar. Wah ... wah wah ... masak penganut pluraritas kok bahasanya benar atau salah begitu; menurut Habibie tidak bikin cerdas tuh.



Wassalaamu'alaikum wr.wb.

Hamzah