Sunday, July 18, 2010

النَّاسَ كَإِبِلٍ مِائَةٍ لَا يَجِدُ الرَّجُلُ فِيهَا رَاحِلَةً

النَّاسَ كَإِبِلٍ مِائَةٍ لَا يَجِدُ الرَّجُلُ فِيهَا رَاحِلَةً
Manusia itu ibarat seratus unta,hampir-hampir saja (dari seratus itu) engkau tidak mendapatkan satu unta pemikul beban
(HR Muslim dari Ibnu Umar)

Saturday, July 17, 2010

Islam dan Pluralisme Agama

Islam dan Pluralisme Agama
Perspektif Pemikiran Islam Klasik

Penyusun :
Dr. M. Hidayat Nur Wahid

Diringkas oleh :
Abu Al Fatih

Daftar Isi :
1. Muqoddimah
2. Beberapa Pengertian tentang Islam, Pemikiran Islam dan Pluralisme
3. Rujukan Pemikir Islam Klasik Tentang Islam dan Pluralitas Agama
4. Pemikiran Islam Klasik Tentang Pluralisme Beragama
5. Islam dan Toleransi Beragama
6. Penutup

Substansi / Tema Pokok Makalah,
Pemikiran Islam Klasik mengakui "Pluralitas" agama-agama dan menolak "Pluralisme" beragama.

Ringkasan / Ulasan :

Pada Bab "Beberapa Pengertian tentang Islam, Pemikiran Islam dan Pluralisme",
Dr. Hidayat menguraikan definisi / pembatasan beberapa peristilahan di dalam makalahnya, seperti kata "Islam", "Pemikiran Islam" dan "Pluralisme", yang beliau rujuk dari beberapa Kitab / buku seperti ; Al Qur'an Al Karim, Al Mu'jam Al Wasith, Ar Rod 'ala Al Manthiqiyyin karangan Ibu Taimiyah, Haqiqotu Al Fikru Al Islami karangan Prof.Dr.Abdurrahman Az Zunaidi, Kamus Websters New Collegeate Dictionary, Kamus Al Maurid karangan Munir Al Ba'labaki, dan Kamus A Dictionary of the social sciences karangan Dr.Zakki Al Badawi.

Kemudian dalam bab "Rujukan Pemikir Islam Klasik tentang Islam dan Pluralitas Agama", Dr. Hidayat menguraikan tentang perbedaan "Pluralitas" dan "Pluralisme". Yang pertama diakui oleh Islam sementara yang kedua ditolak.

Dalam kata "pluralitas" terkandung makna pengakuan atas realitas keberagaman agama, yang dimasa Rosulullah Saw pun telah terjadi interaksi dengan berbagai "agama" (= Musyrikin Quraisy, Yahudi, Nashrani, Majusi dan Hindu), yang disikapi dengan beberapa doktrin ayat Al Qur'an (QS. 3:64, QS. 3:19 dan 85, QS. 2:256, QS. 60:8).

Adapun tentang fenomena "pluralisme" tampak dalam ungkapan penolakan musyrikin Quraisy terhadap risalah Muhammad saw yang membawa pengertian tentang tauhid, dimana mereka menganggap aneh satu Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran, sebagaimana terekam dalam QS Shod ayat 5. Dan tawaran "pluralisme" ini telah dijawab dengan turunnya QS Al Kafirun (lihat makalah tsb. halaman 3).

Penolakan terhadap "pluralisme" dan pengakuan pada "pluralitas" juga terlihat pada beberapa fragmen berikut :

1. Penolakan Rosulullah Saw atas klaim ummat Nashrani dan Yahudi yang ketika diajak kepada Islam mereka meng-klaim bahwa mereka juga telah Islam (bahkan) sebelum Rosulullah Saw. Tapi Rosulullah Saw berkata "Kadzabtuma" = Kalian berdusta. (selanjutnya lihat Asbabun Nuzul QS Ali Imron 68, oleh Al Wahidi).

2. Ajakan kepada penguasa lokal di sekitar Jazirah Arab, baik yang beragama Nashrani maupun Majusi, yang umumnya diawali ajakan "Aslim - Taslam" = masuklah agama Islam agar mendapatkan keselamatan (lihat Siroh Ibnu Hisyam).

3. Dalam peristiwa Piagam Madinah dan berbagai peristiwa interaksi sosial Rosulullah Saw dengan orang-orang non-muslim.

4. Wasiat Umar bin Khoththob r.a. agar berbuat baik pada ahlu dzimmah

5. Ancaman Ali bin Abi Tholib k.w. untuk memecat petugasnya bila men-zholimi ahlu dzimmah (lihat Al Khoroj oleh Abu Yusuf).

6. Perjanjian Umar bin Khoththob selaku Khalifah Islam dengan penduduk Ilya' (Al Quds) yang menjamin kebebasan beragama serta menjaga hak-hak religius ummat-ummat yang berlainan agama (lihat Tarikh Ath Thobari).

7. Sikap orang-orang nashrani di Jordan dan Mesir yang lebih menerima orang-orang Islam daripada Bizanthium / Romawi meski mereka satu agama, karena mereka menilai orang-orang Islam lebih adil dan lebih manusiawi serta lebih mementingkan kasing sayang (lihat Futuh Asy Syam oleh Al Baladhuri dan Al Azhadi, juga di buku Mu'amalatu Ghoiru Al Muslimina fil Mujtama' Islami oleh Prof.Dr. Mahmud Salam Az Zanati)

Lalu dalam bab "Pemikiran Islam Klasik tentang Pluralisme Beragama",
Dr.Hidayat menguraikan lebih lanjut tentang berbagai ilustrasi dalam menjelaskan corak pemikiran Islam klasik tentang pluralisme dan pluralitas ummat beragama serta sikap terhadap penganut agama-agama non Islam :

1. Iklim kebebasan berdialog antar agama, yang terlihat pada riwayat seorang pendeta nashrani Yahya Ad Dimasyqi dan muridnya Theodore Abu Qurroh yang bebas menuliskan risalah untuk membela agama nashrani dan berdialog dengan ummat Islam di masa Daulah Bani Umayyah (lihat Tarikh Ath Thobari) dan juga pendeta Timotheus yang sering menyelenggarakan debat terbuka tentang masalah agama di hadapan Khalifah Bani Abasiyah (lihat Ad Da'wah ilal Islam oleh Toynbee).

2. Munculnya para ulama / pemikir Islam dari berbagai madzhab yang secara bersama mensikapi tantangan dialog antar agama tersebut (point 1 di atas), yang menolak agama Nashrani dan Yahudi dengan berangkat dari ke-otentik-an rujukan agama Yahudi dan Nashrani yakni Kitab Taurat dan Injil, dengan pembuktian berdasarkan sejarah, komparasi antara ayat-ayat di dalam Taurat dan Injil, logika serta informasi-informasi dari Al Qur'an mengenai kedua kitab tersebut.

Dalam bagian akhir pada bab ini ("Pemikiran Islam Klasik tentang Pluralisme Beragama"),
Dr. Hidayat mengakui bahwa dari berbagai madzhab pemikiran Islam klasik, agaknya pemikiran Tasauf Falsafi lah yang sering mengungkap tentang pluralisme dalam istilah "Wihdatul Adyan". Hal itu dinyatakan oleh Al Hallaj (tulisan Dr.Musthofa Hilmi), juga Ikhwan Ash Shofa (tulisan Dr. Umar Faruq), serta Ibnu Arabi (tulisan Dr. Abdurrahman Al Wakili).

Meskipun, Dr.Hidayat juga menguraikan analisis-nya, khususnya tentang Ikwan Ash Shofa dan Ibnu Arabi yang dalam sebagian tulisannya yang lain justru me-nampakkan penolakannya atas "pluralisme" itu (lihat makalah tsb. halaman 8-10)

(Dan sejarah hari ini tampaknya berulang, dan akan terus berulang, dimana "pintu Tasauf Falsafi" kerap menjadi entry point bagi sebagian ummat Islam untuk menggagas ide-ide "pluralisme" beragama, dengan berbagai versi, peristilahan dan corak kecenderungannya - AAF).

Terakhir pada bab "Islam dan Toleransi Beragama",
Dr. Hidayat menjelaskan bahwa berdasarkan rujukan para pemikir Islam klasik terhadap Al Qur'an dan As Sunnah serta perilaku Khulafa' Ar Rasyidin, sekalipun para pemikir Islam klasik itu menyanggah ajaran-ajaran agama selain Islam dan tidak mengenal konsep pluralisme beragama, tetapi mereka sangat mementingkan faktor toleransi beragama, hidup rukun, saling menghormati dan bersama-sama membangun peradaban dan kehidupan sosial. Ada beberapa landasan pemikiran mengapa tanpa faktor "pluralisme" para pemikir Islam meyakini adanya toleransi beragama serta mempraktekkannya, antara lain :

1. Islam mengajarkan tentang kehormatan ummat manusia (QS. Al Isra : 70)

2. Al Qur'an menyebutkan bahwa kewajiban seorang Rosul adalah hanya mengingatkan tidak untuk memaksakan (QS. Al Ghosyiyah : 21-23)

3. Al Qur'an menyebutkan bahwa selain kewajiban berda'wah dengan cara-cara Qur'ani, juga disebutkan adanya perbedaan-perbedaan agama, dan yang demikian itu juga bagian dari masyiah Allah, yang memang telah memberikan kebebasan untuk memilih (QS. Al Kahfi : 28 dan QS. Yunus : 89)

4. Al Qur'an menyuruh untuk berlaku adil, terhadap siapa pun termasuk non muslim, dan memerintahkan untuk berakhlaq mulia sekalipun terhadap orang-orang musyrik (QS. Al Maidah : 8)

5. Wasiat Rosulullah Saw terhadap ahlu dzimmah serta uswah hasanah beliau dalam berhubungan dengan ahlu kitab maupun orang-orang musyrik,

6. Sikap Rosulullah Saw ini diteruskan oleh para Khalifah Rasyidah pengganti beliau ridwanullah 'alaihim.

7. Kemudian para pemikir Islam klasik, khususnya para fuqoha, selain melakukan prinsip tasamuh (tolerans) terhadap ahlu dzimmah, , bahkan seringkali membela kepentingan ahlu kitab dan dzimmah, seperti ; Abu Yusuf Al Qodhi yang menyampaikan kepada Khalifah Harun Al Rosyid agar mementingkan hak-hak ahlu dzimmah dan tidak men-zholimi mereka, kemudian Ibnu Hazm dan Al Mawardi juga mengemukakan hak-hak dan kewajiban ahlu dzimmah, dan Ibnu Taimiyah mempraktekkan tasamuh ini ketika meminta pembebasan tawanan perang bangsa Tartar yang terdiri atas orang Islam dan Non Islam.

8. Sikap ini berlanjut hingga hari ini, sehingga sekalipun sangat meyakini akan adanya kebenaran mutlak yaitu Islam yang sekaligus merupakan jaminan keselamatan di dunia dan di akhirat (dan karenanya tidak mengenal pluralisme), tetapi mereka dalam waktu yang sama, dan berangkat dari pemahaman ideologi yang sama, justru sangat mementingkan faktor toleransi dengan agama lain, dan sangat menerima adanya realitas pluralitas agama dan ummat beragama. Bersama mereka dibangunlah peradaban dan tersebarlah nilai Rahmatan lil alamin nya Islam.

Wallahu a'lam bish showab.

Friday, July 16, 2010

Seven Habits, Kaizen dan Islam

SEVEN HABITS, KAIZEN, DAN AJARAN ISLAM
Oleh : Jen Z.A. Hans, Ph.D
Ketua Program Magister Management STIE IPWI

Struktur sosial ekonomi masyarakat kita berbentuk piramida, yang didominasi
oleh kelas bawah, diikuti oleh kelas menengah dan kelas atas. Bentuk
struktur sosial yang kita inginkan adalah belah ketupat yang didominasi
oleh kelas menengah, dengan sedikit kelas atas dan kelas bawah di kedua
ujungnya. Transformasi struktur sosial ekonomi dari berbentuk piramida ke
belah ketupat dihadapkan dengan kendala pola pikir determinisme yang
mendominasi kalangan menengah ke bawah. Dua pola pikir determinisme yang
banyak dianut adalah: Pertama, "genetic determinism", yang pada dasarnya
mengatakan bahwa kita menjadi memble karena kita mewarisi gen-gen
ke-memble-an di dalam chromosom sel-sel tubuh kita dari nenek moyang kita
secara genetis (faktor keturunan); Kedua, "environmental determinism", yang
mengatakan bahwa kita menjadi memble karena faktor lingkungan. Kedua aliran
determinisme sering dijadikan excuse untuk menjelaskan posisi kita yang
berada di bawah. Kalau ditelusuri, pola pikir determinisme berasal dari
pakar perilaku Ivan Pavlov.

Adalah Ivan Pavlov yang mula-mula mengemukakan teori mengenai terdapatnya
hubungan langsung antara Stimulus dan Respons. Melalui percobaannya dengan
anjing yang dikondisikan secara berulang-ulang setiap kali anjing disodori
sekerat daging sambil dibunyikan bel (stimulus), lidah anjing dijulurkan
dan air liurnya keluar (respons). Setelah terkondisi, anjing tetap saja
mengeluarkan air liurnya ketika bel dibunyikan walaupun tidak disertai
dengan sekerat daging. Nah, Ivan berpendapat bahwa manusia tidak ubahnya
seperti anjing yang cenderung memberikan respons tertentu untuk setiap
stimulus yang datang. Itulah sebabnya anak-anak sekolah (mahasiswa) pelaku
tawuran kalau ditanya mengapa mereka tawuran pada umumnya menjawab bahwa
mereka merasa tersinggung (respons) atas perbuatan atau perkataan yang
dilakukan atau diucapkan oleh pihak lawan (stimulus).

Victor Frankl dalam bukunya "Men Search for Meaning" membantah teori Pavlov
dengan mengatakan bahwa manusia sangat berbeda dengan anjing. Bagi manusia,
antara stimulus dan respons terdapat "freedom to choose" (kemerdekaan untuk
memilih). Kita memiliki kebebasan untuk memilih respons terhadap setiap
stimulus yang datang, karena Allah Sang Pencipta melengkapi manusia dengan
Furqon (berupa Al Qur'an yang membedakan antara respons yang haq dan yang
batil), "independent will" (kehendak merdeka), "self awareness (kesadaran
diri), "conscience (kata hati), dan imagination (imajinasi). Respons yang
kita pilih tergantung pada makna yang kita asosiasikan pada stimulus yang
datang.

Perbedaan antara orang-orang yang berada di kelas menengah ke bawah dan
mereka yang berada di kelas menengah ke atas yang terpenting adalah dalam
kebiasaannya. Benar bahwa orang-orang yang termasuk kelas menengah ke atas
adalah orang-orang yang beruntung, karena keberuntungan diperoleh ketika
persiapan bertemu dengan kesempatan. Disadari atau tidak, yang dinamakan
kesempatan atau peluang selalu berada di sekeliling kita setiap saat. Hanya
mereka yang telah dan selalu mempersiapkan diri sajalah yang dapat
mengenali dan menangkap setiap peluang yang datang. Bagi mereka yang tidak
mempersiapkan diri, boro-boro menangkap peluang, bahkan peluang yang
nyata-nyata disodorkan ke depan hidungnya pun disia-siakan karena tidak
menyadari bahwa yang ada di depan hidungnya itu adalah peluang.

Presiden Bill Clinton menilai bahwa daya saing bangsa Amerika mulai
tergeser oleh bangsa Jepang dan negara-negara industri baru di Asia. Salah
satu cara untuk mengembalikan keunggulan bangsa Amerika menurut Presiden
Clinton adalah dengan menerapkan "The Seven Habits of Highly Effective
People" (Tujuh Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif) yang ditulis oleh
Dr.Steven R. Covey. Kalau bangsa Amerika saja yang sudah maju mau belajar
dari Steven R. Covey, pasti ada hikmahnya bila kita juga mau mempelajari 7
kebiasaan Covey. Bukankah Rasulullah Saw pernah bersabda: "Hikmah itu milik
orang Islam, dimanapun kamu mendapatkannya ambillah".

Apakah kebiasaan itu ? Kebiasaan adalah pertemuan antara "knowledge"
(pengetahuan), "skill" (keterampilan) dan "desire" (keinginan).
Menghentikan kebiasaan merokok misalnya, tidak cukup dengan memiliki
pengetahuan tentang terdapatnya hubungan negatif antara merokok dengan
kesehatan dan mengetahui cara berhenti merokok. Kalau hanya "knowledge" dan
"skill" yang diperlukan, tentu tidak ada lagi dokter yang merokok. Mengubah
kebiasaan mensyaratkan ketiganya. Percaya atau tidak, faktor yang ketiga
yaitu keinginan, sangat dipengaruhi oleh makna yang kita asosiasikan pada
kebiasaan tersebut. Perokok misalnya mengasosiasikan merokok dengan
kenikmatan, sedangkan bukan perokok mengasosiasikan merokok dengan
penderitaan. Berikut ini adalah 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif.

Kebiasaan Pertama, Proaktif.
Proaktif bukan sekedar berinisiatif. Proaktif berarti suatu keyakinan bahwa
apa pun yang kita peroleh dalam hidup merupakan akibat pilihan respons kita
sendiri. Kebiasaan pertama merupakan kesadaran bahwa antara stimulus dan
respons terdapat "freedom to choose". Allah berfirman dalam Surat Ar-Rad
13:11 "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri". Kebanyakan orang berpikir
bahwa ketidakbahagiaan mereka disebabkan karena apa yang terjadi pada diri
mereka. Padahal yang benar adalah karena cara mereka memberi makna atas apa
yang terjadi. Selalu ada pilihan untuk bereaksi secara positif terhadap
situasi yang bagaimanapun negatifnya. Kemampuan untuk memilih respons
seperti yang dikemukakan di atas, merupakan fungsi dari kemampuan kita
memanfaatkan karunia Allah berupa Furqon (berupa Al Qur'an yang membedakan
antara respons yang haq dan yang batil), "independent will" (kehendak
merdeka), "self awareness" (kesadaran diri), conscience (kata hati) dan
"imagination" (imajinasi). Dengan kata lain, kebiasaan proaktif menyatakan
bahwa kitalah pemrogram kehidupan kita sendiri.

Kebiasaan Kedua, Mulai Dengan Akhir Dalam Pikiran.
Kebiasaan kedua adalah kebiasaan memiliki visi, misi dan tujuan. Kebiasaan
ini menunjukkan arah dan cara menjalani hidup serta menentukan hal-hal yang
penting dalam hidup. Islam mengajarkan pentingnya goal setting ketika
Rasulullah Saw menyatakan setiap perbuatan tergantung niatnya. Kebiasaan
mulai dengan akhir dalam pikiran mengajarkan agar kita menuliskan
programnya.

Kebiasaan Ketiga. Dahulukan Yang Harus Didahulukan.
Mendahulukan yang utama merupakan kebiasaan yang menuntut integritas,
disiplin dan komitmen. Kebiasaan ketiga merupakan perwujudan dari
kemerdekaan memilih hanya melakukan hal-hal penting yang telah ditentukan
pada kebiasaan kedua. Allah Swt berfirman dalam Surat Al Mu'minun 23:1-3
"Sungguh berhasil orang-orang mukmin, yaitu orang-orang yang khusyu' dalam
sholat mereka dan orang-orang yang berpaling dari perbuatan dan percakapan
yang sia-sia", dan dalam surat Al-'Ashr 103:1-3 "Demi waktu, sesungguhnya
manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh,
saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran".
Juga dalam Surat Al Insyirah 94:7-8 "Maka apabila engkau telah selesai
(dari suatu urusan), maka kerjakanlah (urusan yang lain) dengan
sungguh-sungguh dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap".
Kebiasaan ketiga menekankan pentingnya memanfaatkan waktu.

Kebiasaan Keempat, Berpikir Menang-Menang.
Berpikir menang-menang berasal dari karakter yang dicirikan dengan
kejujuran (menyesuaikan kata dengan perbuatan), integritas (menyesuaikan
perbuatan dengan kata), kematangan (keseimbangan antara ketegasan dan
toleransi), dan mentalitas kelimpahan (keyakinan bahwa karunia Allah
tersedia tanpa batas bagi siapapun yang mengikuti sunnatullah atau
"causality law").

Kebiasan Kelima, Berusaha Mengerti Lebih Dulu - Baru (minta) Dimengerti.
Kebiasaan kelima menunjukkan bahwa "the secret of living is giving"
(rahasia kehidupan adalah memberi). Rasulullah Saw bersabda bahwa tangan di
atas lebih mulia daripada tangan yang di bawah. Petani yang berhasil
mengetahui rahasia hidup tersebut, sehingga ketika ia bersawah ia tidak
meminta sawah agar memberinya panenan, tetapi ia terus memberi dengan
menyemaikan benih, menanam, menyirami, memupuk, menjaga tanaman padi dari
serangan hama dan penyakit sampai tiba saat memanen. Dengan terus memberi,
petani mendapat balasan yang berlipat ganda, dari satu butir berkembang
menjadi tujuh tangkai dan masing-masing tangkai menghasilkan seratus butir,
berarti 700 kali lipat. Allah berfirman dalam Surat Al Zalzalah 99:7-8
"Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat
balasannya dan barangsiapa mengerjakan keburukan seberat zarrah, dia akan
melihat balasannya" dan dalam Surat Ar-Rahman 55:60-61 "Tiadalah balasan
kebaikan, melainkan kebaikan pula, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang
kamu dustakan". Juga dalam Surat Al Baqarah 2:261 "Perumpamaan orang yang
memberi di jalan Allah, adalah seumpama sebuah biji yang menumbuhkan tujuh
tangkai, pada tiap tangkai itu berisi seratus biji, dan Allah
melipatgandakan bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Kebiasaan Keenam, Wujudkan Sinergi.
Bersinergi berarti keseluruhan lebih bernilai daripada jumlah
bagian-bagiannya. Mengenai pentingnya bersinergi, Khalifah Umar bin Khattab
pernah berujar bahwa kejahatan yang terorganisir dapat mengalahkan kebaikan
yang tidak terorganisir. Yang harus diingat adalah agar dapat bersinergi
setiap anggota memiliki lima kebiasaan di atas yaitu proaktif, mulai dengan
akhir dalam pikiran, dahulukan yang utama, berpikir menang-menang dan
berusaha mengerti lebih dulu baru dimengerti. Allah Swt mengingatkan agar
kita hanya bersinergi dalam melakukan kebaikan bukan dalam berbuat dosa dan
permusuhan (Al Maidah 5:2).

Kebiasaan Ketujuh, Mengasah Gergaji.
Rasulullah mengajarkan agar kita terus mengasah gergaji fisik, mental,
sosial / emosional, dan spiritual kita ketika beliau bersabda: "Orang Islam
adalah orang yang begitu sibuk memperbaiki diri, sehingga tidak memiliki
waktu tersisa untuk mencari-cari aib orang lain. Orang Islam adalah orang
yang hari ini lebih baik daripada kemarin dan hari esoknya lebih baik dari
hari ini. Amal perbuatan yang paling disukai Allah adalah amal yang
dilakukan terus menerus walaupun sedikit."

Orang Jepang sangat menekankan pentingnya melakukan perbaikan diri secara
terus menerus (Kaizen). Dalam buku "Strategic Management", Dess dan Miller
mengemukakan tiga metode Kaizen.

Pertama, Experimentation.
Filosofi experimentation adalah "if you fail at the first time, try, try, …
and try again" "I will persist until I succeed". Ada empat langkah
experimentation:
1. Know what you want (SMART = Specific, Measurable, Achievable,
Reasonable, and Time-limit).
2. Action (if you don't do anything you will be a dreamer or a member of
NATO, no action talk only).
3. Observe whether your action leads you to what you want or not.
4. If not, change your approach. Repeat the process over again until you
get what you want.

Contoh paling bagus untuk experimentation adalah keberhasilan Thomas Alpha
Edison setelah melakukan 10 ribu kali percobaan untuk menemukan bola lampu,
dan Kolonel Sanders yang telah ditolak sebanyak 1009 kali sebelum memulai
bisnis Kentucky Fried Chicken-nya. Allah Swt berfirman dalam Surat Al
Baqarah 2:153 "Hai orang-orang yang beriman, mintalah kepada Allah dengan
sabar dan salat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar". Orang
yang sabar adalah orang yang tabah melakukan experimentation untuk terus
meningkatkan kualitas iman, hidup, pikir, kerja dan karyanya (5k). Mana
yang lebih sabar, tukang bakso yang sejak umur 17 tahun mulai mendorong
gerobak bakso dan masih mendorong gerobak bakso yang sama setelah mencapai
usia 40 tahun, atau tukang bakso yang ketika usia 17 tahun mendorong
gerobak bakso, setelah berusia 40 tahun memiliki waralaba bakso di setiap
mal ?

Kedua, Benchmarking.
Daripada melakukan "trial and error" melalui experimentation, ada cara lain
yang lebih mempercepat perjalanan menuju tempat yang kita inginkan yaitu
dengan "benchmarking". Benchmarking disebut juga "role modelling" atau
"reverse engineering". Empat langkah benchmarking:
1. Know what you want (SMART = Specific, Measurable, Achievable,
Reasonable, and Time-limit).
2. Find a model (someone, organization, or firm) that has got what you
want.
3. Observe what the model does.
4. Do the same thing as the model does or do it even better until you get
what you want.

Bangsa Jepang dikenal sebagai the greatest benchmarker in the world. Hampir
semua penemuan yang berguna bagi ummat manusia yang dilakukan melalui
metode experimentation oleh bangsa Amerika atau Eropa seperti mobil,
komputer, telepon, dan televisi telah di-benchmarking oleh bangsa Jepang
sehingga bangsa Amerika dan Eropa sendiri merasa terkaget-kaget melihat
merk Jepang seperti Honda, Toyota, Mitsubishi, Sony dan Hitachi membanjiri
pasar mereka. Singapore, Korea dan Taiwan mengikuti jejak yang telah
dilakukan Jepang. Fadel Muhammad dengan Bukaka Tekniknya memiliki ruang
yang disebutnya "Sontek Room" untuk menyontek penyontek sehingga garbarata
buatan Bukaka Teknik mulai digunakan di bandara negara yang diconteknya.
Allah menyuruh kita menerapkan benchmarking dalam Surat Al Ahzab 33:21
"Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan (role model) yang baik
bagimu, bagi orang orang yang mengharap rahmat Allah dan hari kemudian dan
banyak mengingat Allah". Rasulullah sendiri, seperti dikemukakan di atas,
menyuruh agar kita mengambil hikmah dari siapapun dan dari manapun, karena
hikmah itu milik orang Islam.

Ketiga, Outsourcing.
Metode Kaizen yang ketiga merupakan suatu kesadaran bahwa betapa pun
hebatnya seseorang tidak akan unggul dalam semua aspek kehidupan. Begitupun
suatu organisasi atau perusahaan tidak mungkin unggul dalam semua hal. Oleh
karena itu kadang-kadang diperlukan melakukan "oursourcing" yaitu mengambil
"source from outside" atau meminta bantuan pihak lain atau
men-subkontrak-kan hal-hal yang dapat dilakukan oleh pihak lain sepanjang
memenuhi tiga kriteria berikut: kualitasnya tinggi (high quality), harganya
murah (low price), dan pengirimannya tepat waktu (just-in-time delivery).
Allah Swt menyuruh kita melakukan "outsourcing" ketika berfirman dalam
Surat An Nahl 16:43 "Bertanyalah kamu kepada mereka yang berilmu, jika kamu
tidak mengetahui".

Alangkah indahnya ajaran Islam. Wajar jika Allah Swt dalam Surat Ar-Rahman
berulang-ulang mengajukan pertanyaan: "Dan nikmat Tuhanmu yang mana lagikah
yang kamu dustakan?" Dan dalam Surat Ibrahim 14:7 "Sungguh jika kamu
bersyukur, niscaya Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu
mengingkarinya, sungguh azab-Ku amat keras." Lagu yang sering dinyanyikan
anak saya dari Bimbo layak untuk direnungkan: "Ajarilah aku ya Allah,
mengenali karunia-Mu, begitu banyak yang Kau beri, begitu sedikit yang
kusadari. Ajarilah aku Ya Allah, berterima kasih kepada-Mu, agar aku dapat
selalu, mensyukuri nikmat-Mu".

Daftar Pustaka
1. Stephen R. Covey :
1990, 7 Habits of Highly Effective People
1992, Principle-Centered Leadership
1994, Daily Reflections for Highly Effective People: Living the 7
Habits of Highly Effective People Every day
2. John Naisbit, 1982, Megatrends: Ten New Directions Transforming Our
Lives.
3. Al Qur'an dan Hadits Rasulullah.

Tiga Sistem dalam Sholat

TIGA SISTEM DALAM SHOLAT

(disalin dari buku "As-Salam fil Islam", edisi Indonesia Penerbit Al Wa'yu Al Islami tahun 1992)



Pada salah satu ceramah, saya pernah berkata gurau kepada para pendengar yang cukup mendapat sambutan. Saya mengatakan ; bahwa sholat dalam agama Islam yang kita lakukan lima kali sehari semalam tidak lain kecuali latihan harian dalam rangka melaksanakan sistem sosial ; yaitu suatu kegiatan yang mencakup kebaikan sistem komunis, demokrasi dan diktatoris.

Para pendengar terheran-heran, lalu mereka bertanya ; "mengapa ?". Saya jawab ; sesungguhnya sesuatu yang paling baik dalam sistem komunis menopang arti persamaan dan menghapus segala perbedaan sosial serta memerangi kebanggaan terhadap milik pribadi yang dapat menimbulkan jurang pemisah. Tidak ada yang berhasil menunjukkan sistem pemerintahan ini kecuali bentuk-bentuk yang dirasakan dan disadari oleh seorang Muslim ketika ia berada dalam masjid. Semenjak ia memasukinya, ia merasakan bahwa masjid itu hanya milik Allah, bukan milik salah seorang makhluq-Nya. Tidak ada perbedaan antara bangsawan dan gelandangan., besar maupun kecil, pemimpin maupun rakyat. Tidak ada pilih kasih dan diskriminasi sosial. Bila muadzin mengangkat suaranya ; "Qodqomatisholah-Qodqomatisholah", semuanya sama di belakang imam bagaikan bangunan yang kokoh dan kuat.

Tidak ada seorangpun yang ruku' sebelum imam ruku', tidak ada yang sujud sebelum imam sujud, tidak ada yang bergerak atau diam kecuali mengikuti imam. Ini adalah suatu sistem yang paling baik dalam sistem diktator.

Bersatu dan disiplin dalam kehendak dan bentuk, akan tetapi imam itu sendiri terikat dengan ketentuan sholat dan undang-undangnya. Bila salah atau keliru dalam bacaan atau gerak, bagi anak kecil, orang tua, ataupun wanita yang sholat di belakangnya mempunyai hak penuh untuk menegurnya. Dan, bagi imam, walau bagaimanapun kedudukannya, harus menerima petunjuk itu dan memperbaiki kesalahannya. Tidak ada dalam sistem demokrasi yang lebih menarik dari kebaikan-kebaikan ini. Kelebihan apa yang terdapat pada sistem-sistem itu atas Islam ? Sedangkan Islam telah mengumpulkan kebaikan ini, lalu menjauhkan semuanya dari keburukan.

"Seandainya (Al-Qur'an) datang dari selain Allah, tentu mereka mendapatkan perselisihan di dalamnya" (QS An Nisaa : 82)

Tiga Sistem dalam Sholat

TIGA SISTEM DALAM SHOLAT
Oleh : Hasan Al Banna

Pada salah satu ceramah, saya pernah berkata gurau kepada para pendengar yang cukup mendapat sambutan. Saya mengatakan ; bahwa sholat dalam agama Islam yang kita lakukan lima kali sehari semalam tidak lain kecuali latihan harian dalam rangka melaksanakan sistem sosial ; yaitu suatu kegiatan yang mencakup kebaikan sistem komunis, demokrasi dan diktatoris.

Para pendengar terheran-heran, lalu mereka bertanya ; "mengapa ?". Saya jawab ; sesungguhnya sesuatu yang paling baik dalam sistem komunis menopang arti persamaan dan menghapus segala perbedaan sosial serta memerangi kebanggaan terhadap milik pribadi yang dapat menimbulkan jurang pemisah. Tidak ada yang berhasil menunjukkan sistem pemerintahan ini kecuali bentuk-bentuk yang dirasakan dan disadari oleh seorang Muslim ketika ia berada dalam masjid. Semenjak ia memasukinya, ia merasakan bahwa masjid itu hanya milik Allah, bukan milik salah seorang makhluq-Nya. Tidak ada perbedaan antara bangsawan dan gelandangan., besar maupun kecil, pemimpin maupun rakyat. Tidak ada pilih kasih dan diskriminasi sosial. Bila muadzin mengangkat suaranya ; "Qodqomatisholah-Qodqomatisholah", semuanya sama di belakang imam bagaikan bangunan yang kokoh dan kuat.

Tidak ada seorangpun yang ruku' sebelum imam ruku', tidak ada yang sujud sebelum imam sujud, tidak ada yang bergerak atau diam kecuali mengikuti imam. Ini adalah suatu sistem yang paling baik dalam sistem diktator.

Bersatu dan disiplin dalam kehendak dan bentuk, akan tetapi imam itu sendiri terikat dengan ketentuan sholat dan undang-undangnya. Bila salah atau keliru dalam bacaan atau gerak, bagi anak kecil, orang tua, ataupun wanita yang sholat di belakangnya mempunyai hak penuh untuk menegurnya. Dan, bagi imam, walau bagaimanapun kedudukannya, harus menerima petunjuk itu dan memperbaiki kesalahannya. Tidak ada dalam sistem demokrasi yang lebih menarik dari kebaikan-kebaikan ini. Kelebihan apa yang terdapat pada sistem-sistem itu atas Islam ? Sedangkan Islam telah mengumpulkan kebaikan ini, lalu menjauhkan semuanya dari keburukan.

"Seandainya (Al-Qur'an) datang dari selain Allah, tentu mereka mendapatkan perselisihan di dalamnya" (QS An Nisaa : 82)

Politik dalam Islam, suatu keharusan

POLITIK DALAM ISLAM, SUATU KEHARUSAN

oleh : Shofia M. Abdullah

Dari hp Ummu Itqon

" Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah "(Ali Imran : 110).

Allah SWT telah menetapkan bahwa kaum muslimin adalah umat yang terbaik diantara manusia. Status ini diberikan kepada kaum mulimin agar mereka menjadi pemimpin dan penuntun bagi umat-umat lain. Sayyid Qutb dalam Fii Zhilalil Qur’an menafsirkan bahwa yang layak menjadi pemimpin umat manusia hanyalah "orang-orang yang berpredikat terbaik". Karena ingin meraih predikat umat terbaik itulah, umat Islam terdahulu tidak pernah berhenti ataupun lemah semangatnya dalam perjuangan menyebarkan risalah Islam ke seluruh permukaan bumi. Mereka yakin bahwa metode untuk mewujudkan kebangkitan Islam hanyalah dengan menjadikan Islam sebagai pedoman hidup yang lengkap. Islam dijadikan sebagai pola kehidupan yang menyeluruh. Umat Islam percaya dan yakin bahwa hanya Islam yang mampu memecahkan seluruh urusan manusia secara sempurna, menyeluruh, praktis dan sesuai dengan fitrah kemanusiaan.

Namun saat ini umat Islam berada dalam kondisi dan situasi yang lemah serta paling rendah dalam memahami Islam. Kondisi ini telah terbukti menyebabkan segala bentuk pemikiran-pemikiran yang merusak menyusup kedalam tubuh umat Islam. Hal inilah yang mengakibatkan munculnya berbagai gangguan dan keresahan. Umat Islam cenderung mudah mengabaikan hukum-hukum Islam. Akhirnya kehidupan mereka merosot sampai ke taraf rendah. Dalam kondisi ini, umat Islam tidak memiliki peranan lagi dalam percaturan politik internasional.

Sebenarnya tidak ada cara lain untuk menyelamatkan umat dan membangkitkannya kembali menempati kedudukan mulia, selain dari mengembalikan umat pada sifat yang menjadikannya umat terbaik, yakni beriman kepada Allah SWT, melaksanakan amar ma’ruf dan mencegah kemungkaran (nahi mungkar), sebagaimana yang diungkapkan dalam ayat diatas.

Umat yang beriman kepada Allah SWT, konsekuensinya adalah menjadi umat yang tunduk hanya kepada Allah SWT. Yakni tunduk kepada ketentuan-Nya. Demikian pula umat yang melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar berarti umat yang menegakkan tolok ukur segala sesuatu berdasarkan ridlo dan murka Allah atau baik dan buruk menurut Allah. Hal ini berarti kedudukan mulia sebagai umat terbaik akan bisa diraih kembali oleh umat Islam, bila mereka mendasarkan pengaturan segala urusannya, bahkan urusan umat manusia (lainnya) diatas perintah dan larangan Allah SWT, yang termaktub di dalam kitabbullah dan sunah Rasul-Nya.

Berpolitik Hukumnya Fardlu

Politik senantiasa diperlukan oleh masyarakat manapun. Ia merupakan upaya untuk memelihara urusan umat di dalam dan di luar negeri. Kalau kita memandang seseorang dalam sosoknya sebagai manusia (sifat manusiawinya), ataupun sebagai individu yang hidup dalam komunitas tertentu, maka sebenarnya ia bisa disebut sebagai seorang politikus. Di dalam hidupnya manusia tidak pernah berhenti dan mengurusi urusannya sendiri, urusan orang lain yang menjadi tanggung jawabnya, urusan bangsanya, ideologi dan pemikiran-pemikirannya. Oleh karena itu setiap individu, kelompok, organisasi ataupun negara yang memperhatikan urusan umat (dalam lingkup negara dan wilayah-wilayah mereka) bisa disebut sebagai politikus. Kita bisa mengenali hal ini dari tabiat aktivitasnya, kehidupan yang mereka hadapi serta tanggung jawabnya.

Islam sebagai agama yang juga dianut oleh mayoritas umat di Indonesia selain sebagai aqidah ruhiyah (yang mengatur hubungan manusia dengan Rabb-nya), juga merupakan aqidah siyasiyah (yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan dirinya sendiri). Oleh karena itu Islam tidak bisa dilepaskan dari aturan yang mengatur urusan masyarakat dan negara. Islam bukanlah agama yang mengurusi ibadah mahdloh individu saja.

Berpolitik adalah hal yang sangat penting bagi kaum muslimin. Ini kalau kita memahami betapa pentingnya mengurusi urusan umat agar tetap berjalan sesuai dengan syari’at Islam. Terlebih lagi ‘memikirkan/memperhatikan urusan umat Islam’ hukumnya fardlu (wajib)sebagaimana Rasulullah bersabda :

"Barangsiapa di pagi hari perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan berlepas dari orang itu. Dan barangsiapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)".

Oleh karena itu setiap saat kaum muslimin harus senantiasa memikirkan urusan umat, termasuk menjaga agar seluruh urusan ini terlaksana sesuai dengan hukum syari’at Islam. Sebab umat Islam telah diperintahkan untuk berhukum (dalam urusan apapun) kepada apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, yakni Risalah Islam yang dibawa oleh

Nabi Muhammad SAW.

Firman Allah SWT:

"….maka putuskanlah (perkara) mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu….." (Al-Maidah : 48)

"…Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir ". (Al-Maidah :44)

Dua ayat di atas dan beberapa ayat lain yang senada, seperti surat Al-Maidah ayat 44,45, 47 dan 49 serta An-Nisaa’ ayat 65 menjelaskan bahwa kaum muslimin harus (wajib) mendasarkan segala keputusan tentang urusan apapun kepada ketentuan Allah, yakni hukum syari’at Islam.

Terlaksananya urusan umat sesuai dengan hukum syari’at Islam tidak hanya meliputi urusan dalam negerinya saja, melainkan juga urusan luar negeri. Hal ini karena kaum muslimin juga melakukan interaksi dengan negara-negara lain, yang dalam setiap pelaksanaannya harus selalu terikat dengan syari’at Islam.

Bentuk kepedulian kaum muslimin dengan segala urusan umat ini bisa berarti mengurusi kepentingan dan kemaslahatan mereka, mengetahui apa yang diberlakukan penguasa terhadap rakyat, mengingkari kejahatan dan kezholiman penguasa, peduli terhadap kepentingan dan persoalan umat, menasehati pemimpin yang lalim, mendongkrak otoritas penguasa yang melanggar syari’at Islam, serta membeberkan makar-makar jahat negara-negara musuh serta hal-hal lain yang berkenaan dengan urusan umat.

Berpolitik Untuk Urusan Dalam dan Luar Negeri

Banyak urusan rakyat yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin. Baik urusan pelaksanaan syariat Islam di dalam negeri ataupun yang menyangkut urusan luar negeri.

Di dalam negeri, kaum muslimin harus memperhatikan, apakah urusan umat dapat terpelihara dengan baik oleh negara. Mulai dari penerapan hukum pemerintahan, ekonomi, kesehatan, pendidikan, keamanan, aturan interaksi antar individu pria dan wanita serta seluruh kepentingan umat lainnya. Dengan demikian memperhatikan politik dalam negeri ini berarti menyibukkan diri dengan urusan-urusan kaum muslimin secara umum. Yaitu memperhatikan kondisi kaum muslimin dari segi peranan pemerintah dan penguasa terhadap mereka. Sudahkah pemimpin kaum muslimin (penguasa) melaksanakan langsung tanggung jawab terhadap rakyatnya, yang telah dibebankan Allah? Apakah seluruh urusan rakyat telah terpenuhi sesuai dengan hukum syara?

Aktivitas-aktivitas ini merupakan persoalan yang penting dan telah diwajibkan Allah SWT kepada umat Islam. Dengan demikian haram hukumnya bila kaum muslimun meninggalkannya.

Selain dari aktivitas politik dalam negeri, umat Islam juga harus menyibukkan diri dalam politik luar negeri. Hal ini dilakukan dalam rangka mengetahui strategi makar (tipu daya) negara-negara kafir terhadap kaum muslimin. Tindakan selanjutnya adalah membeberkan makar tersebut agar kaum muslimin waspada dan mampu menolak ancamannya. Di samping itu politik luar negeri ditegakkan dalam rangka menyebarkan da’wah Islam kepada seluruh umat manusia di bumi ini. Ini sudah menjadi kewajiban kaum muslimin. Sebab Islam diturunkan untuk seluruh manusia.

Oleh karena itu kewajiban berpolitik bersifat mutlak, baik berupa politik dalam negeri ataupun luar negeri. Pentingnya politik luar negeri ini karena aktivitas penguasa bersama negar-negara lain adalah bagian dari politik. Maka salah satu aktivitas politik luar negeri adalah mengoreksi aktivitas penguasa yang berkaitan dengan negara-negara lain.

Bila kita telaah secara mendalam aktivitas-aktivitas kenegaraan, maka pemeliharaan kepentingan umat yang dilakukan oleh negara (pemerintahan serta hubungan luar negeri) hukumnya wajib. Namun di sisi lain kaum muslimin harus pula mengetahui kebijakan-kebijakan negara ini. Karena bagaimana mungkin kaum muslimin bisa menyibukkan diri dalam berpolitik di dalam negeri yaitu mengoreksi tindakan-tindakan yang dilakukan penguasa, tanpa mengetahui berbagai kebijakan yang mereka lakukan. Bila kaum muslimin tidak mengetahui esensi tindakan penguasa ini, mereka akan menemui kesulitan dalam mengoreksi tindakan-tindakannya, dengan demikian menelaah secara mendalam aktivitas-aktivitas kenegaraan termasuk suatu hal yang wajib, sebagaimana wajibnya berpolitik itu sendiri.

Aktivitas menasehati dan mengoreksi tindakan penguasa (bila penguasa lalai dari penerapan hukum Islam) merupakan aktivitas penting yang harus dilakukan umat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata :

"Aku mendatangi Nabi SAW, lalu aku berkata : "Aku membai’atmu berdasarkan Islam Maka beliau mensyaratkan agar aku memberi nasehat kepada semua muslim"

lafazh (nasehat), berbentuk umum, termasuk di dalamnya adalah menolak tindakan lalim penguasa dan kelaliman musuh Islam terhadap kaum muslimin. Hal ini diartikan dengan menyibukkan diri dengan berpolitik di dalam negeri, dalam rangka mengetahui kebijakan yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya dan juga dalam rangka mengoreksi tindakan-tindakan mereka.

Sebagai contoh, ketika kaum pemimpin muslimin (penguasa Daulah Islamiyah) lalai dalam menerapkan hukum Islam atau mengeluarkan kebijakan negara yang bertentangan dengan syari’at Islam, maka rakyat berkewajiban untuk menasehatinya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda :

" Penghulu syuhada’ adalah Hamzah dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang lalim lalu menasehatinya, kemudian Ia di bunuh".

Dari Abi Umamah, ia berkata :

" Ada seseorang yang datang menghadap kepada Rasulullah, jihad apakah yang paling baik? Beliau mendiamkannya. Ketika beliau melempar jumrah kedua, dia bertanya kembali kepada beliau, namun beliau pun tetap tidak menjawabnya. Maka pada saat melempar jumrah aqabah, dimana beliau (ketika itu) sudah memasukan kaki beliau keatas pelana (kuda) untuk menaikinya, beliau saw bertanya :’Mana orang yang bertanya tadi ?’ Dia menjawab : ‘Saya, Ya Rasulullah.’ Beliau kemudian bersabda : ‘ Adalah kata-kata yang hak (kalimatu haqqin), yang diucapkan dihadapkan seorang penguasa yang zalim." (Ibnu Majah)

Menasehati penguasa yang lalim memang membutuhkan keberanian dan pengorbanan yang tinggi. Namun imbalan yang dijanjikan Allah SWT sangatlah besar. Bagi seorang muslim yang meyakini sepenuhnya bahwa hanya Allahlah satu-satunya tempat kembali, maka ia pun akan senantiasa berusaha dan berjuang untuk meraih kemuliaan ini.

Da’wah dan Politik

Bila kemudian kita kembalikan kepada tanggung jawab umat yang harus mengemban da’wah Islam keseluruh dunia, maka aktivitas da’wah ini tidak akan bisa dilakukan dengan mudah kecuali bila umat memahami politik pemerintahan negeri-negeri tersebut, yaitu politik pemerintahan negara yang berkuasa (yang rakyatnya mereka da’wahi). Mengemban da’wah adalah fardlu. Dalam hal ini seseorang tidak akan berhasil kecuali dengan memahami masalah politik secara keseluruhan (dalam dan luar negeri), maka memahami masalah politik adalah fardlu pula bagi kaum muslimin. Sebagaimana kaidah sya’ra menyebutkan :

"apabila suatu kewajiban tidak terlaksana dengan sempurna kecuali dengan suatu perbuatan, maka perbuatan tersebut hukumnya adalah wajib"

Dengan demikian ketika kaum muslimin mendapat tanggung jawab mengemban da’wah Islam kepada seluruh manusia, maka menjadi kewajiban bagi kaum muslimin untuk selalu mengikuti perkembangan dunia dengan kesadaran penuh, memahami masalah-masalah dan berbagai kondisinya, mengenali kecenderungan negara dan rakyatnya, mengikuti aktivitas perpolitikan yang terjadi di dunia (internasional), memperhatikan rencana politik negara-negara mengenai strategi penerapan politik dan tata car hubungan antara sebagian negara dengan negara lainnya, termasuk manuver-manuver politik yang akan dilakukan suatu negara. Mereka (kaum muslimin) harus memahami percaturan politik dunia Islam dalam konstalasi percaturan politik internasional. Semua ini dilakukan agar kaum muslimin mudah untuk menetapkan cara-cara menegakkan, memapankan dan mempertahankan eksistensi negara mereka di tengah-tengah posisi internasional di dunia ini. Dengan demikian kaum muslimin akan dapat mengemban da’wah keseluruh penjuru bumi.

Bagaimana Dengan Kaum Muslimin Saat Ini ?

Pada kondisi seperti sekarang ini, kaum muslimin masih belum menyandarkan seluruh pengaturan kehidupannya dengan hukum-hukum yang diturunkan oleh allah SWT kepada mereka. Secara umum umat Islam (termasuk di Indonesia) belum menjadikan Islam sebagai pandangan hidupnya. Yaitu menjadikan aqidah Islam sebagai landasan seluruh pengaturan urusan kehidupannya. Pandangan hidup yang diajarkan aqidah Islam adalah halal dan haram. Sedangkan metode operasional (untuk merealisasikan pandangan halal-haram tersebut) adalah dengan membangun keterikatan terhada um syara’. Maka pandangan tersebut selalu memandang kehidupan dengan standar halal dan haram. Apa saja yang yang halal, baik persoalan tersebut wajib, mandub (sunah), maupun mubah, akan diambil tanpa ragu-ragu. Sesuatu yang makruh, akan diambil dengan rasa khawatir. Sedangkan yang haram, tidak akan diambil sama sekali.

Bila kita perhatikan saat ini aqidah Islam belum diambil dan dimiliki oleh kaum muslimin sebagai aqidah siyasiyah meskipun tetap dimiliki sebagai aqidah ruhuyah. Sehingga pandangan hidup yang dibentuk oleh aqidah tersebut tidak pernah diwujudkan dalam realitas kehidupan, sekalipun masih ada pada individu-individu muslim.

Upaya untuk membangkitkan umat dan mengembalikan kaum muslimin sehingga mampu meraih kemuliaannya kembali sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah SWT., tidak lain hanyalah dengan menyadarkan kaum muslimin bahwa Islam adalah aqidah ruhiyah dan siyasiyah. Kesadaran ini harus ditanamkan sampai benar-benar membekas dalam arti berpengaruh langsung terhadap kehidupannya. Mereka harus senantiasa mengkaitkan aqidah tersebut dengan pemikiran-pemikiran tentang keduniaan, termasuk pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan pemeliharaan persoalan dunia. Mereka harus mengkaitkan keimanan kepada Allah dengan keimanan kepada Al Qur’an dan segala isinya. Mereka pun harus memperdalam makna keimanan kepada Al-qur’an yang diturunkan Allah SWT bagi seluruh umat manusia diakhir zaman ini.

Mereka harus mengkaitkan keimanan kepada Al-Qur’an dengan keimanan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa Al-Qur’an. Demikian pula keimanan kepada sunnahnya. Kemudian setelah itu, beralih kepada upaya untuk merubah pandangan hidup mereka dengan suatu pandangan hidup yang dibangun di atas aqidah tersebut. Hal ini berarti beralihnya standar kehidupan kepada halal dan haram, bukan azas manfaat ataupun yang lainnya. Selanjutnya berupaya untuk mengatur seluruh aspek kehidupannya di dunia ini sesuai dengan standar halal haram tersebut.

Demikian kerangka pandang politik didalam Islam. Standar ini bersifat tetap dan pasti yang berlaku bagi kaum muslimin sampai hari kiamat nanti. Oleh karena itu menjadi suatu keharusan bagi suatu kaum muslimin untuk menjadikan aqidah Islam sebagi cara pandang untuk memelihara dan mengurusi segala urusan hidupnya. Kesadaran inilah yang harus ditumbuhkan pada kaum muslimin saat ini. Bahkan menjadi suatu hal yang ‘amat penting’, mengingat bila kaum muslimin meninggalkan persoalan ini, maka mereka akan berdosa. Sebagaimana dosa-dosa mereka karena meninggalkan kewajiban yang lain.

Selain kewajiban bagi setiap individu muslim untuk memili adaran politik yang berlandaskan Islam, secara syar’I kaum mulimin juga diperintahkan untuk mewujudkan kelompok (dalam hal ini adalah Kutlah Siyasi) yang mengemban dakwah Islam dan beraktivitas untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam.

Allah SWT berfirman :

"Dan hendaklah ada diantara kalian sekelompok umat yang mengajak kepada kebaikan dan menyeru kepada kema’rufan serta mencegah dari kemungkaran,. Dan merekalah orang-orang yang beruntung". (QS : Ali Iran :104)

Dengan dalil ini berarti Allah SWT telah memfardlukan kaum muslimin agar bergabung dalam Kutlah siyasi yang mengemban dakwah Islam, dan beraktivitas untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam (isti’nafil hayah al Islamiyah). Di dalam ayat tersebut,Allah SWT telah menjelaskan metode yang seharusnya dilakukan oleh kaum muslimin dalam mengemban dakwah Islam, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar.

Mengambil pengaturan urusan kaum muslimin dengan selain aturan yang diturunkan Allah merupakan kemungkaran yang telah jelas. Sedangkan mewujudkan pengaturan urusan kaum muslimin dengan aturan yang diturunkan Allah SWT merupakan amar ma’ruf yang lebih agung. Oleh karena itu menjadi suatu kewajiban bagi kaum muslimin agar mereka melaksanakan kaum muslimin.

Apa lagi, yang bisa dilakukan kaum muslimin kini selain dari kembali kepada kesadaran politik dengan perspektif (kerangka pandang) yang sesungguhnya kemudian berupaya mewujudkan kelompok-kelompok (ahjab siyasiyah) yang mengemban dakwah Islam dan beraktivitas untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam ? Demikian bila kaum muslimin mau kembali pada makna politik yang sesungguhnnya.

Wallahu a’lam bisshowab

Agama dan Negara dalam Islam

AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM

Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni oleh Nurcholish Madjid



Salah satu hal mengenai Islam yang tidak mungkin diingkari ialah pertumbuhan dan perkembangan agama itu bersama dengan pertumbuhan dan perkembangan sistem politik yang diilhaminya. Sejak Rasulullah s.a.w. melakukan hijrah dari Mekkah ke Yatsrib -yang kemudian diubah namanya menjadi Madinah- hingga saat sekarang ini dalam wujud sekurang-kurangnya Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran, Islam menampilkan dirinya sangat terkait dengan masalah kenegaraan.

Sesungguhnya, secara umum, keterkaitan antara agama dan negara, di masa lalu dan pada zaman sekarang, bukanlah hal yang baru, apalagi hanya khas Islam. Pembicara-an hubungan antara agama dan negara dalam Islam selalu terjadi dalam suasana yang stigmatis. Ini disebabkan, pertama, hubungan agama dan negara dalam Islam adalah yang paling mengesankan sepanjang sejarah umat manusia. Kedua, sepanjang sejarah, hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim Barat (Kristen Eropa) adalah hubungan penuh ketegangan. Dimulai dengan ekspansi militer-politik Islam klasik yang sebagian besar atas kerugian Kristen (hampir seluruh Timur Tengah adalah dahulunya kawasan Kristen, malah pusatnya) dengan kulminasinya berupa pembe-basan Konstantinopel (ibukota Eropa dan dunia Kristen saat itu), kemudian Perang Salib yang kalah-menang silih berganti namun akhirnya dimenang-kan oleh Islam, lalu berkembang dalam tatanan dunia yang dikuasai oleh Barat imperialis-kolonialis dengan Dunia Islam sebagai yang paling dirugikan. Disebabkan oleh hubungan antara Dunia Islam dan Barat yang traumatik tersebut, lebih-lebih lagi karena dalam fasenya yang terakhir Dunia Islam dalam posisi "kalah," maka pem-bicaraan tentang Islam berkenaan dengan pandangannya tentang negara berlangsung dalam kepahitan menghadapi Barat sebagai "musuh."

Pengalaman Islam pada zaman modern, yang begitu ironik tentang hubungan antara agama dan negara dilambangkan oleh sikap yang saling menuduh dan menilai pihak lainnya sebagai "kafir" atau "musyrik" seperti yang terlihat pada kedua pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran. Saudi Arabia, sebagai pelanjut faham Sunni madzhab Hanbali aliran Wahabi, banyak menggunakan retorika yang keras menghadapi Iran sebagai pelanjut paham Syi'i yang sepanjang sejarah merupakan lawan kontroversi dan polemik mereka.



Iran sendiri, melihat Saudi Arabia sebagai musyrik karena tunduk kepada kekuatan-kekuatan Barat yang non-Islam. Semua itu memberi gambaran betapa problematisnya perkara sumber legitimasi dari sebuah negara yang mengaku atau menyebut dirinya "negara Islam." Sikap saling membatalkan legitimasi masing-masing antara Saudi Arabia dan Iran mengandung arti bahwa tidak mungkin kedua-duanya benar. Yang mungkin terjadi ialah salah satu dari keduanya salah dan satunya lagi benar, atau kedua-duanya salah, sedangkan yang benar ialah sesuatu yang ketiga. Atau mungkin juga masing-masing dari keduanya itu sama-sama mengandung unsur kebenaran dan kesalahan.









Eksperimen Madinah



Hubungan antara agama dan negara dalam Islam, telah diberikan teladannya oleh Nabi s.a.w. sendiri setelah hijrah dari Makkah ke Madinah (al-Madinah, kota par excellence). Dari nama yang dipilih oleh Nabi s.a.w. bagi kota hijrahnya itu menun-jukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi sucinya dari Tuhan, yaitu men-ciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu entitas sosial-politik, yaitu sebuah negara.



Negara Madinah pimpinan Nabi itu, seperti dikatakan oleh Robert Bellah, seorang ahli sosiologi agama terkemuka, adalah model bagi hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Muhammad Arkoun, salah seorang pemikir Islam kontemporer terdepan, menyebut usaha Nabi s.a.w. itu sebagai "Eksperimen Madinah."

Menurut Muhammad Arkoun, eksperimen Madinah itu telah menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang (arti-nya, wewenang atau kekuasan tidak memusat pada tangan satu orang seperti pada sistem diktatorial, melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah) dan kehidupan berkonstitusi (artinya, sumber wewenang dan kekuasaan tidak pada ke-inginan dan keputusan lisan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang prinsip-prinsipnya disepakati bersama). Karena wujud historis terpenting dari sistem sosial-politik eksperimen Madinah itu ialah dokumen yang termasyhur, yaitu Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah), yang di kalangan para sarjana modern juga menjadi amat terkenal sebagai "Konstitusi Madinah." Piagam Madinah itu selengkapnya telah didokumentasikan oleh para ahli sejarah Islam seperti Ibn Ishaq (wafat 152 H) dan Muhammad ibn Hisyam (wafat 218 H).



Menurut Al-Sayyid Muhammad Ma'ruf al-Dawalibi dari Universitas Islam Interna-sional Paris "yang paling menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madinah itu ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal umat manusia."



Ide pokok eksperimen Madinah oleh Nabi ialah adanya suatu tatanan sosial-politik yang diperintah tidak oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pe-mimpin, melainkan oleh prinsip-prisip yang dilembagakan dalam dokumen kesepakat-an dasar semua anggota masyarakat, yaitu sebuah konstitusi.





Masa Khilafah Rasyidah (Kekhalifahan Yang Bijaksana)



Apa yang terjadi pada kaum Muslim penduduk Madinah selama tiga hari jenazah Nabi s.a.w. terbaring di kamar A'isyah menjadi agak kabur oleh adanya polemik- polemik yang sengit antara kaum Syi'ah dan kaum Sunnah. Kaum Sunnah mengklaim bahwa dalam tiga hari itu memang terjadi musyawarah pengganti Nabi, yang kemu-dian mereka bersepakat memilih dan mengangkat Abu Bakr. Kaum Syi'ah, meng-klaim bahwa yang terjadi ialah semacam persekongkolan kalangan tertentu, dipimpin oleh 'Umar, untuk merampas hak Ali sebagai penerus tugas suci Nabi.

Klaim adanya hak bagi 'Ali untuk menggantikan Nabi didasarkan antara lain pada makna pidato Nabi dalam peristiwa yang hakikatnya tetap dipertengkarkan, yaitu semacam rapat umum di suatu tempat bernama Ghadir Khumm. Peristiwa itu terjadi sekitar dua bulan sebelum Nabi wafat, ketika beliau dalam perjalanan pulang dari haji perpisahan (hijjat al-wada') meminta semua pengikut beliau itu berkumpul di Ghadir Khumm itu sebelum terpencar ke berbagai arah. Dalam rapat besar itu beliau ber-pidato yang sangat mengharukan, (karena memberi isyarat bahwa beliau akan segera berpulang ke rahmatullah). Menurut kaum Syi'ah Nabi s.a.w. menegaskan wasiat bahwa 'Ali adalah calon pengganti sesudah beliau.

Tapi kaum Sunni, sementara mengakui adanya rapat besar Ghadir Khumm itu, dengan berbagai bukti dan argumen menolak klaim Syi'ah bahwa disitu Nabi s.a.w. menegas-kan wasiat beliau untuk 'Ali. Bahkan yang terjadi ialah pembelaan untuk kebijaksana-an Nabi yang tidak menunjuk anggota keluarga beliau sendiri sebagai calon pengganti Ibn Taymiyyah menilai hal itu sebagai bukti nyata bahwa Muhammad adalah seorang Rasul Allah, bukan seorang yang mempunyai ambisi kekuasaan atau pun kekayaan yang jika bukan untuk dirinya maka untuk keluarga dan keturunannya.

Jika Muhammad saw. adalah ("hanya") seorang hamba sekaligus Rasul, dan bukannya seorang raja sekaligus nabi menurut Ibn Taymiyyah kewajiban para pengikutnya untuk taat kepada beliau bukanlah karena beliau memiliki kekuasaan politik (al-mulk), melainkan karena wewenang suci beliau sebagai utusan Tuhan (risalah).

Dalam teori Ibn Taymiyyah, Muhammad s.a.w. menjalankan kekuasaan tidaklah atas dasar legitimasi politik seorang "imam." seperti dalam pengertian kaum Syi'ah (yang sangat banyak berarti "kepala negara"), melainkan sebagai seorang Utusan Allah semata. Karena itu ketaatan kepada Nabi bukanlah berdasarkan kekuasan politik de facto (syawkah), melainkan karena beliau berkedudukan sebagai pengemban misi suci (risalah) untuk seluruh umat manusia, baik mereka yang hidup di masa beliau atau pun yang hidup sesudah beliau, sepanjang zaman. Nabi tidak menunjuk seorang peng-ganti atau menunjuk seseorang yang bukan keluarga sendiri. Kenabian atau nubuw-wah telah berhenti dengan wafatnya Rasulullah s.a.w. Oleh karena itu sumber otoritas dan kewenangan para khalifah adalah berbeda sama sekali dari sumber otoritas Nabi. Abu Bakr,misalnya, hanyalah seorang Khalifat al-Rasul (Pengganti Rasulullah) dalam hal melanjutkan pelaksanaan ajaran yang ditinggalkan beliau, bukan menciptakan tambahan, apalagi hal baru (bid'ah), terhadap ajaran itu. Ia tidak bertindak sebagai manusia biasa. Istilah khalifah sendiri sebagai nama jabatan yang pertamakali dipe-gang oleh Abu Bakr itu, adalah pemberian orang banyak (rakyat), tidak secara lang-sung berasal dari Kitab ataupun Sunnah. Karena itu ia tidak mengandung kesucian dalam dirinya, sebab ia hanya suatu kreasi sosial-budaya saja.

Prinsip-prinsip Islam diatas itu, yang oleh Bellah disebut sebagai "nasionalisme partisipatif egaliter," dengan baik sekali dinyatakan oleh Abu Bakr dalam pidato penerimaan diangkatnya sebagai khalifah. Pidato itu oleh banyak ahli sejarah diang-gap suatu statemen politik yang amat maju, dan yang pertama sejenisnya dengan semangat "modern" (partisipatif-egaliter).

Pidato ini merupakan manifesto politik yang secara singkat dan padat menggambar-kan kontinuitas prinsip-prinsip tatanan masyarakat yang telah diletakkan oleh Nabi. Seperti dibuat lebih terang oleh Amin Sa'id, pidato itu memuat prinsip-prinsip, (1) pengakuan Abu Bakr sendiri bahwa dia adalah "orang kebanyakan," dan mengharap agar rakyat membantunya jika ia bertindak benar, dan meluruskannya jika ia berbuat keliru; (2) seruan agar semua pihak menepati etika atau akhlaq kejujuran sebagai amanat, dan jangan melakukan kecurangan yang disebutnya sebagai khianat; (3) pene-gasan atas persamaan prinsip persamaan manusia (egalitarianisme) dan keadilan sosial, dimana terdapat kewajiban yang pasti atas kelompok yang kuat untuk kelom-pok yang lemah yang harus diwujudkan oleh pimpinan masyarakat; (4) seruan untuk tetap memelihara jiwa perjuangan, yaitu sikap hidup penuh cita-cita luhur dan melihat jauh ke masa depan; (5) penegasan bahwa kewenangan kekuasaan yang diperolehnya menuntut ketaatan rakyat tidak karena pertimbangan partikularistik pribadi pimpinan, tetapi karena nilai universal prinsip-prinsip yang dianut dan dilaksanakannya. Dalam istilah modern, kekuasaan Abu Bakr adalah kekuasaan konstitusional, bukan kekuasaan mutlak perorangan.



Menurut Bellah, unsur-unsur struktural Islam klasik yang relevan dengan penilaian bahwa sistem sosial Islam klasik itu sangat modern ialah, pertama, faham Tawhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa (Monotheisme) yang mempercayai adanya Tuhan yang transenden, yang wujud-Nya mengatasi alam raya (artinya, Tuhan berbeda dari alam dan tidak berhakikat menyatu dengan alam, dalam ilmu akidah disebut sifat mukhalafat al-hawadits), yang merupakan Pencipta dan Hakim segala yang ada; kedua, seruan kepada adanya tanggung jawab pribadi dan putusan dari Tuhan menurut konsep Tawhid itu melalui ajaran Nabi-Nya kepada setiap pribadi manusia; ketiga, adanya devaluasi radikal (penurunan nilai yang mendasar) -Bellah malah mengatakan dapat secara sah disebut "sekularisasi"- terhadap semua struktur sosial yang ada, berhadapan dengan hubungan Tuhan-manusia yang sentral itu. Akibat terpenting dari hal ini ialah hilangnya arti penting suku dan kesukuan yang merupakan titik pusat rasa kesucian pada masyarakat Arab Jahiliah (pra-Islam); keempat, adanya konsepsi tentang aturan politik berdasarkan partisipasi semua mereka yang menerima kebenaran wahyu Tuhan, dengan etos yang menonjol berupa keterlibatan dalam hidup dunia ini (tidak menghindari dunia seperti dalam ajaran rahbaniyyah, pertapaan), yang aktif, bermasyarakat dan berpolitik, yang membuat Islam lebih mudah menerima etos abad modern.



Politik Sunni melarang memberontak kepada kekuasaan, betapapun dzalimnya kekua-saan itu, sekalipun mengeritik dan mengecam kekuasaan yang dzalim adalah kewa-jiban, sejalan dengan perintah Allah untuk melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Para teoritikus politik Sunni sangat mendambakan stabilitas dan keamanan, dengan adagium mereka: "Penguasa yang dzalim lebih baik daripada tidak ada," dan "Enampuluh tahun bersama pemimpin (imam) yang jahat lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin."

Karena kebanyakan umat Islam Indonesia Adalah Sunni, pandangan berorientasi pada status quo itu juga bergema kuat sekali di kalangan para ulama kita.



Islam jelas akan memberi ilham kepada para pemeluknya dalam hal wawasannya tentang masalah sosial-politik, namun sejarah menunjukkan bahwa agama Islam memberi kelonggaran besar dalam hal bentuk dan pengaturan teknis masalah sosial-politik itu. Suatu bentuk formal kenegaraan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah legitimasi politik para penguasanya.

Yang penting adalah isi negara itu dipandang dari sudut beberapa pertimbangan prinsipil Islam tentang etika sosial.



Apa yang dikehendaki oleh Islam tentang tatanan sosial-politik atau negara dan pemerintahan ialah apa yang dikehendaki oleh ide-ide modern tentang negara dan pemerintahan itu, yang pokok pangkalnya ialah, menurut peristilahan kontem-porer egalitarianisme, demokrasi, partisipasi, dan keadilan sosial.

--------------------------------------------

Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah

Editor: Budhy Munawar-Rachman

Penerbit Yayasan Paramadina

Jln. Metro Pondok Indah

Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21

Jakarta Selatan

Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173

Fax. (021) 7507174

Paradigma Masyarakat Madani

Paradigma Masyarakat Madani Sebuah Acuan Reformasi



Oleh Dr. Ahmad Hatta

Sekretaris Umum LP2S1 Al Haramain dan Dosen STEI Jakarta





Pernyataan Presiden Soeharto bahwa reformasi yang dituntut oleh banyak pihak bisa dilakukan, bahkan sudah bisa dimulai sekarang, tentunya sangat melegakan semua pihak yang menuntut reformasi itu. Namun ''gayung bersambut'' ini akan hanya sia-sia, apabila kita tidak mempunyai acuan yang pasti tentang reformasi yang kita inginkan. Maka sebagai sikap responsif-positif yang harus diambil secepatnya untuk saat ini adalah pengkajian paradigma-paradigma baru yang mungkin menjadi acuan dalam reformasi ini.



Banyak pakar ilmu-ilmu sosial menjadikan konsep civil society sebagai paradigma masyarakat ideal pada masa depan. Namun karena konsep ini masih diperdebatkan di antara beberapa aliran dan masih bersifat diskursus teoritis, maka konsep ini sangat utopis dan tidak practicable. Karena itu beberapa cendikiawan muslim, seperti Prof Dr Naquib Al Attas -- yang beberapa waktu lalu mengadakan diskusi bertema ''Masyarakat Madani or Civil Society -- berusaha untuk mempresentasikan bahwa paradigma masyarakat madani lebih relevan untuk masyarakat ideal pada masa depan daripada konsep civil society. Terminologi ''masyarakat madani'' memang dipopulerkan oleh Al Attas. Istilah ini merupakan terjemahan dari kosakata bahasa Arab, mujtama' madani, yang secara etimologis mempunyai dua arti: Pertrama, ''masyarakat kota,'' karena madani adalah derivat dari kata bahasa Arab, madinah yang berarti kota. Kedua, masyarakat yang berperadaban, karena madani adalah juga merupakan derivat dari kata Arab tamaddun atau madaniyah yang berarti peradaban -- dalam bahasa Inggris, ini dikenal sebagai civility atau civilization. Maka dari makna ini, masyarakat madani bisa berarti sama dengan civil society, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.



Namun secara terminologis -- dan yang penulis maksudkan di sini -- masyarakat madani adalah komunitas muslim pertama di kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW dan diikuti oleh keempat Khulafahur Rasyidin. Masyarakat ini identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural sangat berintikan kepada civility (keadaban). Dan masyarakat ini juga sangat relevan untuk menjadi paradigma masyarakat modern, karena sebagaimana yang diakui sosiolog agama Robert N Bellah, masyarakat muslim klasik yang dipimpin Rasulullah SAW ini adalah masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya. Masyarakat ini telah membuat lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dan kapasitas politik, sehingga masih tetap dan sangat aktual untuk menjadi acuan dalam shift paradigm (Robert N Bellah, Beyond Belief, 1976).



Konstitusi Madinah



Secara sosio-politik, sebagai sebuah negara atau state, masyarakat madani sudah sangat maju dibandingkan dengan negara-negara pada masanya atau yang pernah ada dalam sejarah sebelumnya. State atau bentuk negara sudah ada dalam sejarah manusia sejak awal. Pada zaman Yunani Kuno ia disebut polis, pada zaman Romawi ia disebut civitas atau status rei, publicae. Lalu istilah status dalam bahasa Latin berubah menjadi stato dalam bahasa Itali, l'etat dalam bahasa Prancis, dan state dalam bahasa Inggris.



Masyarakat madani telah mempunyai sebuah konstitusi yang disebut Mitsaqul Madinah (Piagam Madinah) yang dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah kemanusiaan (Hamidullah, First Written Constitutions in the World, Lahore, 1958). Piagam ini tak hanya sangat maju pada masanya, tetapi juga menjadi satu-satunya dokumen penting dalam perkembangan kebebasan konstitusional dan hukum dalam dunia Islam.



Bahkan apa yang dikatakan hak yang telah diberikan kepada masyarakat modern sebagai usaha civilize oleh American Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan Amerika 1776), French Revolution (Revolusi Prancis 1789), dan The Universal Declaration of Human Rights of the UNO, sebenarnya secara substansial telah termaktub dalam Piagam Madinah. Karena itu beberapa dekade terakhir kajian terhadap piagam ini menjadi sangat signifikan untuk acuan masyarakat masa depan.



Secara umum ada dua nilai dasar yang tertuang dalam Piagam Madinah sebagai fundamental dalam mendirikan negara Madinah. Pertama, almusawah wal 'adalah, prinsip kesederajatan dan keadilan. Kedua, inklusivisme (keterbukaan). Kedua prinsip ini lalu dijabarkan dan ditanamkan dalam bentuk beberapa nilai humanis-universal lainnya, seperti: 'itidal (konsisten), tawazun (seimbang) tawasut (moderat), dan tasamuh (toleran).



Masyarakat madani yang bernilai-nilai kehidupan itu dapat dibangun hanya setelah Rasulullah SAW melakukan inner reformation and transformation pada individu yang berdimensi akidah, ibadah, dan akhlak. Karena itu iman dan moralitas menjadi landasan dasar Piagam Madinah.



Al iman billah, keyakinan kepada Allah yang transenden, as-sami' (maha mendengar), albashir (maha melihat), dan al'alim (maha mengetahui) melahirkan keinsafan diri dan menciptakan kedamaian dan ketentraman jiwa serta membuat manusia menjadi lebih manusiawi. Sedangkan moralitas adalah buah dari iman dan ibadah. Keimanan yang benar dan ibadah yang dilakukan dengan keikhlasan akan membuat kepekaan moral yang tinggi dan kesadaran sosial yang dalam.



Semua prinsip dan nilai di atas menjadi dasar semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, dan hukum, sehingga masyarakat madani adalah satu bentuk civil society ideal yang pernah ada karena telah berhasil mencapai targetnya, yaitu dapat mengakomodasi dan mengorganisasi economic interests, religious views dan ethic solidarities.



Politik



Dalam aspek politik, walaupun tiga institusi negara -- yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif -- dipegang oleh Rasulullah SAW sendiri, namun negara dapat mengakomodasi semua kepentingan masyarakat. Semua rakyat mendapat hak yang sama dalam politik. Mereka tidak dibedakan berdasarkan kelompok politik, suku, atau pun agama. Semua lapisan masyarakat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Pertanyaan yang muncul tentunya adalah: Apa rahasia keberhasilan ini?



Ada beberapa jawaban yang bisa diajukan.



Pertama, walaupun otoritas tiga institusi ini ada di tangan Rasulullah SAW, namun beliau dapat membagi dan membatasi tiga kekuasaan ini dengan jelas dan seimbang, sehingga ketiga lembaga ini menjadi lembaga yang indenpenden dan kuat -- dan ini memang tidak mungkin dilakukan kecuali oleh Rasulullah SAW sebagai manusia super dalam segala hal. Beliau dengan cermat dapat menemparkan diri, kapan sebagai legislatif, kapan sebagai eksekutif, atau kapan pula sebagai yudikatif.



Sebagai legislatif, beliau sadar betul bahwa beliau wakil rakyat yang memiliki publik accountability, maka suara yang keluar dari beliau dalam melakukan mekanisme kontrol terhadap lembaga eksekutif adalah suara rakyat secara keseluruhan, bukan suara pribadi atau golongan.



Sebagai eksekutif, beliau sadar betul bahwa tugas yang beliau pikul adalah amanat mandataris lembaga legislatif, sehingga beliau mempunyai kesiapan total untuk menerima teguran dan kontrol dari lembaga itu. Beliau siap mengubah atau mereformasi semua kebijakan yang sudah tidak relevan dengan perkembangan rakyat. Karena itu dalam Islam kita mengenal konsep nash wa mansukh, yaitu Rasulullah SAW menghapus kebijaksanaan yang lama dengan kebijaksanaan yang baru, seperti pengharaman perkawinan muth'ah yang sebelumnya beliau halalkan.



Sebagai yudikatif, beliau menegakkan hukum dengan adil untuk semua termasuk keluarganya dan bahkan untuk dirinya sendiri -- yang juga sebagai legislatif dan eksekutif.



Kedua, ideologi masyarakat madani -- dalam hal ini adalah Islam -- telah mempunyai dasar interprestasi yang jelas dan baku, yaitu Alquran dan Hadis, sehingga tidak ada monopoli interprestasi terhadap ideologi; dan ideologi tidak difungsikan sebagai alat legitimasi status quo kekuasaan. Siapa pun dia, selama mempunyai intellectual authority dan berdasar Alquran dan Sunnah berhak menginterprestasikan ideologi ini.



Ketiga, undang-undang dasar masyarakat madani adalah Alquran dan Hadis itu sendiri -- yang sudah mempunyai metodologi interprestasi yang solid, sehingga interprestasinya tidak bisa digunakan untuk kepentingan penguasa.



Keempat, para menteri atau pembantu dipilih setelah ada rationale struktur dan personal; dan diseleksi berdasarkan meritokrasi (pemilihan berdasarkan prestasi dan kemampuan), bukan berdasarkan nepotisme atau karena political interest. Sehingga walaupun sebagai pembantu, mereka tidak hanya bekerja setelah adanya petunjuk dari pucuk pimpinan -- dalam hal ini Rasulullah SAW -- tetapi bahkan dapat memberikan masukan-masukan dan ide-ide baru.



Kelima, secara umum politik masyarakat madani adalah politik inklusif (terbuka) -- yang merupakan konsekuensi dari perikemanusiaan yang memandangan manusia secara positif dan optimis dalam arti bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (QS 7:172 dan 30:70). Pandangan ini melihat bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk benar dan baik. Karena itu setiap orang mempunyai potensi untuk menyatakan pendapat dan untuk didengar.



Keterbukaan adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan dilakukan mana yang baik dan positif. Inilah salah satu sikap Rasulullah SAW dalam memimpin negara Madinah. Tidak jarang beliau mengubah keputusannya karena kritikan atau masukan dari sahabatnya. Betapa pun keras dan tajam kritikan itu, beliau dapat menerimanya dengan hati terbuka, tidak pernah menganggapnya sebagai makar, rival, atau pun kontra establishment.



Ekonomi



Dalam ekonomi, masyarakat madani mengembangkan ajaran egalitarianisme yang tak hanya meyakini economic is business atau economic is growth, tetapi juga economic is social justice. Artinya masyarakat ini bukanlah sesuatu yang mendewakan pertumbuhan ekonomi dan melalaikan pemerataan. Dalam masyarakat ini ada pemerataan saham-saham ekonomi kepada seluruh rakyat. Seluruh lapisan masyarakat mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk berusaha dan berbisnis (QS 17:26 dan 59:7). Ini adalah ekonomi yang berorientasi dan membuat equilibrium pada pertumbuhan dan pemerataan.



Maka trickle down theory dalam ekonomi kapitalis tak berlaku di sini, karena hanya akan memberikan kemapanan kepada para kapitalis (pemegang modal). Teori ini menyatakan apabila sabagian rakyat satu bangsa menjadi kaya, maka rakyat yang lain akan kecipratan kekayaannya itu. Ibarat sebuah bejana, bila diisi air sampai penuh maka akan meluber dan menetes ke bawah juga. Namun kenyataan dari ekonomi kapitalis ini hanya menciptakan monopoli, egopoli, dan kolusi, salah satu sebabnya karena tidak dibangun atas nilai-nilai moral yang kuat.



Ekonomi masyarakat madani mempunyai karakteristik sebagai berikut:



Pertama, ekonomi ilahiyah (ketuhanan), yaitu bahwa seluruh prilaku dan kegiatan ekonomi -- seperti produksi, konsumsi, distribusi, dan sebagainya -- semuanya diikatkan dengan tujuan ilahi dan dilakukan untuk mencari keridhaan-Nya. Sehingga orientasi homo economicus tidak hanya material, tetapi juga spiritual-transendental.



Kedua, ekonomi akhlak, yaitu bahwa seluruh kegiatan ekonomi selalu dilakukan dengan nilai-nilai akhlak. Ekonomi dan akhlak dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Masyarakat madani yang melakukan kegiatan ekonomi harus memperhatikan akhlak kegiatan itu. Produksi, misalnya, dilakukan dengan beberapa nilai akhlak, di antaranya (1) tidak memproduksi kecuali apa-apa yang dihalalkan Allah, (2) memperhatikan tujuan produksi dalam produksi, (3) memelihara sumberdaya alam dan beberapa nilai moral lainnya.



Ketiga, ekonomi kemanusiaan, yaitu ekonomi yang menjadikan manusia sebagai subjek kegiatan ekonomi bukan objek. Ekonomi yang berpihak kepada manusia, karena kegiatan ekonomi dilakukan agar dapat memberikan kesejahteraan kepada manusia itu sendiri. Maka kompetisi win-lose -- yaitu dalam kegiatan ekonomi ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan -- dan hukum the survival of the fittest tidak berlaku dalam masyarakat madani. Tetapi sebaliknya, kegiatan ekonomi dilakukan dengan nilai win-win (sama-sama untung).



Hukum



Terhadap hukum masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang tak berkelas (a classless society), yaitu hukum yang tidak membedakan antara the have dan the have not; pemimpin dan bawahan. Semua sama di depan hukum. Bahkan misi penegakan hukum dan keadilan adalah sangat tipikal dalam Islam yang merupakan ideologi masyarakat madani. Keadilan bukan saja untuk sesama muslim, tetapi untuk semua manusia.



Dalam masyarakat madani hukum bukan produk politik, karena itu political will tak bisa menentukan perubahan dan pencabutan undang-undang. Bahkan dalam masyarakat ini trias politica adalah simbol yang menjamin otonomi dan martabat hakim. Maka itu, segala bentuk monopoli dan mafia peradilan tidak bisa tumbuh dalam masyarakat ini.



Masyarakat madani menyadari betul bahwa stabilitas dan integritas suatu bangsa dan negara hanya dapat dibangun dengan konsistensi hukum. Masyarakat yang beradab adalah masyarakat yang menegakkan hukum dengan adil dan egaliter. Dan ini tidak akan tercapai, kecuali dengan proses demokratisasi dalam pembuatan, penegakan, dan kesadaran hukum. Demokrasi dalam pembuatan hukum artinya bukan aspirasi penguasa saja yang diutamakan tetapi juga harus mendengar aspirasi pakar, infrastruktur, dan lapisan masyarakat.



Pemimpin dan pemerintah harus menjadi uswah hasanah dalam kesadaran hukum. Ketertiban sosial selamanya tidak akan terwujud sepanjang mereka tidak konsisten dengan ketentuan hukum yang berlaku.



Acuan



Inilah paradigma masyarakat madani yang telah membuat sebuah negara yang adil, egaliter, tenteram, dan damai, tata tentrem kerta raharja. Paradigma ini bisa kita jadikan acuan reformasi yang mendesak kita lakukan pada saat ini. Reformasi yang tidak mengacu pada pembangunan sebuah masyarakat yang berperadaban adalah reformasi semu yang sifatnya sangat temporer.



Tetapi sekali lagi, masyarakat yang berperadaban seperti masyarakat madani tidak akan pernah terwujud tanpa konstruksi, iman, dan moral yang kuat. Krisis yang kita hadapi saat ini sebab utamanya, selain sebab-sebab lainnya, adalah krisis iman dan moral. Maka tanpa pertama kali melakukan inner transformation yang berbentuk transformasi akidah dan mental, lalu dilanjutkan dengan moral transformation yang termanifestasi dalam prilaku dan budi pekerti, maka usaha reformasi yang kita dengung-dengungkan hanya akan sia-sia.

Amal Jama'i

POKOK-POKOK PIKIRAN TENTANG

DAKWAH ISLAM DAN ‘AMAL JAMA’I



* Da’wah Islam adalah sebuah proses taghyier (merubah) waqi’ al-jahily (realitas yang jahiliy) kepada waqi’ al-Islami (realitas yang Islami)
* Perubahan yang dikehendaki oleh Da’wah Islam meliputi perubahan yang bersifat dakhily (ke dalam) seperti aspek ruhiyah, i’tiqodiyah, fikriyah, dan syu’uriyah, serta yang bersifat kharijy (ke luar) seperti aspek sulukiyah dan ‘amaliyah.
* Perubahan tersebut di atas dimulai dari lingkaran fardi (individu), kemudian lingkaran usroh (keluarga) dan ijtima’i (masyarakat).
* Untuk mencapai sasaran-sasaran dari proses taghyier ini diperlukan suatu ‘amal jama’i (kerja bersama)
* Kejayaan Islam (= keberhasilan Da’wah Islam) adalah merupakan suatu yang bersifat aksiomatis (sudah pasti). Ia akan terwujud dengan atau tanpa kita (manusia / individu da’i) di dalamnya. Artinya : bukan kita yang memberikan keuntungan pada Islam dengan keimanan dan keterlibatan kita dalam ‘amal Islam, tapi kita lah yang beruntung bila kita beriman dan beramal Islami (ikut serta dalam da’wah Islam) itu. QS Al-Hujurat 17 dan QS Al-Maidah 54.
* Hal yang penting disadari adalah bahwa yang melakukan aktivitas da’wah ‘amal jama’i ini adalah manusia (harakah al-Insan), yang memiliki kecenderungan buruk (fujur) dan baik (taqwa) QS Asy-Syams 8, bukan para malaikat (harakah al-Malaikah) yang hanya memiliki sifat tha’at. Sehingga hal-hal yang terjadi dalam realitas Da’wah Islam ini juga harus dilihat dengan perspektif kemanusiaan.

Cara Mudah Berdakwah

CARA MUDAH BERDAKWAH

Disalin dari salah satu posting dari peserta milis Isnet (Islamic Network)


1. Tanya : Saya mulai terbuka hati menerima Islam, mulai bersedia meninggalkan sikap bermain main, tidak serius dalam beragama semenjak saya mendengar dakwah dakwah yang menyentuh dari beberapa orang da’i. Bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran tadi, ketika diri tengah terus melangkah di perjalanan [sabilillah], saya terkenang teman teman lama yang dulu seia sekata dalam kejahiliyyahan, saya telah tertolong, tapi bagaimana dengan mereka. Saya ingin berdakwah, tapi apa yang harus saya katakan, harus dari mana memulainya ??

* Al Quran memberikan panduan dalam S.6:70, bagi para pemula yang baru saja meninggalkan kehidupan yang serba tidak serius dengan Islam adalah : tidak kembali dulu kelingkungan itu [Tinggalkanlah orang orang yang menjadikan agama mereka sebagai main main dan senda gurau serta mereka tertipu oleh kehidupan dunia]. Walaupun tentu meninggalkan di sini bukan berarti untuk selama lamanya, setelah beberapa waktu, setelah si pemula tadi pun mulai kokoh aqidah, amal dan akhlaqnya, maka ia harus kembali pada lingkungan lama tadi untuk mengingatkan [dan ingatkanlah mereka dengan Al Quran agar jangan sampai ada jiwa yang masuk neraka karena kegegabahan perbuatannya]. Walaupun khithob adalah Nabiyulloh Muhammad SAW, namun tentu hikmah pelajarannya buat kita semua para pembaca Al Quran.
* Menjawab pertanyaan di atas : Saya ingin berdakwah, tapi apa yang harus saya katakan, harus dari mana memulainya ?? Maka mulailah dari diri sendiri [kata nabi Ibda binafsika !] disiplinkan diri dengan kebenaran yang telah diperoleh, setelah tiba pada tingkat kekokohan tertentu, yakin diri tidak akan terbawa bawa lagi arus buruk masa lalu, datangilah kawan kawan lama anda itu. Anda sudah punya jalan untuk menyampaikan Quran kepadanya [pernah kenal], namun ingat yang diutarakan jangan pendapat pribadi, keinginan sendiri, apalagi kebencian diri tapi fadzakkir bihi [Ingatkan mereka dengan Al Quran]. Insya Alloh kalaupun ada penolakan tidak akan frontal, karena dalam kasus ini yang berbenturan bukanlah "keinginan anda dan maunya dia" tetapi orang tersebut belum siap untuk selaras dengan firman pencipta dirinya sendiri ! Kita sendiri tidak akan tersinggung tokh bukan kata kata kita yang didustakannya.
* Misalnya mulailah dengan pengalaman rohani anda sendiri, misalnya dengan berkata : "Setelah dijalani sekian lama, ternyata dirasa rasa apa yang saya lakukan selama ini hanya membunuh masa depan saya sendiri. Baik masa depan dunia, apalagi nasib saya di akhirat kelak. Kalau terus terusan begitu, entah bagaimana nasib anak anak saya nanti, kelakuannya, akhlaqnya, apakah mereka akan menghormati ayahnya jika saya sudah tua renta dan tidak sejagoan ini lagi. Dan ketika saya membaca Al Quran ternyata kehidupan seperti itu hanyalah .............." Lakukan seperti itu berulang ulang dalam setiap kesempatan yang memungkinkan, bila ada perubahan pada dirinya Alhamdulillah, diakhirat anda akan mendapat bonus yang "lebih baik dari dunia dan isinya" Bila tidak berubah, anda pun jangan marah, tokh orang yang lebih mulia dari anda pun, yang tidak pernah berkubang dalam dosa [Nabi Muhammad SAW] beliau diperintah hanya sebagai juru ingat, sama sekali bukan pemaksa atas manusia [S.88:21-22]. Yang penting anda jangan lagi seperti mereka [S.5:105].



2. Tanya : Mengapa saya harus berdakwah, tidakkah cukup dengan tanggung jawab saya atas diri saya sendiri ? Sekarang saya sudah berubah, tidak lagi seperti dulu. Ini saja memerlukan disiplin diri yang kuat, penjagaan yang ketat, kalau saya berdakwah apa malah tidak jadi terpecah konsentrasi ? Saya harus jaga diri, ditambah lagi dengan menjagai prilaku orang lain .....



* Kita akui bahwa sebelum ini, kita sempat berkecimpung dalam kelalaian dan kekeliruan, tidakkah kita khawatir kalau kalau ada diantara manusia yang sekarang berbuat ma’shiyyat justru karena terilhami oleh prilaku kita yang dulu dulu ketika masih bersama mereka ? Tidak mustahil ada yang berani berbuat dosa justru karena kita pernah memperbuatnya. Bila ini terjadi, berarti ada atsar buruk -bekas langkah kita- yang masih tercecer dan terus mengalir. Ada amal jariyah [amal yang mengalir] yang bila tidak segera dihentikan akan terus menerus menambah berat timbangan keburukan kita, sebab walaupun kita telah berhenti berbuat, tetapi atsar ini tetap ditulis juga sebagai bagian dari yang harus kita pertanggung jawabkan. Perhatikan Surah Yaasiin [36] : 12 "...dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas bekas yang mereka tinggalkan ..."
* Shahabat ‘Umar ra nampaknya menyadari penuh akan bahayanya atsar buruk ini, dari itu tercatat dalam sejarah, setelah beliau masuk Islam, maka di tempat tempat mana dulu ia pernah berbuat dosa, beliau kunjungi kembali seraya mengumumkan keislamannya dan mengajak orang kepada Islam. Ini merupakan salah satu contoh kegigihan menghapus bekas [Atsar] tadi
* Dengan demikian, berdakwah sebenarnya bukan "mengurusi orang lain". tapi membenahi diri sendiri, jangan sampai ada bekas kejelekan diri yang belum disumbat hingga jadi amal jariyah negatif seperti diulas di atas.
* Dakwah pun merupakan usaha kita membebaskan diri dari terlibat dalam ma’shiyyat yang terjadi di depan mata kita. Dinyatakan dalam sebuah hadits shohih bahwa di akhirat nanti akan ada orang yang menarik tangan kita dan berkata : "Ya Alloh inilah yang telah mencelakakan saya" Kita mengelak dan berkata : "Bagaimana mungkin saya mencelakakannya padahal saya tidak mengenal dia" Ia akan bilang "Benar Ya Alloh, dia tidak kenal akrab dengan saya, tapi dia pernah melihat saya berbuat dosa, dan tidak menegur kesalahan saya itu, andai ia mengingatkan tentu saya tidak akan berketerusan dalam ma’shiyyat". Kita tidak bisa mungkir lagi sebab filem ketika peristiwa itu terjadi bisa ditayang ulang, sehingga akhirnya kita akan terpojok ketika ditanya : "Mengapa kamu melihat dia berdosa engkau biarkan ...?"
* Menghayati surat Al A’raf 164 - 165 [silahkan baca dan telusuri tafsirnya di kitab kitab tafsir] menyampaikan kita pada sebuah kesimpulan, bahwa nasib diri kita begitu terancam di akhirat, sudah harus mempertanggung jawabkan kekeliruan sendiri [sebagai manusia, kecil atau besar kita tak pernah luput dari kesalahan] ditambah lagi dengan "ditarik tarik tangan orang" , yang kebetulan di dunia pernah berbuat salah di depan kita dan kita tak berani mendakwahinya ...... Kita punya hutang dakwah kepada semua wajah yang pernah kita lihat, yang ketika dirinya tampak di depan kita, kita tahu ia tengah melakukan kekeliruan. Kita tidak bisa menutup mata yang sebelah lagi untuk urusan ini. Sebab bila selama ini kita ‘menutup sebelah mata’ dengan kema’shiyyatan yang melanda, maka bila kita tutup sebelah lagi [dengan tidak mau belajar dakwah, walaupun hanya lewat obrolan] maka kita sendiri akan menjadi buta !
* Dakwah bukanlah menjagai orang lain, tapi memelihara diri sendiri. Ini perlu dicamkan, sebab selama ini banyak orang yang menyamakan arti dakwah dengan "usilan atau memaksa orang seperti maunya kita". Ada beberapa keuntungan yang bisa didapat dengan melakukan amal dakwah yaitu
* Kita ter________________tan karena telah mengingatkan orang [S.7:164 - 165] addapun soal takwa dan tidaknya yang didakwahi itu urusan kedua [ma’dzirotan ilaa robbikum, itu yang pertama, baru wa la’allahum yattaquun]. Lihat pula S.6:69
* Dimasukkan dalam golongan Ulul Baqiyyah yang dijanjikan beroleh keselamatan, sedang acuh tak acuh dengan dakwah, mementingkan diri sendiri, terancam dapat gelaran dzalim, yaitu mereka yang hidup hanya mementingkan kemewahan dan kesenangan hidup duniawi [lihat S.11:116]
* Ikut serta mencegah terjadinya fitnah [kemelut, rusaknya agama, tersebarnya bencana] yang bila itu terjadi, tidak hanya orang dzalim saja yang terkena, termasuk pula orang yang baik baik yang tadinya acuh tak acuh dengan dakwah ! Lihat S.8:25
* Dakwah tidak memecahkan konsentrasi kita dalam berdisiplin melaksanakan tha’at justru menambah maraknya suasana jiwa kita dalam berislam. Mengapa ? sebab bukan hanya dilaksanakan tapi kita pun terus menerus membicarakannya. Minimal bila suatu sa’at datang malasnya, kita pun akan tertagih dengan kata kata sendiri. Bukankah ini menguntungkan ?? Daripada sudah diri tidak mengerjakan, kita pun tak pernah pula membicarakan. Apa tidak malah keterusan lupanya ?? Bukankah malu dan iman itu dua bagian yang tak terpisahkan [ Al Hadits], bila satu hilang yang satunya pun terancam segera sirna. Banyak membicarakan kebaikan, membuat kita semakin terikat dengan tuntutan untuk konsekwen, ada rasa malu bila diri sendiri tidak melaksanakan. Dari sudut ini, malu oleh kata kata sendiri adalah pelindung iman terakhir agar tidak cepat menguap.



3. Saya malu berdakwah, kelakuan saya sendiri masih amburadul. Saya takut terkena murka, Apa artinya bicara baik bila diri sendiri masih berantakan.



* Siapa yang memberi tahu anda bahwa bicara baik itu tidak ada artinya ?? Bicara baik itu sudah bagian dari tanda iman [man kaana yukminu billahi wal yaumil akhir fal yaqul khoiron au liyasmut HR. Bukhori] bila begitu menurut nabi, terus siapa yang berani mengatakan bicara baik tak berarti ?? Ini saya tegaskan agar sikap perfeksionis [prinsip jika tidak sempurna lebih baik tidak] yang menghambat potensi dakwah ummah tidak merebak luas. Bila diukur / dibandingkan antara tingkat bahayanya orang yang kelakuannya baik tapi bicaranya salah dengan orang yang kelakuannya buruk tapi pembicaraannya baik, maka daya rusaknya terhadap ummat, yang lebih berbahaya adalah mereka yang manis tingkah lakunya, mempesona akhlaqnya, tapi dari mulutnya keluar fatwa yang salah. Orang percaya dan mengikuti sebab tertarik dengan pribadinya, namun hasilnya Islam dirugikan [Ingat kasus Ulamaus syu’]. Adapun orang yang kelakuannya buruk, sedang perkataannya baik, resiko bagi masyarakat paling paling cuma sekedar "tidak ada yang mau percaya".
* Bagaimana pendapat anda terhadap seorang muslimah yang menunda pelaksanaan kewajiban berjilbab, dengan alasan kelakuannya masih belum baik, ilmunya masih kurang, belum bisa ngaji dsb dsb. Tentu anda tidak bisa menerimanya bukan ? Sebab Jilbab adalah sebuah kewajiban, sedang memelihara akhlaq dan meningkatkan ilmu adalah sebuah kewajiban lain pula. Yang sempurna tentu si muslimah tadi menutup aurotnya dan baik kelakuannya, artinya kedua hutang kewajiban tadi lunas kedua duanya. Bila muslimah tadi hanya baik kelakuannya, tapi tidak menutup aurot, ia lunas satu hutang, tinggal berusaha membayar yang satunya lagi. Atau bila ia telah menutup aurot, sedang ilmu dan amal lainnya belum sebaik pakaiannya, berarti baru lunas satu kewajiban saja, tinggal bagaimana caranya ia berusaha melunasi yang satunya lagi. Sebaliknya kalau sudah kelakuan belum baik, berkerudung pun tidak [dengan alasan percuma berkerudung juga, tokh kelakuan saya masih jelek] berarti dia punya dua hutang sekaligus ! Malah kalau ada orang yang baik dan menarik akhlaqnya, tapi tidak menutup aurot jadi berbahaya bagi kewibawaan hukum Islam sendiri. Orang yang kagum dan hormat pada kebaikan akhlaq wanita tadi, dengan mudah segera mengambil kesimpulan "Ooh berarti jilbab itu tidak wajib, buktinya dia yang begitu dalam ilmunya dan begitu baik akhlaqnya pun tidak pernah ribut soal busana muslimah ... " Mana yang lebih berbahaya bagi kewibawaan hukum ? Yang berbusana muslimah, tapi akhlaqnya belum baik, atau yang baik akhlaqnya tapi belum berbusana muslimah ? Yang pertama paling paling cuma jadi bahan ejekan [alaa ..h ngapain pake pakaian begitu, kelakuannya aja ... ]artinya cuma satu pribadi itu saja yang bermasalah. Tapi untuk kasus kedua, bisa jadi preseden bagi orang awwam bahwa ternyata dalam Islam busana muslimah bukan perkara besar, tokh si anu pun yang segalanya jauh lebih baik dari kita tidak ribut soal itu... Saya melihat justru kasus kedua bukan lagi kasus pribadi, tapi bisa mengganggu daya cengkram hukum Islam dalam masyarakat muslimin. Persis seperti yang terjadi hari ini ....
* Kembali pada masalah enggan berdakwah, dalam arti mengkomunikasikan kebenaran, hanya karena malu, terhalang oleh kelakuan sendiri yang belum baik tadi. Seperti kasus busana muslimah dan akhlaq, sebenarnya antara dakwah dan amal sholeh adalah dua kewajiban yang jadi hutang kita bersama. Amar makruf nahyi mungkar adalah wajib bagi setiap muslim, pada tingkat apapun keadaan amal dia sebagaimana beramal sholeh adalah wajib, tak peduli serendah apapun kemampuan dia berkomunikasi. Bagi yang sudah baik amalnya malah tidak ada alasan lagi untuk tidak berdakwah. Sedang bagi yang amalnya masih tercampur [antara baik dan buruk] semoga dengan diawali oleh baiknya perkataan, kelakuannya pun menjadi baik pula bersama sama dengan orang yang diajaknya, Aamiin.



3. Tanya : Bagaimana dengan ayat yang mengancam keras orang orang yang mengatakan sesuatu sedang dia tidak memperbuatnya [S.61:2-3]. Begitu pula dengan celaan atas orang yang menyuruh fihak lain berbuat baik sedang dirinya sendiri dibiarkan [S.2:44].



* Perlu difahami bahwa ayat itu bukan bermakna melarang dakwah, tetapi kecaman keras dan peringatan tegas bagi pengelabuan, penipuan yang dilakukan dengan cara cara memanipulasi kata kata. Contoh, ada orang yang berusaha membentuk citra baik di depan orang lain, dengan mengiklankan perbuatan perbuatan baik, memperkatakan amal amal sholeh, dengan harapan orang jadi percaya bahwa dia ahli dalam kebaikan itu. Ini jelas penipuan, orang yang begini tidak akan lepas dari siksa neraka ! Lihat S.3:188. Jelas berbeda dengan orang yang memperkatakan kebaikan, mengkomunikasikan kebenaran dengan niat agar dirinya pun terkondisikan dengan kebaikan tadi.
* Ayat ayat di atas bukan bermakna larangan bagi dakwah, tapi larangan jangan sampai orang berilmu memanipulasi ummat dengan kepintaran kata katanya, orang lain disuruh suruh, sedang dianya sendiri tidak mengerjakan, ia memperalat orang lain dengan ilmu [anda bisa menangkap adanya i’tikad tidak baik dalam kasus ini]. Artinya kalau sudah menyuruh orang, harusnya anda pun melaksanakan. Tetapi logika tadi jangan dibalik : "Karena tidak bisa melaksanakan, maka anda jangan menyuruh orang".
* Menganjurkan kebaikan tetap mendapat nilai, sepanjang tidak didorong dengan niat memanipulasi, menipu, menciptakan kesan palsu seperti yang telah dijelaskan di atas. Beberapa hadits mendukung pernyataan ini antara lain ; "Barangsiapa yang menganjurkan pada satu kebaikan, maka ia mendapat pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya. Tanpa mengurangi pahala sipelaku tersebut." Artinya kalau anda belum bisa mendapat pahala dengan mengerjakannya sendiri, jangan sampai kehilangan kesempatan untuk mendapatkannya lewat cara menganjurkan orang lain untuk lebih dahulu memperbuatnya. Bagi anda yang telah bisa mengerjakannya, mengapa merasa cukup dengan satu pahala saja, tidakkah ingin berlipat ganda dengan cara menganjurkan orang lain melakukan apa yang telah anda kerjakan ??
* Di dalam Al Quran, menganjurkan orang lain untuk memberi makan orang miskin adalah modal awwal untuk tidak dikatakan sebagai pendusta agama [S.107:1-3], diakhirat ada orang yang dirantai dengan rantai neraka sepanjang 70 hasta, diberi minum darah bercampur nanah, juga karena tidak mau menganjurkan orang lain memberi makan orang miskin [S.69:31-37]. Perhatikan ... menganjurkan orang lain memberi makanan jasmani kepada orang miskin saja sudah demikian besar nilainya, walaupun dianya sendiri tidak mampu memberikan makanan tadi. Sedang jika menganjurkan saja sudah tidak mau, kita lihat betapa mengerikan akibatnya.
* Dakwah adalah menganjurkan orang lain berbuat baik, sama artinya dengan memberi dorongan, memberi energi agar orang itu mau melaksanakan kebaikan. Bila ini dilakukan dengan ikhlas, bukan untuk membangun citra palsu, maka pasti baru berkata saja pun baik, apalagi bila ditambah dengan amalnya, Aamiin...



Tanya : Bagaimana mungkin saya berdakwah, padahal ilmu saja masih kurang, saya perlu ditolong agar ilmu bisa bertambah, jiwa saya saja masih labil, pendirian belum teguh.

* Ada satu ayat dalam Al Quran yang menjamin, bahwa pertolongan Alloh akan datang, kemudahan akan tiba, bahkan pendirianpun akan diteguhkan langsung oleh Alloh, kapan dan bilamana ? Ketika kita mau tampil menjadi pembela pembela agamaNya [lihat S.47:7]. Insya Alloh bagaimanapun keadaan awwal kita, mulai dari kurang ilmu, lemah keinginan, asalkan ikhlas punya keinginan untuk ikut serta membela agama Alloh ini, dibuktikan dengan keterlibatan aktif di dalamnya, maka kita akan dipandaikanNya terus setahap demi setahap, setingkat demi setingkat, hingga terampil kita membela dan menjalankan Al Islam ini sebagaimana seharusnya menurut Al Quran dan Al Haditsus Shohieh. Anda mau bukti ? Jadikanlah diri anda sebagai barang buktinya, silahkan, majulah ke depan, maka beranilah untuk mulai menerjunkan diri di bidang ini. Langkah pertama, pasti terasa berat, sebab syetan tidak ingin kubu dakwah Islam bertambah tenaga. Bagaimana dengan anda sendiri, tentu tidak sekeinginan dengan syetan bukan ? Dari itu buanglah rasa minder dan malu, lakukan apa yang bisa hari ini anda lakukan buat Islam, Yakin Alloh akan terus membimbing anda, Aamiin. Jadi kalau nunggu teguhnya, kapan mau teguh pendirian bila enggan turun ke gelanggang juang membela dakwah ini ?? sebab syarat peneguhan itu sendiri tidak dilengkapi ....



3. Baiklah kini saya mengerti dan saya percaya bahwa kemampuan berdakwah itu tidaklah datang dengan ditunggu tapi mesti dicari di lapangan dakwah itu sendiri. Saya pun yakin bahwa keadaan diri pun akan diperbaikiNya, sepanjang niat tidak menipu dan tulus ingin baik. Saya bersyukur atas hadirnya orang yang pernah mendakwahi saya, hingga dengan itu saya selamat dari keterlenaan. Kini saya pun perlu bonus bonus tambahan, mengingat kurangnya amal amal saya, saya ingin ada orang lain yang mendapat hidayah Alloh lewat perantaraan usaha saya. Sebab Nabi SAW ada bersabda: "Bila satu orang saja mendapat hidayah dengan sebab perantaraan usahamu, bagimu pahala yang lebih baik dari dunia dan seisinya !" Tapi bagaimana yah, bukan tidak tertarik dengan pahalanya, cuma bagaimana memulainya. Kalau dakwah kan harus ada muqoddimahnya ..... Padahal saya paling terbata bata kalau membaca bahasa arab di depan umum

* Baiklah kita clear kan dulu permasalahnnya, sekali lagi dakwah bukan hanya ceramah. Anda mengobrol, anda meminjamkan buku, anda bertanya di tengah majlis ta’lim tentang satu masalah, hingga jawabannya didengar orang banyak, anda ajak orang mengaji, ikut menghadiri ta’lim dsb dsb kesemuanya itu merupakan kontribusi [andil] anda dalam dakwah. Tapi kalau yang dimaksud dengan pernyataan di atas, bahwa anda sulit memulai untuk ceramah. Insya Alloh sandungan kecil ini dengan mudah kita atasi, biidznillah .....
* Membuka ceramah prinsipnya hanya menyaratkan 3 hal saja : Hamdalah, syahadah dan sholawat. Anda memuji Alloh, anda umumkan keteguhan diri memegang prinsip dasar Islam, kemudian anda berdo’a untuk kemuliaan pemimpin pejuang, patriot teladan ummah Nabiyulloh Muhammad SAW. Asal anda jujur, tegas dan yakin, 3 hal ini saja akan mengangkat nilai, wibawa dan keyakinan diri anda di depan publik [umum]. Mengapa tidak ? Anda bukan akan membicarakan keperluan pribadi, anda tidak sedang membicarakan hasil pemikiran sendiri, tetapi anda tengah dan akan mengungkapkan konsep tertinggi di muka bumi, membawakan pesan Maharaja langit dan bumi, ditambah lagi bagi anda sendiri dijanjikan ridho dan pahala nan besar. Jika ini disadari, pasti semangat, dan isi bicara anda dengan sendirinya akan berbobot dan berkesan. Bukan hanya pada diri orang lain, tapi pada diri anda sendiri. Oh ya, saya ingatkan kembali, bukankah anda sedang menasehati diri anda pula ketika itu .... Hanya saja suaranya dikeraskan, sebab anda berharap bila ada orang yang ikut tergugah, sehingga kita pahala tambahan .... bonus yang lebih baik dari dunia dan isinya tadi !
* Kalau pun yang anda ucapkan kalimat seperti ini : "Alhamdulillah, Asyhadu allaa ilaaha illalloh wa asyhadu anna Muhammadar Rosuululloh, Allohumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘ala Aali Muhammad, saudara saudara sekalian ....’ Iru sudah cukup memenuhi syarat bagi ceramah Islam. simple saja bukan .....
* Atau baik pula bila kita tambahkan setelah hamdalah itu beberapa nikmat Alloh yang dinyatakanNya lewat Al Quran. Bahkan redaksi muqoddimah tadi bisa kita selaraskan dengan materi yang hendak kita sampaikan, misalnya :
* Bila yang hendak kita bicarakan, perkara iman, ketenangan hati, rumah tangga yang tentram misalnya, bisa kita cuplik sebagian dari S.48:4 menjadi Alhamdulillah Alladzi anzalas sakiinata fi qulubil mukminin liyazdaadu iimaanam ma’a iimaanihim, Asyahadu allaa ilaaha illaaloh dst dst [Segala puji bagi Alloh, yang telah menurunkan ketentraman pada jiwa jiwa orang mukmin, sgar bertambah imannya di samping imannya yang telah ada], Asyahadu anlaa ilaaha illalloh dst dst ...
* Bila yang hendak dibahas mengenai perjuangan Islam, usaha usaha membela agama, bisa kita cuplik sebagian dari S.9:33 menjadi : Alhamdulillahilladzi arsala Rosuulahu bil huda wa diinil haqqi liyudzhirohu ‘ala diini kullihi walau karihal musyrikuun, Asyhadu allaa ilaaha illalloh dst dst [Segala puji bagi Alloh yang telah mengutus RosulNya dengan petunjuk dan Dien yang benar, agar dimenangkanNya di atas segala Dien, sekalipun orang orang musyrik membenci] Asyhadu allaa ilaaha illalloh dst dst ... ...
* Bila yang hendak kita ungkap adalah mengenai Al Quran, keajaibannya, tuntutan untuk diikuti, akibat tidak mengikuti Al Quran bisa kita gunakan kalimat hamdalah yang ada dalam S.18: 1-3
* Anda akan terharu, mungkin gembira, tidak menyangka, betapa mudahnya kita membuat muqoddimah. Coba anda hapalkan aya ayat di atas, resapkan maknanya, ketika mula ceramah, sepenuh jiwa dan setulus konsentrasi, faham akan arti anda sambungkan ayat tersebut dengan hamdalah. Anda akan merasakan getaran ghaib dalam sukma yang terus menerus memberi warna dan ilham pada setiap yang anda katakan. Mungkin anda tersenyum membaca tulisan ini, tapi saya merasakannya selama 6 tahun lebih. Ini bukan wahyu [na’udzubillah kalau saya merasa menerimanya] tapi katakanlah semacam bimbingan langsung, penyodoran ide, cara mengungkapkan yang dengan semua itu saya merasa lancar menyampaikannya. Bahkan tidak jarang saya menyadari makna yang lebih menggigit dari suatu ayat justru ketika membacakannya di depan orang lain. Insya Alloh anda pun akan merasakannya selama, anda ikhlash bahwa ceramah ini, semata mata upaya belajar bersama demi semakin melekatkan diri dengan Islam, tidak bermaksud lain kecuali menegakkan kalimatillah dan bukan pamer pengetahuan. Dan juga jangan lupa, anda menghayati betul semangat dari ayat yang anda cuplik menjadi muqoddimah itu.
* Saya sering mengawali ceramah dengan mencuplik S.48:4 untuk hamdalah, karena dengan meresapi makna ayat tersebut, bahwa ketenangan itu dari Alloh, dan dengan ketenangan itu akan bertambah iman orang mukmin disamping imannya yang telah ada. Saya yakini ayat tadi sedemikian rupa. Alhamdulillah, rasa gugup, ragu, minder rasanya sirna dari dada dengan mengikatkan diri pada kalimat kalimat tersebut. Mengapa harus gelisah karena takut dianggap kurang penampilan, bicara dengan kelas rata rata, tidak didukung gelar dsb dsb. Bukankah ketenangan itu datangnya bukan dari semua itu tadi, tapi dari Alloh yang ayat ayatnya akan saya bacakan. Dan saya harus tenang, serta memelihara kestabilan perasaan ketika ini berlangsung, saya harus membawa suasana taklim ini demikian tentram, hingga memungkinkan datangnya penambahan iman pada diri saya dan pendengar, seperti dijanjikanNya di ayat tersebut. Kalimat kalimat di atas saya hunjamkan ke kalbu sebelum memula dan ketika membaca muqoddimah, hasinya .... Alhamdulillah saya selalu merasakan ketentraman itu ketika berceramah.
* Ya, anda pun memang mesti membentuk konsep diri terlebih dahulu, menyelaraskan jiwa dengan apa yang anda baca sebagai muqoddimah, jika keselarasan ini sudah di dapat, ibarat orang sudah bisa seimbang mengendarai sepeda, anda tinggal mengayuh saja hingga ceramah berakhir, selamat mencoba, Alloh beserta orang yang ulet dan gigih bersungguh sungguh di jalannya [S.29:69], bersama kita sekalian, Aamiin.



3. Tanya : Terus bagaimana kalau saya menthok di tengah jalan, awalnya sih memang tenang, tapi apa tidak jadi blingsatan kalau di tengah tengah ceramah saya tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan. Masa harus berhenti begitu saja, diakhiri dengan senyum getir dan muka merah, malu .....kayaknya endak akan kuat mental kalau sampai begitu ....

* Tergantung apa yang hendak anda bahas, bila anda tidak punya rencana tentang pesan apa yang ingin tumbuh di dada pendengar, kemana mereka hendak dibawa, apa yang anda inginkan terjadi diantara kita seusai ceramah ini. Jelas anda akan bingung, sebab dari awwal anda sudah kehilangan arah, tidak ada kompas yang dipedomani. Berbekal niat baik, lantas anda lari tanpa tahu mau kemana. Ini nekad namanya .....
* Bagi pemula, belum begitu terbiasa lewat alur alur mana ummah hendak kita bawa ke gerbang Islam, kita sendiri belum hapal betul jalan, karena memang baru memulai. Dari awwal berpegang teguhlah pada peta dan kompas memang bisa jadi penolong untuk tetap selamat hingga akhir ceramah. Apa peta dan kompasnya bila dalam ceramah, tidak jauh jauh, Al Quran yang anda pegang !
* Carilah ayat ayat yang menjelaskan satu tema secara berurutan misalnya :
* Ciri ciri orang yang menjadi hamba Alloh : S.25 : 63 - 77
* Ciri ciri prilaku orang yang bertaqwa : S.3 : 133 - 135
* Ciri ciri orang munafiq : S.2 : 8 - 20
* Watak yang harus dimiliki anak : S.31 : 12 - 19
* Menejemen keluarga : S.66 : 6, S.64 : 14 - 15, S.4 : 19 - 20, 34 - 35.
* Kejadian di akhirat : S.57 : 12 - 16
* Setelah hamdalah yang dijiwai tadi, anda sampaikan beberapa kata untuk mengawali pembahasan ayat berangkai tersebut, misalnya kalau yang hendak dibahas mengenai "Ciri Ciri Hamba Alloh" anda katakan : "Hadirin yang mulia [atau lebih akrab anda katakan shahabat ku dalam Islam, atau lebih menyentuh ungkapkan, ibu ibu muslimah yang berbahagia dsb] kita sudah lama mengaku sebagai hamba Alloh, sekarang marilah kita lihat dari quran, ciri ciri yang diakui Alloh sebagai syarat menjadi hambanya, hingga dengan itu semua kita bisa berkaca diri, sudah berapa prosen ciri itu kita capai. Menurut Quran S.25 : 63 - 75, ciri cirinya adalah sebagai berikut, mari kita buka bersama ayat nya ...
* Cobalah untuk membahas ayat itu semaksimal yang bisa anda tangkap dari yang tertera dalam terjemahnya, bila menthok [tidak tahu lagi penjelasan apa lagi yang harus ditambahkan], segera anda bahas ayat yang berikutnya. Nah selamat khan .....

Setelah selesai, akhiri dengan kata : "Barangkali baru itu yang bisa saya fahami, semoga kesungguhan kita bersama untuk mengundang bimbingan Ilahi yang membawa kita pada kemampuan berislam yang senantiasa lebih baik dari sebelumnya, Aamiin, Wassalamu’alaikum warohmatulloh ...." Selesailah perjalanan kita yang pertama, mudah bukan .....



3. Tanya : Baru belajar ceramah sudah mengupas Quran ??? wah wah apa tidak kualat tuh. Quran khan firman Alloh, kalau apa yang kita bahas tidak sesuai dengan Maqshud Nya apa tidak malah cilaka ?! Sudah kita sendiri ngaco, orang lain lagi disesatkan ??

* Tergantung ayat mana yang anda akan bahas, kalau pertama kali ceramah anda mau membahas S.4 : 7 - 13. Biarpun beruntun, itu hukum waris, yah jangan coba coba, bisa bisa ditengah jalan anda bikin hukum waris sendiri tuh. Atau misalnya membahas S.2 : 196 -203, jelas tidak gampang, itu kan ayat haji ... perlu didukung kekuatan ilmu fiqh yang mapan. Tapi kalau yang dibahas ciri orang yang bertaqwa itu gemar berinfaq, menahan marah. Ciri hamba Alloh itu tidak bertengkar dengan yang bodoh atau yang semisal itu, tentu tidak harus menunggu ilmu sampai segudang. Dari terjemah saja anda sudah mengerti bagaimana ayat itu diwujudkan. Cuma bedanya yang tambah luas ilmunya, bisa tambah mengembang pembahasannya, tambah dalam hikmah yang diungkapnya. Insya Alloh anda akan bisa begitu, bila mau memulai sejak awwal.

3. Tanya: Gampang itu khan kalau tidak ada yang nanya, bagaimana kalau ketika kita membahas ayat yang gampang, terus ada yang bertanya dengan tingkat kerumitan yang tinggi, apa tidak bengong di tengah ceramah ?

* Gampang, bilang saja tidak tahu, selesai. Kemudian tawarkan pada pendengar, "Barangkali ada yang pernah mendengar ayat atau hadits nabi berkenaan dengan masalah ini ?" Bila tidak, katakan padanya, "Alhamdulillah pertanyaan ini menumbuhkan minat ingin tahu yang lebih pada diri saya, Insya Alloh akan saya tanyakan pada yang lebih mengerti Al Quran dan hadits Nabi, begitu juga bagi anda sekalian saya harap pertanyaan ini jadi PR kita bersama. Saiapa saja yang mendapatkan jawabannya berdasar Quran dan Hadits Shohieh, dipersilahkan pada pertemuan mendatang untuk menyampaikan temuannya."



3. Wah malu dong kalau begitu, masih sudah ngomong lama lama, sudah buka Quran sana sini, giliran ditanya malah bilang tidak tahu. Kalau ilmu belum cukup jangan ngomong di depan umum !

* Mengapa mesti malu, agama ini khan bukan punya kita, dia milik Alloh yang disampaikan lewat RosulNya. Setiap ada masalah, yaa .. kesana kita mesti merujuk. Bila rujukannya belum ketemu, ngapain ngarang jawaban dan mereka reka segala. Jangankan kita yang baru belajar begini. Orang yang jauh lebih mulia dari kita, berpangkat tidak tanggung tanggung, seorang Rosul pun, bila ditanya masalah yang ia tidak yakin [bagaimana maunya Alloh atas perkara itu], beliau SAW akan diam, menunggu wahyu tiba. Nah, bila begitu beliau, apalagi kita. Wajar dong kalau diam dan memanfa’atkan waktu selanjutnya untuk menela’ah kembali sumber agama tadi.
* Mengatakan tidak tahu, atas perkara agama yang anda tidak yakin jawabannya, bukan menunjukkan anda tidak punya ilmu. Justru itu merupakan tanda bahwa anda memiliki kesadaran dan tanggung jawab atas pengetahuan, justru karena tahu/berilmu itu anda tidak berani cuap cuap seenaknya. Kata ulama : "Tanda seseorang berpengetahuan, adalah berani mengatakan tidak tahu". Imam Malik pernah ditanya 40 masalah agama, beliau hanya menjawab 4 masalah saja, sisanya beliau jawab dengan kata kata "Tidak Tahu". Lihat Imam Mazhab saja begitu lugas, dan tidak malu malu, begitu pula kita seharusnya.
* Mengapa mesti malu, kalau mengatakan tidak tahu atas perkara agama di depan umum, kita ceramah kan bukan pamer ilmu. Ini penting digaris bawahi. Sebab kalau anda mulai takut mengatakan tidak tahu [atas perkara yang betul betul anda tidak tahu], ini tanda sudah mulai ada yang salah dari niat anda ! Kita ceramah kan semata mata ibadah, mengingatkan diri, dan mengharap pahala tambahan, mudah mudahan ada orang yang tergugah beraman lewat usaha dakwah kita .... Jadi kalau pas tidak tahu, jangan menambah dosa dengan menyesatkan orang lain. Kalau anda yakin ini, Pasti anda akan merasa aman, ketika mengatakan tidak tahu, atas urusan yang anda belum faham ..... Ingat kita hanya mengutarakan apa yang kita mulai mengerti, selebihnya kita pun sedang terus belajar lagi ! Mudah mudahan ini jadi awal yang baik untuk tumbuh menjadi Generasi Robbani seperti yang diungkap dalam S.3:79.



3. Anda bisa bilang begitu, tapi kalau dijatuhkan di depan umum, khan yang malu saya ...

* Ibarat orang yang mau bisa naik sepeda, anda itu terus bertanya dan bertanya, sampai yakin bahwa kalau belajar anda akan langsung bisa, tanpa pernah jatuh biar sekali. Jelas ini tidak mungkin bukan ? Yang namanya belajar, pasti ada jatuhnya. Persoalannya mau bisa atau tidak dapat pahala ? Jika mau, berani tidak ambil resiko ? Sempat pipi merah misalnya. Jika anda mau dapat "Bonus" yang lebih baik dari dunia dan isinya, dimana dengan itu amal anda jadi berlipat ganda karena ada saudara muslim lain yang tertarik mengikuti jejak ibadah anda. Kalau itu yang dimaui, resiko malu itu kecil dibanding besarnya pahala yang Alloh janjikan buat anda. Jadi modalnya bismillah saja lah .....
* Demikian, pelajaran kita yang pertama, Insya Alloh kita akan bertemu lagi, setelah anda mencoba memberanikan diri belajar ceramah. Saya pesankan sekali lagi, Beranilah bicara soal agama, dalam batas batas yang anda sudah faham ! Komunikasikan kebenaran itu. Ingat satu lilin yang menyala bisa menyalakan ribuan lilin yang padam, karena itu "Pass It On" Dengan siapa saja anda bertemu, usahakan ada upaya untuk saling menyalakan hati dengan Cahaya Ilahi. Siapa tahu hati yang berhasil menyala lewat usaha kecil anda, membesar menjadi api yang menerangi buana. Alloh tidak akan lupa mencatat, bahwa kegemilangan besar itu, dari anda juga awalnya ! Dalam hadits dikatakan bahwa : Alloh tersenyum [gembira] melihat seorang hamba yang mendengarkan kebenaran, lalu menyampaikan pada yang lain yang tidak sempat mendengar.
* Ya Alloh, pandaikanlah kami, pakailah lidah kami ini untuk menyebarkan agamaMu. Jadikanlah pertemuan kami dengan manusia, menambah pahala kami, Aamiin.