Friday, July 16, 2010

Bincang-Bincang Soal Beda Madzhab ( bag.1/3 )

Pengantar : Bincang-bincang Soal Beda Madzhab ini dimulai dari "berakhir"nya serial bincang-bincang soal Perennial di ML-Isnet. Bincang-bincang ini kemudian memilih lewat Japri (Jalur Pribadi) antara Mas Nadirsyah Hosen, Mas Saptadi Nurfarid dan saya (Abu Al Fatih). Selanjutnya silakan mengikuti jalannya bincang-bincang itu …



From: "Nadirsyah Hosen"

Date: Tue, 29 Sep 1998 21:06:55 +1000



Well, kalau ada yang mau ikutan diskusi japri antara saya dg akhi Abu al-Fatih (sebenarnya saya juga beberapa waktu lalu diskusi secara japri dg akhi Hamzah) boleh saja. Masalahnya akhi Abu al-Fatih berkenan atau tidak?



Nanti deh kalau diskusi japriannya udah dimulai saya cantumkan juga email pak Saptadi, insya Allah, dengan persetujuan akhi Abu al-Fatih. Buat akhi Abu al-Fatih kalau mau diskusi lewat japri temanya boleh apa aja kok.....nggak mesti perenial. Asalkan bermanfaat untuk kita dan untuk umat islam, saya yakin saya bisa belajar banyak dari diskusi itu.



Soal PDI Megawati, isu yang selalu diangkat adalah Mega yang menjadi korban kezaliman pemerintah. Sayangnya, pemerintah Habibie meneruskan image itu di masyarakat, terbukti dg berlarutnya proses perijinan Kongres PDI Mega. Walhasil, Mega mendapat simpati dan popularitasnya semakin bertambah. Rakyat sekarang cenderung membela mereka, setidak-tidaknya yang dianggap oleh mereka terus dizalimi oleh pemerintah. Nah, seakan-akan penderitaan Mega menjadi simbol penderitaan rakyat.



Menurut saya sih, pemerintah seharusnya menghapus image itu dg segera memberikan ijin buat PDI Mega dan kemudahan lainnya. Kalaupun mau "menggembosi" Mega ya mainnya "cantik" dong.....Mega sendiri kayaknya malah senang tuh dipersulit oleh Pemerintah. Lha wong citranya sebagai martir terus meningkat....



Lho....kok saya jadi nyelonong ke soal PDI sih.



salam,

=nadir=



From: "Abu Al Fatih"

Date: Tue, 29 Sep 1998 18:03:31 PDT



Assalamu 'alaikum wr.wb.



Mas Nadirsyah Hosen dan Mas Saptadi Nurfarid,

Saya ndak keberatan kok dengan diskusi via japri ini. Tentunya ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing bila diskusi via japri atau jalur umum seperti ML-Isnet itu. Keuntungan lewat japri boleh jadi diskusinya akan lebih "fokus" dan "intensif", sementara keuntungan lewat jalur umum "nara sumber" nya lebih beragam dan "nuansa variatif" nya akan lebih terasa (disebabkan motivasi, landasan berpikir, kultur, dll. nya juga lebih variatif / plural). Bener nggak "prediksi" saya itu Mas Hosen ? Pengalaman Mas Hosen selama ini diskusi lewat japri dan jalum bagaimana ?



Kemudian tentang tema nya,

Saya pun sepakat dengan Mas Hosen, tidak harus masalah Perennial, bisa juga yang lainnya, apa saja.



Untuk ini saya punya usulan nih,

Kalau membaca HP nya Mas Hosen, saya tertarik dengan back ground pendidikan nya Mas Hosen itu ; Perbandingan Madzhab Fiqh (di IAIN) dan jurusan Sejarah (di Australia sekarang). Juga tentang ayahanda Mas Hosen (KH.Ibrahim Hosen) yang Ketua Komisi Fatwa MUI. Bagaimana kalau tema nya diambil dari salah satu back ground itu, setuju nggak ?



Sejujurnya, saya ingin belajar banyak nih dari orang-orang seperti Mas Hosen (tentunya termasuk Mas Hosen sendiri dan Mas Saptadi Nurfarid).



Wassalam

Abu Al Fatih





From: "Nadirsyah Hosen"

Date: Wed, 30 Sep 1998 11:30:59 +1000



Assalamu 'alaikum wr wb

Alhamdulillah atas respon akhi Abu al-Fatih yang selalu hangat itu.

(bagusnya saya panggilnya apa nih? mas, abang atau? terus nama aslinya siapa nih, kalau nggak salah Abu al-fatih itu kan hanya laqab saja).



Saya setuju dengan usulannya. Saya menangkap ada kecenderungan banyak pihak yang ingin menyamakan ukhuwah islamiyah dg penghapusan mazhab-mazhab. Mereka merasa dg kembali ke Qur'an dan hadis maka mazhab-mazhab itu akan hilang. Saya berpendapat sebaliknya. Justru adanya mazhab-mazhab itu tidak menggoyahkan ukhuwah islamiyah kita selama kita mensikapinya secara proporsional. Satu lagi, kembali pada al-Qur'an dan hadis tidak akan menghilangkan perbedaan pendapat dalam Islam karena justru mazhab-mazhab itu lahir akibat Qur'an dan hadis memang membuka celah utk berbeda pendapat. Untuk itu saya menulis (ada di HP saya), "Mengapa ulama berbeda pendapat?" Saya hanya menjelaskan beberapa point (asbab) ulama berbeda pendapat.



Hal ini diperjelas dg tulisan saya yg lain (juga ada di HP) akan adanya dimensi Syari'ah (yg tidak bisa dikotak-katik) dan dimensi fiqh (yang merupakan lahan perbedaan pendapat). Judul tulisan tsb, "Antara Syari'ah dan Fiqh".

Bagaimana kalau kita bahas tema di atas? usulan ini tidak menutup kalau mas Saptadi atau akhi Abu al-fatih punya tema lain yang lebih bermanfaat.

salam hangat,

=Nadir=



From: "Abu Al Fatih"

Date: Wed, 30 Sep 1998 00:31:28 PDT



Assalamu 'alaikum wr.wb.



Mas Nadirsyah Hosen dan Mas Saptadi Nurfarid

Saya sudah baca artikel di HP nya Mas Hosen itu, yang berjudul "Mengapa ulama berbeda pendapat?" dan "Antara Syari'ah dan Fiqh". Dan dalam hal ini saya sepakat dengan pendapat Mas Hosen, bahwa "perbedaan madzhab" bukanlah antitesa dari "ukhuwwah Islamiyah" yang sedemikian rupa sehingga keberadaan yang satu harus meniadakan keberadaan yang lainnya. Bahkan sebaliknya, sebagian (besar) dari fenomena "perbedaan madzhab" itu justru memberikan kontribusi positif terhadap pembinaan "ukhuwwah Islamiyah".



(tulisan saya mengenai hal ini - dengan pembahasan yang lebih dangkal dari artikel Mas Hosen - dapat dilihat pada posting saya di ML-Isnet di bawah judul "Antara Ta'ashub, Ghuroba dan Khilafiyah", yang akan saya posting lagi via japri setelah ini, sebagai bahan tambahan dalam diskusi kita).



Hanya saja,

(supaya diskusi lebih "hangat", harus ada sudut pandang kita yang "berbeda", agar tema yang dibahas semakin "menajam" dan "ukhuwwah Islamiyah" di antara kita semakin meningkat) seringkali "ke-belum dewasa-an" ummat Islam dalam mensikapi perbedaan (madzhab) itu, juga disadari sepenuhnya oleh orang-orang / kelompok yang tidak senang dengan Islam dan ummat Islam, yang melalui berbagai sarana yang dimiliki (media massa, think thank / strategic group, financial-economic group, LSM dll.) melakukan berbagai rekayasa untuk "memanfaatkan" potensi konflik ini, untuk terus menerus me-marginal-kan ummat Islam dalam urusan-urusan "keduniaan" (politik, ekonomi, sosial, pendidikan dll.).



Terkadang saya amati,

Semangat sebagian saudara-saudara kita sesama muslim untuk menjadi "Muslim yang Inklusif" telah membuat mereka "buta" terhadap realitas / sunnatullah "yang lain", yakni bahwa "kebencian dan permusuhan terhadap Islam dan ummat Islam" itu ada, dan bukan sekedar "khayalan alam bawah sadar" ummat Islam yang mereka tuduh "eksklusif" (sehingga saya merasa perlu memberikan beberapa definisi tentang "eksklusif" dalam tulisan terdahulu itu).



Maksud saya dengan ungkapan di atas adalah,

Agar semangat kita dalam mengemukakan "ke-absah-an" perbedaan (madzhab) ini, hendaknya juga diiringi kesadaran penuh akan faktor-faktor psikis, emosional, kultur, tingkat intelegensia, kecenderungan-kecenderungan perilaku, dll. dalam tubuh ummat Islam. Artinya, sebagaimana ummat dituntut untuk "dewasa" dalam mensikapi "perbedaan (madzhab)" itu, maka para ulama / cendekiawan pun dituntut juga untuk bersikap 'arief dalam mengemukakan pendapatnya (apalagi jika itu mengundang kontroversi yang madharat nya jauh lebih besar ketimbang manfaat "berbeda" nya).



Contoh yang dikemukakan dalam artikel di HP Mas Hosen itu,

Mengenai fenomena sebagian ummat Islam yang cenderung mem-vonis sebagian ulama dengan vonis "memberikan fatwa pesanan" dan "takut pada pemerintah" dll. seperti termuat dalam artikel Mas Hosen, saya pikir juga termasuk bagian dari konsekuensi melontarkan gagasan "perbedaan (madzhab)" di tengah keberagaman faktor-faktor psikis, emosional, kultur, tingkat intelegensia, kecenderungan-kecenderungan perilaku, dll. yang saya sebutkan di atas.



Saya punya pengalaman menarik tentang masalah ini,

Dulu saya termasuk di antara ummat yang sempat ber-su'u zhon pada ayahanda Mas Hosen (mohon disampaikan permohonan maaf saya pada KH Ibrahim Hosen tentang "masa lalu" saya ini). Yakni ketika beliau melontarkan fatwa bahwa Porkas / SDSB (?) itu bukan judi. Fatwa ini bahkan sempat diterbitkan dalam sebuah buku kecil. "Kemarahan" kami waktu itu bukan saja pada produk fatwa beliau yang cenderung "melawan arus", tapi juga pada masalah "timing" nya yang dirasa kurang tepat.

Waktu itu saya dan beberapa teman-teman sedang geram dengan rejim (Soeharto - Sudomo - cs) yang mem-backing penyelenggaraan "judi nasional" itu, dan ingin agar hal itu dihapuskan. Maka ketika keluar "fatwa" dari sebagian ulama yang dapat di-interpretasi-kan mendukung penyelenggaraan "judi nasional" itu, maka "kemarahan" yang tertuju pada rejim itu juga mengarah pada segala yang dianggap "identik" atau "mendukung" kebijakan rejim yang keliru itu.



Tapi di kemudian hari,

Saya menyadari bahwa "kemarahan" saya pada para ulama itu keliru (kurang proporsional). Ini terjadi ketika saya dan teman-teman menemui KH Hasan Basri (Ketua MUI) ketika meminta dukungan beliau tentang pembolehan berbusana menutup aurat (Jilbab) dalam peraturan seragam sekolah di Dikdasmen (SD-SLTP-SLTA) dan Dikti (Perguruan Tinggi). Waktu itu saya dengar langsung dari KH Hasan Basri bahwa fatwa MUI (termasuk di dalamnya KH Ibrahim Hosen) tentang wajibnya berbusana Jilbab bagi muslimah (di lingkungan pendidikan, lingkungan bisnis / perusahaan, untuk urusan identitas pribadi seperti KTP, SIM, Pasport dll). Tapi dalam masalah ini (ketika itu) rejim malah mengambil pendapat-pendapat cendekiawan muslim yang "kontroversial", dan "meninggalkan" MUI.



Dari kejadian itu saya mengambil ibroh,

Bahwa ummat Islam memang harus lebih 'arief lagi dalam mensikapi fenomena yang ada dan tidak tergesa-gesa melakukan vonis kepada para ulama.



Akhirul kalam,

Membangun ukhuwwah Islamiyah di tengah iklim "perbedaan (madzhab)" memang bukan pekerjaan yang ringan.



Wallahu a'lam



Wassalam

Abu Al Fatih

NB.

1. Khusus untuk posting kali ini, saya merasa perlu mengulangi permintaan maaf saya, terutama pada Mas Hosen, karena mungkin sebagian "ilustrasi" saya menyangkut hal-hal yang "sensitif". Mohon dibukakan selebarnya pintu maaf bagi saya.
2. Tentang nama asli saya, insya Allah pada saatnya nanti, akan saya beritahu. Sementara ini, mohon kemaklumannya, untuk tetap memanggil saya dengan Abu Al Fatih.





From: "Abu Al Fatih"

Date: Wed, 30 Sep 1998 00:56:05 PDT



Assalamu 'alaikum wr.wb.

Mas Saptadi Nurfarid dan Mas Nadirsyah Hosen,

Ini lampiranposting saya tadi. Mudah-mudahan masih ada relevansinya dengan masalah yang kita diskusikan.



Wassalam

Abu Al Fatih

NB.

Saya masih merasa "kurang enak" nih dengan posting saya tadi. Ada semacam "guilty feeling" dalam diri saya, kuatir tulisan tersebut membawa implikasi negatif bagi diskusi kita. Tapi nggak kan Mas Hosen ... ?





From: "Nadirsyah Hosen"

Date: Thu, 1 Oct 1998 13:06:29 +1000



Assalamu 'alaikum wr wb

Terima kasih atas tanggapannya yang amat membesarkan hati juga terima kasih atas kiriman artikelnya. Sungguh sangat menyenangkan dan membuat wawasan saya semakin terbuka. Sayang, model tulisan seperti ini jarang direspon secara serius oleh isnetter, mereka lebih suka diskusi soal berbai'at

kepada Amien Rais. Padahal, selain diskusi soal politik, kita juga butuh diskusi ttg Islam itu sendiri. Alhamdulillah inilah yang tengah kita lakukan lewat diskusi japrian ini.



Akhi Abu al-Fatih (hmmmm....misterius nih, jangan-jangan saya sudah pernah ketemu di darat, atau jangan-jangan beliau ini salah satu guru saya yang "turun gunung" di dunia internet untuk "memonitor" sepak terjang muridnya di dunia internet ini, saya tak keberatan kalau akhi enggan menceritakan identitas sebenarnya. Saya juga tak keberatan dg segala tanggapan ataupun komentar terhadap Abah saya.



Dahulu di isnet ada yg tahu siapa Abah saya, langsung menyerang dan meminta saya "mempertanggungjawabkan" fatwa-fatwa Abah saya. Saya hanya mengatakan:



1. Saya ini Nadirsyah bukan Ibrahim Hosen. Saya tak bertanggung jawab akan fatwa-fatwanya. Saya hanya bertanggung jawab thd amal saya sendiri.


2. Terlepas setuju atau tidak terhadap fatwa Abah saya, saya selalu ingat pesan beliau (yang kini berusia 81 tahun) agar berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa. Bagi beliau, jangan sekali-kali kita mengeluarkan fatwa tanpa dilandasi ilmu karena dosanya lebih besar dari dosa syirik. Kalau anda syirik, maka yg sesat hanya anda. Kalau anda mengeluarkan fatwa asal-asalan, yg sesat anda dan anda juga menyesatkan orang lain. Tak lupa Abah saya mengutip hadis Nabi, bahwa "orang yang paling berani berfatwa, adalah orang yg paling berani masuk api neraka". Walhasil, Abah saya selalu mencoba bersikap hati-hati dalam mengeluarkan fatwa. "Hati-hati" maksudnya adalah tidak lepas dari nash dan pendapat a'immatul mazahib. Jelas, faktor "pesanan" pemerintah tidak diperhitungkan dalam istinbat al-ahkam yg beliau lakukan. Resiko akheratnya terlalu berat.



Sikap "hati-hati" dalam berfatwa ini membawa beliau terlihat "kaku" ketika mengeluarkan fatwa. "Kaku" yang saya maksud adalah beliau bukan saja tak memperhitungkan "pesanan" pemerintah tapi juga tak memperhitungkang "kondisi" masyarakat. Beliau selalu mengecam ulama yang hanya mengikuti masyarakat dan takut dianggap kontroversial (baginya ini ulama jendela, yg kalau mau kasih fatwa buka jendela dulu lihat bagaimana kira-kira angin bertiup). Kebenaran haruslah diungkapkan meskipun itu berarti menolak "pesanan" pemerintah dan menolak mengikuti maunya masyarakat. Bagi beliau, ulama itu harus diikuti (menjadi panutan) oleh masyarakat bukan ulama –yg karena takut popularitasnya hilang-- yang harus mengikuti maunya masyarakat.



Pada titik ini, beliau sama sekali tidak peduli kalau masyarakat mengecamnya. Ketika masyarakat melakukan teror dg telpon gelap, selebaran mengahalalkan darahnya, menuduh ulama istana, dsb....beliau hanya berkomentar pendek, "saya baru tahu bahwa saya ini memang ulama!".



Posisi ulama menurut beliau adalah memberikan ketegasan mana yang haram dan mana yang halal. Jika masyarakat guncang karena penjelasannya, maka bukan ulama yang harus disalahkan. karena toh ulama hanya sekedar menjalankan fungsinya yg utama. Beliau memang getol sekali menyerang "ketidakdewasaan" masyarakat dalam mensikapi fatwa dan perbedaan pendapat. Dan beliau bertekad mendewasakan masyarakat... ya... dg jalan berani melontarkan fatwa yg kontroversial. kalau tidak begitu kapan lagi umat ini dewasa? Begitu alasan beliau.



Meskipun beliau sbg ketua komisi fatwa MUI, namun beliau tegas mengatakan bahwa fatwa ulama itu tidak mengikat. Orang bebas mau pilih fatwa yg mana yang cocok dan sesuai. Mau ikut fatwa MUI, silahkan, tidak mau juga tidak apa-apa. Pendapat beliau ini sesuai dg pendapat Syekh Mahmud Syaltout dalam al-Islam aqidah wa syari'ah. Justru ulama NU dan Muhammadiyah yg mengatakan bahwa umat itu harus ikut fatwa ulama (anehnya dalam mengeluarkan fatwa mereka mengikuti arus masyarakat dan tak berani melawan arus. Sungguh banyak ulama yg sebenarnya secara diam-diam mendukung fatwa Abah saya soal Porkas itu. Bedanya, mereka tak berani mengungkapkannya, Abah saya berani Ini dikatakan langsung oleh KH. Syeichul Hadi Permono. Bahkan dalam salah satu seminar, ketika ada yg bertanya soal Porkas ke Abah saya, sewaktu Abah saya baru sedikit menjelaskan, penjelasan itu langsung disambung oleh KH. Sahal mahfudz. Abah saya juga kaget, ternyata beliau tahu dan setuju tho....



Di satu sisi kita protes ada ulama yg fatwanya dekat dg penguasa, di sisi lain kita menginginkan fatwa yg mengikuti hati masyarakat. Abah saya menolak keduanya. fatwa tidak mengikuti selera pemerintah dan masyarakat, namun mengikuti Qur'an dan hadis!



Di UNE saya meneliti ttg fatwa di Indonesia selama orde baru. Kesimpulannya adalah benar ada sejumlah fatwa yg mendukung program pemerintah, namun itu tidak berarti fatwa tsb tidak berdasarkan dalil-dalil agama. Disamping itu, ada pula sejumlah fatwa yg jelas-jelas bertentangan dg maunya pemerintah (akhi Abu al-Fatih sudah menyebutkan sendiri contohnya).



Tentu saja penjelasan saya di atas sangat subyektif. Sehingga boleh jadi saya keliru. Mohon masukan dan tanggapannya, khususnya seputar fatwa yang mempertimbangkan keadaan masyarakat. Saya baru menjelaskan pendapat Abah saya, karena itu saya belum menunjukkan tanggapan saya atas pendapat beliau itu.



Insya Allah setelah mail ini diberi masukan terlebih dahulu.



Buat mas Saptadi, silahkan jangan ragu-ragu ikutan urun rembug. Ndak usah "minder", lha wong fatwa ulama aja nggak mengikat kok, apalagi "fatwa" kita-kita ini saya tunggu lho tanggapannya.....Atau bagaimana kalau topik diskusinya diganti saja, diganti dg yg mas Saptadi inginkan?

salam,

=nadir=





From: "Abu Al Fatih"

To: nhosen@metz.une.edu.au, spt@indosat.co.id

Cc: abu_fatih@hotmail.com

Subject: Re: Diskusi via Japri

Date: Thu, 01 Oct 1998 23:33:50 PDT



Assalamu 'alaikum wr.wb.



Mas Nurfarid dan Mas Hosen,

saya ingin melanjutkan diskusinya. Namun sebelumnya, saya - dengan sepenuh hati - ingin mengatakan (terutama pada Mas Hosen) bahwa meski saya sempat memberikan ilustrasi kasus "perbedaan (madzhab)" ini dengan kasus ayahanda (abah) Mas Hosen, namun insya Allah saya benar-benar tidak memiliki "masalah pribadi" apa-apa dengan beliau. Bahkan beliau adalah salah seorang yang sangat saya hormati kredibilitas keilmuannya (kesan ini setidaknya saya peroleh ketika membaca tulisan beliau dalam buku "Ijtihad dalam Sorotan" terbitan Mizan itu) dan juga kepribadiannya (tambahan ilustrasi Mas Hosen menambah keyakinan saya tentang hal tsb.)



Hal ini perlu saya kemukakan,

untuk menghindari miss-perception, karena saya - boleh jadi - telah menyentuh wilayah yang "sensitif", dan karenanya diskusi kita dikuatirkan menjadi "kurang nyaman" (sebenarnya saya sangat meyakini akan kedewa-saan Mas Hosen dalam mensikapi hal ini, namun ini menyangkut "suara hati" saya sendiri yang sering gundah sendiri bila menyangkut hal-hal yang "sensitif'. Wallahu a'lam)

Baiklah sekarang saya lanjutkan,

Insya Allah saya sepenuhnya dapat memahami sikap dan pendirian "abah" (KH Ibrahim Hosen) dalam hal ber-fatwa itu. Mengeluarkan fatwa diiringi "sikap berhati-hati namun tetap konfiden", menjadikan "hanya" nash Kitabullah dan As-Sunnah sebagai konsep rujukan dalam berfatwa dan "tidak peduli" apakah pemerintah (umaro') dan masyarakat (ummat) menjadi senang (karena kepentingannya terwakili) atau sebaliknya, menghargai dan memberikan ruang untuk "tidak sepakat" pada fatwa sendiri, dst., tentunya adalah sikap yang sangat positif dan sejalan dengan sikap dan metodologi para (ulama) shalafush-shalih.



Konon Buya Hamka pernah mengungkapkan,

Posisi para ulama di MUI itu ibarat "kue bika", yang harus menjalani "nasib" terpanggang dari atas (pemerintah) dan dari bawah (ummat). Bila ber-fatwa dengan tendensi "melawan" kebijakan pemerintah, maka harus siap "dipanggang" oleh pemerintah, dan sebaliknya bila ber-fatwa "melawan" kecenderungan ummat maka juga siap-siap "dipanggang" oleh kemarahan ummat.



Dalam konteks "kue bika" itu,

Sikap yang ditunjukkan KH Ibrahim Hosen di atas memang cukup proporsional. Memang bukan kepentingan kelompok - baik pemerintah atau non-pemerintah - yang harus dirujuk dalam ber-fatwa, melainkan nash Kitabullah dan As Sunnah saja.



Yang kemudian menarik perhatian saya adalah,

penjelasan Mas Hosen tentang sikap "abah" yang semangat "pluralitas" beliau dalam mensikapi keragaman "fatwa" di satu sisi, juga diiringi dengan sikap "penolakan" beliau terhadap fenomena "ulama jendela" (yang bila ber-fatwa hanya mengikuti kemana arah angin) di sisi lain.

Sementara itu, ajakan beliau untuk "berhati-hati" dalam mengeluarkan fatwa (sebagaimana nasehat beliau pada Mas Hosen itu) di satu sisi, juga tidak mengurangi keyakinan dan keberanian beliau dalam melontarkan fatwa tentang porkas itu.



Sungguh saya menangkap dimensi "kedalaman" beliau sebagai sosok seorang ulama dalam berbagai ilustrasi tersebut.



Kalaupun kemudian saya memberanikan diri mengomentari,

Tentunya bukan dalam konteks saya ber-adu hujjah dengan beliau (jelas-jelas saya "nggak level" dalam urusan ijtihad ini, apalagi dibandingkan dengan beliau yang di kalangan para ulama / MUI saja dipercaya sebagai Ketua Komisi Fatwa, yang menunjukkan pengakuan objektif dari para ulama tentang ketinggian "posisi" beliau dalam urusan ini).Seperti istilah Mas Hosen di artikel "Mengapa Ulama Berbeda Pendapat?" itu, bagaimana mungkin saya dapat "mengukur dalamnya sungai dengan sejengkal kayu".



(Yang saya ketahui, salah satu teknologi yang dapat dipergunakan untuk mengukur kedalaman sungai / laut itu adalah dengan teknologi resonansi / pantulan suara. Dari suatu alat yang mengirimkan sinyal suara / getaran tertentu ke dalam sungai / laut, kemudian ditunggu beberapa saat untuk "menangkap" pantulannya dalam beberapa saat kemudian. Dari rumusan cepat rambat suara di dalam air dan waktu tempuh suara itu kembali serta dari kualitas suara yang sampai pada alat penerima tersebut, ditambah beberapa rumusan matematis tertentu, maka akan diperoleh angka kedalaman laut / sungai itu. Benar nggak tuh Mas Nurfarid / Mas Hosen ?)



Lepas dari masalah "pengukuran" kedalaman sungai / laut itu,

Dalam diskusi ini saya lebih cenderung ingin "menyelami" kedalaman lautan ilmu dari para 'alim di antara saudara-saudara saya sesama muslim (seperti halnya Mas Hosen dan Mas Saptadi Nurfarid) dan kemudian mengambil kemanfaatan optimal dari diskusi ini, ketimbang menyibukkan diri dengan urusan "pengukuran" itu.



Saya lanjutkan lagi (maaf bahasa saya tadi agak "mengembang" dari konteks diskusi),

Kasus perdebatan yang muncul atas fatwa porkas KH Ibrahim Hosen di masa lalu itu, telah mengingatkan saya dengan kasus perdebatan yang tidak kalah "seru"nya yang terjadi di kawasan lain dunia Islam. Yang saya maksud adalah "polemik" antara beberapa sosok ulama yang masyhur di dunia Islam pada kasus "fatwa perang teluk" di Arab Saudi dan kasus "fatwa bunga bank" di Mesir.



Kasus pertama "fatwa perang teluk" di Arab Saudi,

Terjadi antara fatwa yang dikeluarkan mufti kerajaan Arab Saudi - Syaikh Abdullah bin Baz - dengan bantahan dari ulama kontemporer / tokoh pergerakan Al Ikwanul Muslimin - Syaikh Dr. Yusuf Al Qordhowi. Syaikh bin Baz - rahimahullah - sempat mengeluarkan fatwa tentang "boleh" nya negeri Islam meminta bantuan militer dari negeri kafir (Amerika Serikat) dalam mempertahankan diri (dari kemungkinan serbuan Irak ?), dengan merujuk pada berbagai referensi dalam nash dan pendapat para ulama salaf. Sementara Dr.Yusuf Qordhowi membantah fatwa tsb. dengan sumber referensi yang kurang lebih sama, sambil mengingatkan pada konteks situasi kontemporer (saat itu) dan implikasi dari fatwa tersebut bagi dunia Islam. Polemik tentang masalah ini sempat dimuat (terjemahannya) di majalah terbitan Persis Bangil "Al Muslimun".



Sementara kasus kedua "fatwa bunga bank" di Mesir,

Yakni antara fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti Mesir (saya lupa namanya) dengan (juga) Dr. Yusuf Al Qordhowi di sisi lain. Tak ada perdebatan antara keduanya tentang haramnya riba, namun yang menjadi masalah adalah keluarnya fatwa mufti Mesir kala itu tentang di-"halalkan"-nya produk perbankan berbasis bunga (deposito / obligasi dsj.) pada bank pemerintah Mesir. Uraian panjang tentang hujjah Dr.Qordhowi menanggapi masalah ini dapat dibaca pada buku "Bank Tanpa Bunga" terbitan Usamah Press (tulisan oleh Dr. Yusuf Al Qordhowi sendiri - yang diterjemahkan oleh Dr.Daud Rosyid).



Dalam kedua kasus yang saya sebutkan di atas,

Tentunya tidak ada seorang manusia (muslim) pun - yang jujur - yang berani mengatakan bahwa salah satu dari kedua kubu ulama yang berbeda pendapat itu adalah orang-orang yang "tidak pantas ber-fatwa" atau termasuk ke dalam kelompok "ulama jendela". Lalu bagaimana kita mensikapi perbedaan antara para ulama tersebut dalam menyampaikan fatwanya ?



Dalam kedua kasus di atas,

Saya pribadi cenderung pada pandangan Dr. Yusuf Al Qordhowi, bukan saja pada "produk fatwa" nya namun juga pada "metodologi" penyimpulan fatwa-nya. Yang saya maksud "metodologi fatwa" Dr.Qordhowi di sini adalah sebagaimana disebutkan oleh beliau dengan istilah "5 agenda fiqh modern" (lihat buku "Fiqhul Ikhtilaf - bainal-Ikhtilafil-masyru' wa Tafarruqil-madzmum) yakni :

1. Fiqhul-Muazanat (pemahaman tentang pertimbangan2 mashlahat / madharat)
2. Fiqhul-Aulawiyaat (pemahaman tentang skala prioritas)
3. Fiqhus-Sunan (pemahaman tentang sunnatullah)
4. Fiqhul-Maqashid (pemahaman tentang tujuan penetapan hukum syara')
5. Fiqhul-Ikhtilaf (pemahaman tentang perbedaan pendapat)

Dr. Qordhowi mengakui bahwa 5 agenda fiqh ini bukanlah asli / orisinil ide beliau, karena para ulama salaf terdahulu pun juga sudah mengemukakannya , meski mungkin dalam peristilahan yang berbeda. Hanya saja tidak dapat dipungkiri bahwa beliau (Dr.Qordhowi) adalah ulama yang "mempopulerkan" kembali istilah 5 agenda fiqh ini.(bagaimana komentar Mas Nurfarid dan Mas Hosen tentang 5 agenda fiqh ini?).



Di antara yang menarik dari Dr.Yusuf Al Qordhowi ini,

Adalah frame pemikiran beliau yang dapat diakomodasikan oleh sekian banyak "kubu yang berbeda pendapat". Saya punya pengalaman pribadi juga tentang masalah ini (insya Allah pada kesempatan lain akan saya ceritakan), dimana saya pernah berbeda pendapat dengan seseorang, padahal kedua-nya (kami) sepakat sebagai pengikut "madzhab Al Qordhowi" (fenomena ini jelas bukan sesuatu yang "baru" di dunia fiqh).



Meski demikian,

Saya pun tidak menutup mata, bahwa ada sementara kelompok yang juga sedemikian rupa mencerca Dr.Qordhowi, seperti di antaranya saudara-saudara muslim kita yang meng-klaim sebagai Jama'ah Salafy (di majalah "Salafy" edisi yang lampau, Al Ustadz Ja'far Tholib sampai menggelari Dr.Qordhowi dengan Yusuf Al Quraidhoh, plesetan nama Qordhowi menjadi Quraidhoh yang dinisbatkan pada Yahudi bani Quraidhoh di masa Rosulullah Saw itu).

Yang menarik, yang menanggapi hujatan itu adalah dari Jama'ah Salafy sendiri, yakni Ustadz Syarif bin Muhammad Fuad Hazza' yang sampai menantang "mubahalah" Ustadz Ja'far Tholib. Pendukung Dr.Qordhowi sendiri kemudian malah ingin melerai niat "mubahalah" itu (cerita ini saya lanjutkan nanti)



Wallahu a'lam



Wassalam



Abu Al Fatih



NB.

1. Insya Allah saya ndak se-misterius itu kok Mas Hosen. Dan yang pasti, saya bukanlah guru Mas Hosen yang lagi turun gunung. Boleh jadi dengan diskusi ini saya malah ingin "naik gunung" dengan menimba ilmu dari Mas Hosen dan Mas Nurfarid.
2. Saya lagi bikin HP nih, tapi kesulitan meng-up load file saya ke provider (saya pakai tripod). Ada saran ?



From: "Nadirsyah Hosen"

To: "Abu Al Fatih" ,

Cc:

Subject: Re: Diskusi via Japri

Date: Sun, 4 Oct 1998 23:59:46 +1000



Assalamu 'alaikum wr wb

Mas Saptadi masih sariawan nih Sementara menunggu komentar mas Saptadi, saya tanggapi beberapa point dari akhi Abu al-Fatih:



1. maksud Abah saya dg ulama jendela adalah ulama yg memberi fatwa bukan berdasarkan nash tetapi berdasarkan selera masyarakat. Tentu saja kasus Fatwa Syaikh bin Baz dan Dr. Yusuf Qardhawi tidak berlaku di sini. Walaupun mereka berbeda pandangan toh mereka merujuk pada nash juga. Harus buru-buru saya tambahkan bahwa mengingat fatwa itu tidak mengikat maka sebenarnya kita tidak perlu khawatir dg keragaman fatwa diantara ulama. Pernyataan 'ulama jendela' sebenarnya lebih ditujukan pada para da'i kita yang tidak menguasai ilmu usul al-fiqh dan fiqh namun sudah berani berfatwa atau berani menyalah-nyalahkan fatwa ulama lainnya. Gampangnya lihat saja kalau saat Ramadhan ...banyak sekali tanya jawab di tv yang jawabannya "ngaco". Pak Quraish juga prihatin dg fenomena ini. Semakin banyak orang yg tak tahu diri bahwa dirinya sebenarnya tak tahu. Pernahkah kita jumpai da'i di tv yg menjawab, "wah maaf saya tak tahu jawabannya!". Kalau dia jawab begitu, dia khawatir massa tak akan mengundang dia lagi.


2. Lalu bagaimana mensikapi perbedaan fatwa ulama? Kan akhi Abu al-Fatih sendiri yg menuliskan rumusan : tarjih, al-jam'u dan tawaquf (sehingga ditoleransi saja). Jadi, dua kasus yg disebut oleh akhi tak perlu dipertentangkan .....


3. Saya tertarik dg pengakuan bhw akhi pengikut mazhab "Qardhawi". Saya terkejut juga bahwa salafi membid'ahkan beliau. Saya terus terang, tidak bisa menerima jalan pikiran Salafi itu. Setahu saya mereka berpandangan:



1. cukup Qur'an dan sunnah saja. Bagi saya ini tidak cukup. Kita juga butuh pendapat a'immatul mujtahidin. Kita juga butuh disiplin ilmu lainnya spt usul al-fiqh, fiqh,'ulumul qur'an dan hadis, tarikh bahkan tekhnologi.


2. pengamal hadis dhaif itu berbuat bid'ah. Bagi saya kriteria suatu hadis dianggap dhaif itu berbeda diantara ulama. Kedua, dhaif suatu hadis tidak berarti hadis itu invalid. Dhaif itu kan baru dari segi sanad, jadi selama tidak betentangan matan hadis itu dg Qur'an, ya masih bisa diamalkan utk fadhail amal. Bukan berarti jatuh pada bid'ah.


3. nggak boleh taqlid. Saya kira kita ini kan ada tingkatan awam ada tingkatan ulama. kalau masih awam silahkan taqlid dalam bidang fiqh (bukan aqidah). jangan coba-coba berijtihad. Kalau sudah ulama, ya jangan betah taqlid terus dong.....waktunya anda buat ijtihad. Lucunya, kaum salafi seringkali bilang ini hadis dhaif. Kata siapa? kata al-Albani. Heheheh mereka taqlid juga sama al-Albani



Saya ingin mendengar komentar akhi Abu al-Fatih terhadap hal-hal di atas. O, ya....asyik juga cerita perdebatan soal Qardhawi dan salafi itu. Terusin dong....bagaimana akhirnya. Apa jadi mubahalah? terus apa ada komentar ulama lain?



Selamat atas HP nya......Saya belum bisa komentar ....abis ini saya baru mau menuju ke sana.



salam,

=nadir=



ps.

Saya akan ke tanah air insya Allah sekitar 10 Nopember 1998. Asyik juga kalau kita bisa bertemu dan berdiskusi langsung. Mungkin nggak ya?



From: Saptadi Nurfarid

Date: Mon, 5 Oct 1998 12:53:29 +0700



Assalamu'alaikum wr. wb.



Masa' minder nggak boleh. Ulama saja 'kan boleh minder tu ?

Nampaknya semakin 'panas' diskusi kita Pak Nadir dan Pak fatih, hanya gara-gara saya sibuk, jadi ya, masih belum juga saya nimbrung. Untung Pak Nadir mancing-mancing pakai bilang saya sariawan, kalau minder memang. gara-gara itu Pak nadir, folder Islam, di salah satu bilik intranet perusahaan sepi-sepi saja. So...saya mohon ijin dari untuk ngepanasinnya dengan forward dari diskusi kita. Saya yakin berbobot, apalagi kok sekedar bermanfaat. Don't worry, quotanya tidak dibatasin, isinya bebas..jadi tak ada jeleknya kalau saya forwardkan ke teman-teman kerja saya. Minder memang penyakit sulit disembuhkan.



Saya juga tidak setuju dengan pendapat Salafi Pak Nadir+Pak Fatih, begini alasan saya ...



Pertama, orang yang selalu dikit-dikit bilang cukup berpulang dengan Al Qur'an dan Al Hadits, justru sering terjebak sendiri pada taqlid yang sangat terburu-buru. Misalnya begini, caranya dia menggali dua sumber besar itu lewat siapa, bukankah dengan percaya berlebih-lebihan pada sesorang yang memberi petunjuk agar terbatas pada Al Qur'an dan Al hadits itu juga bukan taqlid namanya. Atau kurang wawasan gitu ? Soalnya mana ada sih sebuah metode penggalian yang cukup dengan membaca Al Qur'an dan Al Hadits, lalu terus ngerti ? Pasti, si "guru"-nya juga memberi penjelasan, rincian, dll lalu apa itu namanya ? Jadi, nggak jelas batasan sebenarnya. Apakah taqlid itu ataukah pembatasan wawasan akal kita saja ? Mungkin ini juga keterbatasan saya akan pengertian taqlid itu sendiri. Mohon dikoreksi kalau salah.



Kedua, sebenarnya ego saja. Dengan sedikit gaya dengan berpendirian cukup Qur'an dan Hadits, dia sebenarnya mau mengeliminir segala sepak terjang para sahabat dan pembaharuan (sorry kalau saya mengistilahkan pembaharuan Pak Nadir + Pak fatih) yang dibawa mereka. Padahal sebenarnya dia ini mempercayai sesuatu atau seseorang yang jauh lebih bodoh dan terbelakang dari para sahabat Nabi sendiri. Dus, apalgi mendengarkan apa yang keluar dari mulut orang sekitarnya.



Pak Nadir dan Pak Fatih mesti setuju dengan saya, untuk menggapai luasnya Islam itu, kita harus berani mengarungi keleluasaan Samudera Islam yang dibawa oleh warna-warni corak karakter para sahabat Nabi, para tabi'it, tabi'in, hingga orang-orang sekitar kita, dari zaman ke zaman....tentunya ini didasari semangat cinta kasih dan rendah hati terhadap mereka terlebih dahulu. Jadi, yang taqlid beginian ini justru, nggak punya kepekaan dalam membaca kauniyah, bisanya cuma yang qur'aniyah saja. Sudah gitu, stop...berhenti nggak berkembang.



Ketiga, setuju banget tentang sikap kita terhadap hadits dhaif. Dhaif 'kan sanadnya, jadi tidak pasti invalid, kalau bisa diamalkan dan mendatangkan fadhail amal apa masalahnya. Secara nggak sadar banyak lho hadits dhaif yang populer di kalangan kita ? Contoh saja, itu lho hadits yang mengatakan bekerjalah di dunia seakan mau hidup selama-lamanya..dst. Contoh lain, Ihya' 'Ulumudin banyak sekali memunculkan hadits dhaif tapi ternyata bisa ditujukan untuk fadhail amal. Siapa sih yang tidak mengakui kehebatan Al ghazali dalam Ihya' ?



Kembali lagi ke soal perbedaan pendapat ulama.



Ada yang banyak kita kaji dalam mengambil hikmah ini. Contoh dua karakter Abu Bakar dan Umar bin Khotthob, banyak perbedaan bahkan semenjak Nabi masih hidup. Nabi SAW sering kali mengakomodasi pendapat Abu Bakar yang terkenal lemah lembut, tapi suatu kali Nabi SAW keterusan mengambil pendapat Abu Bakar, Allah memperingatkan langsung lewat Al Qur'an. Bahkan ada ayat yang redaksinya sama dengan apa yang dituturkan Umar bin Khotthob. Ini artinya, pendapat berbeda itu biasa semenjak Nabi SAW. Dan pengakomodasian terhadap pendapat dua yang berbeda selalu mutlak diperlukan. Jika suatu kali harus mengambil salah satu, tentu dengan pertimbangan yang matang dan luas, dan boleh jadi tidak selalu permanen untuk dipakai di sepanjang masa dan tempat.



Contoh saja, pengangkatan Khalid yang ditentang Umar. Mungkin lain ceritanya jika sejak Abu Bakar usul Umar itu dilaksanakan. Bisa Rumawi pun tak terengkuh.



Contoh lain yang tak kalah menarik, usul Umar tentang pembukuan Al Qur'an. Dalam banyak riwayat perdebatan antara Abu Bakar dan Umar sebenarnya cukup panjang dan rumit. Karena Abu Bakar selalu berpendirian,"Bagaimana mungkin aku mengerjakan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah SAW." Padahal kita tahu, keistimewaan kekhalifahan pertama ini justru dikarenakan pendiriannya yang kuat dalam memegang apa yang ada, dan diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Ketika dijumpai persoalan pembukuan Al Qur'an sudah barang tentu Abu Bakar sedikit owel untuk melaksanakan, karena pesan pun Rasulullah SAW tidak.



Nabi SAW untuk menghormati keduanya tanpa perbedaan dengan menggambarkan Abu Bakar bagai Isa As dan Umar yang bagai Nuh AS.



Saya nggak cuma bermadzab "Qardhawi" malahan. Bahkan saya menyukai Quraish Shihab ( intermezo: Quraish Shihab, Suhartois nggak ya ?).

Pak Quraish lebih terbuka dan transparan dalam menggelar perbedaan itu. Dia beberkan setiap dalam bukunya jika dijumpai adanya perbedaan itu. Pembaca dipersilakan memilihnya. Positip kedua, cakrawala pemikiran pembaca juga tambah luas dan mantap. Artinya segala kemungkinan pilihan itu pun dibeberkan. Ini 'kan fair namanya ?



Suatu kali beliau disodok kok selalu memberikan sesuatu yang mengambang

dalam buku-bukunya, beliau jawab dengan mengambil contoh bijak, sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh pemikiran Islam terdahulu, Al Qur'an itu bagai intan - berlian, setiap sudut bisa kita temukan keindahan yang berbeda-beda, akan tetapi selalu kita temukan di setiap sudut pandang itu corak keindahan yang menakjubkan. Jika Al qur'an saja bersikap begitu, apalagi pendapat ulama ?



Mungkin bisa juga mengambil contoh yang ini.

Umar bin Khotthob pernah membentak salah seorang sahabat Nabi yang lain (kalau tidak salah Abu Dzar Al Ghifari ). Dikarenakan sahabat ini cinta sekali dengan hadits, beliau gemar menceritakan hadits-hadits Nabi SAW kepada siapa pun dan di mana saja. Saat itu Umar sedang punya program terhadap umat Islam untuk mencintai Al Qur'an. Umar takut, kecintaan pada Hadits dikarenakan keindahannya itu, menjadikan lupa keindahan Al Qur'an dan penggalangan cinta Al qur'an oleh Umar bin Khotthob. Nah, keputusan dalam mencintai Al qur'an dan Al Hadits saja harus seimbang dan tepat menempatkan. Apalagi ke soal menolak dan menerima pendapat ulama yang berlebih-lebihan dan terburu-buru ?



Kalau salah, karena nggak sehebat Pak Nadir dan Pak Fatih, mohon dibetulkan saja, nggak usah minder.



Dan terimakasih.



Wassalamu'alaikum Wr. Wb.



Saptadi Nurfarid

Waman ahsanu minallahi shibghah ?



Date: Sun, 4 Oct 1998 21:25:27 -0500

From: Abu Al Fatih



Assalamu 'alaikum wr.wb.



Saya tanggapi lagi ya Mas Hosen (Mas Nurfarid kapan nih ikutan ngobrol-ngobrol-nya? ),



1. Saya tadinya berpikir istilah "ulama jendela" itu dikaitkan dengan masalah "keberanian" dan "kemantapan pendirian" dalam menyatakan ijtihadnya dan bukannya pada masalah "kapabilitas keilmuan "nya (seperti para muballigh dari kalangan artis yang dicontohkan Mas Hosen itu).


2. Dalam ilustrasi kasus perbedaan fatwa Dr.Qordhowi dengan Syaikh Bin Baz dan Mufti Mesir itu, sebenarnya penekanan saya bukan pada masalah "hak untuk berbeda" nya dari para 'ulama tsb. Akan tetapi lebih kepada "sudut pandang" dalam melihat "implikasi" dari masing-masing fatwa itu. Untuk jelasnya saya tambahkan ilustrasinya :

o Fatwa "bantuan militer Amerika" untuk Saudi dan Kuwait (juga fatwa beliau yang lain tentang bolehnya "berdamai" dengan Zionis Israel di wilayah Palestina - yang juga ber-"polemik" dengan Dr.Qordhowi) berdampak luas bagi semakin dalamnya intervensi Amerika di negara-negara kawasan teluk, yang "madharatnya lebih besar ketimbang manfaatnya" (belakangan saya dengar Syaikh Bin Baz "meralat" fatwa nya, namun edisi revisi ini hanya beredar di kalangan yang sangat terbatas / berupa rekaman suara beliau di kaset yang beredar melalui murid-muridnya di Jami'ah Islamiyah di Madinah).
o Fatwa "produk deposito / obligasi berbasis bunga" di bank pemerintah Mesir merupakan satu set-back / langkah mundur bagi potensi berkembangnya sistem ekonomi berbasis syari'ah yang antara lain ditandai dengan munculnya berbagai Financial Institution seperti ; bank, asuransi, gadai, capital ventura, pasar modal, dll, yang mencoba meng-aplikasi-kan syari'ah dalam praktek ber-ekonomi (terlepas dari masih banyaknya hal-hal yang perlu disempurnakan dari masing-masing Syari'ah Business Institution itu).
o Fatwa "porkas" (ehm, maaf nih Mas Hosen, saya "ungkit" lagi. Udah janji lho untuk nggak "emosi"), membuat pemerintah "merasa" punya legitimasi untuk melanjutkan programnya, sementara di sisi lain "efek berantai" dari penyelenggaraan porkas / SDSB terus berlangsung (semangat "berjudi" meningkat di kalangan rakyat kecil yang bermimpi kaya mendadak, aqidah rusak dengan meningkatnya praktek "dukun nomor", populasi orang "gila" karena kehilangan materi dan "akal sehat" bertambah, yang kesemuanya bisa ditunjukkan dengan angka-angka statistik).



1. Tentang kasus "mubahalah" itu, saya ndak tahu persis bagaimana "akhir" nya. Waktu itu saya sempat menerima fotocopy-an surat edaran dari Ustadz Syarif bin Muhammad Fuad Hazza' yang berisi "tantangan mubahalah" kepada Ustadz Ja'far Tholib (salinan suratnya bisa saya kirim bila berminat. Tapi cukup etis nggak ya ? Oh ya, catatan saya ; polemik antara Ustadz Ja'far dan Ustadz Syarif Hazza' ini tidak berkaitan dengan hujatan Ustadz Ja'far Tholib kepada Dr.Qordhowi di majalah Salafi itu. Tentang hujatan itu, Dr. Qordhowi tidak pernah menanggapinya). Kemudian beberapa teman-teman saya berniat datang di "arena mubahalah" itu (saya sendiri tidak ikut) pada waktu dan tempat yang tertera dalam surat edaran. Khabarnya, pada saat yang ditentukan, keduanya hadir beserta anggota keluarga masing-masing untuk "bersiap-siap" ber-mubahalah. Namun dalam pertemuan itu, "duel" tersebut berhasil dihindarkan, karena banyak yang hadir saat itu mengingatkan keduanya untuk membatalkan niat mereka ber-mubahalah. Namun pada pertemuan selanjutnya (setelah itu mereka masih bertemu lagi), khabarnya "mubahalah"nya jadi. Bagaimana "out put" dari mubahalah itu hingga saat ini saya ndak tahu (cobalah tanya ke "abah", mungkin sebagai tokoh MUI, beliau mengetahui hal ini, karena ini terjadi di wilayah Indonesia).



Demikianlah tanggapan saya untuk sementara ...



Wassalam



Abu Al Fatih



NB.
2. Bagaimana Mas Hosen, sudah ketemu siapa "saya" sebenarnya ?
3. Istrinya Mas Hosen sudah melahirkan belum ? Sebagai Ayah baru, cerita-cerita dong pengalaman "spiritual" nya.
4. Kalau memang 10 Nopember nanti ke Jakarta, insya Allah kita bisa ketemu (tapi niatkan untuk silaturahmi, bukan "diskusi" atau apalagi "debat". Eh, Mas Nurfarid ini di Indosat Jakarta kan ? Kenal dong dengan teman-teman saya di sana ?)





Date:5 Oct

From:Nadirsyah Hosen



Assalamu 'alaikum wr wb

Waduuh semakin lama berdiskusi dg sobat berdua, semakin jatuh cinta saya pada agama Allah ini. Alhamdulillah.



Mas Saptadi,

Kaget juga lho, ternyata diskusi kita sudah menyebar hehehehe kalau gini nggak japrian lagi dong. Tetapi saya percaya dg niat baik mas Saptadi. Jadi, dengan menyerahkan pada iradat-Nya, saya tak keberatan diskusi ini diforward. Mudah-mudahan begitupula halnya dg akhi Abu al-Fatih. Lama-lama saya harus manggil ustadz nih tampaknya.



Akhi Abu al-Fatih,

saya setuju dg "implikasi" fatwa yang akhi jelaskan. Ini pulalah kritik saya pada fuqaha. (ingat di email lalu saya baru memaparkan "pembelaan" Abah saya, saya belum melangkah mengungkapkan "kritik" saya) Benar bahwa fatwa-fatwa tsb tidak "dipesan" dan tidak menjual agama Allah, namun tanpa sadar fatwa itu menguntungkan salah satu pihak dan merugikan umat. Sampai disini saya merasa fuqaha dituntut untuk belajar ilmu non fiqh, yaitu psikologi, sosiologi, politik, budaya, etc. Fuqaha dituntut peka akan implikasi yang bisa lahir akibat fatwanya; sebuah implikasi yang sering tak disadarinya.



Inilah kritik saya pada Abah saya. Pendekatan beliau melulu dari aspek fiqh. bahkan pilihan-pilihan yg beliau ambil sangat pragmatis dan eklektik. Beliau melupakan aspek lain. Belakangan beliau sadar, sehingga beliau berpesan pada saya (sebuah pesan yang sangat mengharukan dan menjadi pemicu semangat saya): "Abah ini hanyalah khadimul fiqh (pelayan fiqh). Selain fiqh Abah tak mengerti apapun. Kamu harus jadi khadimul 'ilmi (pelayan ilmu). Kamu harus belajar beragam ilmu!" Yup, ternyata pendekatan fiqh saja tak menyelesaikan masalah.



Fatwa Abah saya ttg porkas itu benar. Benar dalam arti benar menurut kaidah-kaidah fiqh yang beliau pelajari. Namun sesuatu yang benar belum tentu baik. Baik dalam arti implikasinya haruslah menguntungkan ummat.



Contoh lain: ketika KH. hasan basri memfatwakan bahwa menimbun barang itu dosa. fatwa itu benar namun kurang baik. Kenapa? karena fatwa itu hanya menyerang rakyat kecil yg panik akibat krisis moneter. fatwa itu seharusnya juga menyerang praktek monopoli yg selama ini dipraktekkan konglomerat.



Saya sendiri yang berada cukup dekat dg kalangan MUI seringkali terkejut dan tidak memahami langkah-langkah MUI (spt apel siaga melawan komunis itu. saya langsung telpon Abah saya dan menyampaikan penyesalan saya bhw MUI masih saja menggunakan jargon orde baru). Bedanya dg orang lain, saya tak menuduh bahwa MUI itu fatwanya dipesan, namun saya mengkritik pihak MU yang melulu melihat aspek fiqh belaka dalam mengeluarkan fatwanya.



Di atas sudah saya sebut bahwa fuqaha sebaiknya juga memahami disiplin non-fiqh. tentu saja sulit buat Abah saya untuk membaca buku-buku sosiologi, politik, dll Untuk itu jalan keluarnya adalah Ijtihad jama'i. Inilah yang seharus-nya dikembangkan. Ulama harus membuka diri berdialog dg sejumlah pakar umum sebelum mengeluarkan fatwa. Karena consern saya inilah saya seka-rang sedang menulis thesis "Ijtihad Jama'i in Indonesia (1926-1998)" di UNE. kalau thesisnya sudah selesai nanti baru saya bisa bicara banyak soal ini.



Well, ijtihad memang perlu terus dilakukan. Namun para ulama juga harus dituntut mengakui keterbatasan ilmunya. Kitab-kitab fiqh yg dijadikan pegang-an itu ditulis ratusan tahun yg lalu. Boleh jadi sebagian isinya masih relevan, boleh jadi harus dimodifikasi, atau malah banyak yg harus dibuang. Ijtihad baru harus dilakukan. Ijthad jama'i (ijtihad secara kolektif) menjadi pilihannya.



MUI, NU dan Muhammadiyah bukan berarrti tidak sadar akan hal ini. Mereka sendiri telah melakukan ijtihad jama'i selama ini. Yang perlu terus dikembang-kan adalah masuknya tenaga-tenaga muda dan masuknya para pakar disiplin umum. Selama ini ijtihad secara kolektif baru dilingkungan para ulama saja, belum lintas disiplin.



MUI sudah bagus dg memasukkan Dr. Nur Mahmudi Ismail (sekarang ketua Partai keadilan) sbg salah satu anggota tetap komisi fatwa. Beliau ahli pangan, sehingga membantu MUI dalam memutuskan soal makanan halal-haram. Ini langkah bagus.



Akhi Abu al-fatih,

Anak saya belum lahir nih. Masih betah di perut ibunya. Mudah-mudahan tak

lama lagi. Dokter bilang sih 13 Oktober, tetapi Wallahu a'lam.



Saya belum bisa menebak siapa akhi Abu al-Fatih nih. heheheh jadi ingat Sophie's World, itu tuh sebuah novel sejarah filsafat yg penuh dg misteri .....Sophie diajari filsafat oleh guru yg misterius....Sekarang Nadir diajari ttg islam oleh guru yg juga misterius hehehehe



Mas Saptadi,

senang rasanya mas Saptadi sudah nggak sariawan lagi. Waduuuh kalau gitu

setelah 10 Nopember nanti kita bisa ketemu bertiga nih di Jakarta ..... Niatnya bukan cuma silaturahmi, tetapi juga ditraktir oleh sobat berdua. Sewaktu mau berangkat ke Australia, saya ditanya,"kira-kira apa yg bakal anda rindukan nanti di sana..." Saya dg arogan bilang,"nggak ada!" Eh nyatanya saya merindukan, sop kaki kambing, siomay, martabak manis dan pangsit hehehehehe



salam,

=nadir=





From: "Abu Al Fatih"

Date: Tue, 06 Oct 1998 18:01:22 PDT



Assalamu 'alaikum wr.wb.



Mas Nurfarid dan Mas Hosen,

tampaknya sudah semakin banyak hal yang kita "sepakati". Setidaknya sampai saat ini kita sudah sepakat bahwa Islam sangat meng-"akomodasi"-kan perbedaan pendapat. Ilustrasi Mas Hosen baik pada tulisan / artikel di hp nya, lalu ilustrasi Mas Nurfarid tentang kasus "perbedaan" Abu Bakar dan Umar di hadapan Rosulullah saw, semakin memperjelas arah pemikiran kita tentang sikap Islam terhadap perbedaan ini.



Saya pun tertarik dengan rencana tesis Mas Hosen itu,

Yakni soal "Ijtihad Jama'i in Indonesia (1926-1998)" (kalau sudah jadi saya boleh minta satu hard / soft copy nya ya ?). Dari rencana tesis itu, saya jadi "curiga" nih, jangan-jangan Mas Hosen se-madzhab dengan saya juga, "madzhab Dr.Qordhowi". Soalnya, setahu saya gagasan Mujtahid (bahkan Mujaddid) Kolektif itu sudah cukup lama dipopulerkan (dan diimplementasikan) oleh Dr. Yusuf Al Qordhowi (itu ditulis di beberapa buku karangan Dr.Qordhowi, salah satunya di buku "Masalah-Masalah Islam Kontemporer" = "Liqaat wa Muhawarat haula Qodhoya al Islam wa al 'Ashr", terbit tahun 1992). Sebagai "teman se-madzhab", saya belum dengar nih respon Mas Hosen soal "5 agenda fiqh modern" itu (dan juga dari Mas Nurfarid yang ber-madzhab Dr.Quraish Shihab).



Saya lanjutkan diskusinya ya,

Salah seorang teman saya - namanya Budi - sempat menyatakan kekuatirannya dengan indikasi adanya "penyusupan" aliran pemikiran (yang disebutnya) "relativisme", ke dalam semangat "pluralitas pendapat" dalam Islam ini. Maksudnya "relativisme" adalah, pemikiran yang ujung-ujungnya ingin me-relatif-kan segala sesuatu (kecuali relativitas itu sendiri tentunya). Artinya para "penyeru relativisme" ini tidak mau diikat oleh sesuatu "otoritas" apapun, kecuali "kebebasan berbeda pendapat" itu sendiri. (mungkin bentuk pemikiran radikal seperti inilah yang sempat dikuatirkan Mas Hamzah ketika mengingatkan kemungkinan "pluralitas" menjadi berhala itu ya ?).



Bagaimana tuh komentar Mas Nurfarid dan Mas Hosen ... ?



Wassalam



Abu Al Fatih





From: "Abu Al Fatih"

Date: Thu, 08 Oct 1998 18:58:12 PDT



Assalamu 'alaikum wr.wb.



Mas Nurfarid dan Mas Hosen,

Sambil menunggu lanjutan diskusi nya, saya mohon "ijin" nya untuk memuat jalannya diskusi japri-an ini di hp saya. Ada teman saya yang (sudah membaca diskusi "Perennial" di hp saya) berminat mengikuti jalannya lanjutan diskusi tersebut dan minta di forward ke e-mailnya. Tapi saya pikir akan lebih baik jika dimuat di hp saja, sekalian nanti kita "mengundang" peserta diskusi lainnya untuk semakin menambah wawasan (seperti Mas Hamzah misalnya).



Tapi tentunya,

Insya Allah saya tidak akan memuat "Diskusi via Japri" ini di hp saya sebelum ada "izin" dari Mas Nurfarid dan Mas Hosen (mungkin ada usulan lain yang dipandang lebih baik ... ?)



Bagaimana ... ?



Wassalam



Abu Al Fatih





Date: Fri, 9 Oct 98 12:49:01 +1000

From: Nadirsyah Hosen



Bismillah,

saya setuju. Paling tidak, diskusi kita ini bisa jadi model sebuah diskusi keislaman yang sarat dg harga-menghargai dan penuh toleransi, walaupun kita juga bisa berbeda pendapat.



Saya belum sempat membahas lima agenda-nya pak Qardhawi.

Sudah tahu pak Qardhawi punya HP juga?



Saya sedang sibuk mempersiapkan kepulangan saya ke Jakarta

dan masih menunggu baby yang akan lahir.



Namun saya usahakan utk menyempatkan diri membaca dan menanggapi mail-mail sobat berdua.



salam,

=nadir=



ps.

Heheheh tahu nggak, saya hampir tiap hari masuk HP-nya akhi Abu al-Fatih. Menunggu kapan selesainya bio data beliau.